Salah satu pelajaran favorit selama aku sekolah, sejak SD adalah ilmu pengetahuan alam yang disingkat IPA. Di sekolah dasar, buku pelajaran IPA ini judulnya "Manusia dan Alam Sekitarnya", jilid 1 untuk kelas 3, jilid 2, 3 dan 4 untuk kelas 4, 5 dan 6. Di sekolah menengah pertama, pelajaran IPA dibagi dua bagian dengan masing2 gurunya, yaitu mata pelajaran biologi, dan mata pelajaran fisika. Aku masih ingat nama guru biologi di kelas 1, Ibu Rasima Malik, duh! banyak salinan dan hapalan nama-nama latin tanaman! Aku juga ingat nama guru biologi di kelas 2, Pak Daud, perawakannya kecil, botak dan bermata tajam. Pak Daud jago menggambar organ2 dalam tubuh. sistem pernafasan, sistem pencernaan, sistem peredaran darah pada manusia maupun hewan. Masa itu, awal tahun 1980-an, kami lebih banyak menyalin apa yang disajikan guru dengan kapur tulis di papan tulis hitam, gambar maupun tulisan, belum zamannya main fotokopi. Di sekolah menengah atas, naik kelas dua kami harus memilih jurusan, fisika, biologi atau sosial. Aku pilih masuk jurusan fisika. Di jurusan fisika ini pelajaran biologi hanya dua jam pelajaran dalam sepekan, namun ada banyak pelajaran sains selain matematika, yaitu, fisika, bumi dan antariksa, serta kimia.
Apa yang mau aku kemukakan di tulisan ini sebenarnya terkait dengan situasi kondisi masa pandemi covid ini. Terus terang, setelah aku renung2-kan, sungguh lucu dan mengharukan bahwa hampir semua kita sedang tersihir oleh apa yang disebut protokol kesehatan normal baru, antara lain memakai masker, terutama jika sedang berada di ruang publik.
Pada bulan2 awal pandemi, aku termasuk yang agak paranoid terhadap virus corona ini. Aku percaya bahwa ada virus yang mewabah, dan bahwa virus itu muncul sebagai konsekuensi krisis iklim, akibat banyaknya hutan, habitat2 satwa yang dirusak atau dialihfungsikan atas nama pembangunan berkelanjutan. Selain itu, diriku yang mulai menerapkan kehidupan vegan, mungkin tanpa kusadari secara emosional mengukuhkan keyakinan bahwa virus corona ini adalah wujud protes semesta sekaligus proses pembentukan keseimbangan baru.
Namun, tak bisa kusangkal bahwa memakai masker sangat tidak nyaman bagiku. inilah sebabnya, mengapa aku lebih memilih menjaga jarak fisik sosial, jadi lebih sering diam di rumah bersama anak2-ku, Aisyah dan Ancha. Kegiatan2 yang mengharuskan aku keluar rumah, terutama saat harus berbelanja bahan makanan dan saat menemani Aisyah kontrol kesehatan mental sekali sebulan. Ke warung dan ke pasar tradisional aku selalu pakai masker dengan benar, bahkan dengan pelindung wajah, walaupun masih banyak orang yang tidak pakai masker, atau pakai tapi hanya di dagu. Selain pakaian yang kukenakan saat keluar rumah, barang2 belanjaan dan uang2 kembalian pun aku sterilkan begitu pulang belanja. Sungguh rempong jadi emak2 di masa pandemi ini.
Sesuai rencana dan program yang kami mulai bahkan sebelum pandemi ini, Aisyah dan Ancha harus ber-siap2 mulai hidup terpisah dariku, mamak mereka. Sejak Juli 2019 kami mulai program #SelasaBelajarBersama untuk 53 pertemuan. Ini aku maksudkan sebagai fasilitasi bagi mereka untuk mencoba menemukenali dan memahami diri secara sistematis. Pertemuan pertama program belajar ini dengan topik Menemukan Diri & Mengenali Kesejatian Diri, kami adakan di kamar kosanku pada Selasa, 30 Juli. Jadi, kami perhitungkan program ini selesai sebelum Ancha tamat SMP di Bali sini (sekitar pertengahan 2021), karena memang sudah ada rencana sebelumnya untuk lanjut SMA atau SMK di Jakarta. Aisyah saat itu pernah punya angan2 untuk bisa sekolah universitas di Amerika jika berhasil dapat beasiswa. Tapi, karena kurang serius, dia jadi gak punya rencana yang jelas mau kemana saat Ancha hengkang dari Bali.
Aku sendiri sudah punya rencana dan program transformasi diri yang kujalankan secara progresif. Terutama untuk bisa hidup umur panjang dengan kebermanfaatan dan kebermaknaan, bersama pasangan hidupku dalam kehidupan yang berkualitas. Namun ternyata, pasangan hidupku, Sung-Kyun Kim meninggal dunia pada pertengahan 2020, kucatat dalam obituary-nya di blog ACLA-APELA. Apa boleh buat, ajal sudah menjemputnya.
Tapi, jauh di lubuk hati terdalam ini, ada suatu keyakinan bahwa cinta-kasih di antara kami, nita & sung, tak lekang oleh waktu, tak terpisahkan oleh kematian atau berakhirnya wujud fisik, sejati dan abadi. Semua rencana2 bahkan ambisi kami tetap aku lanjutkan dengan mengkondisi diri selalu bersamanya. Bagiku, Sayangku tetap hidup, bahkan menyatu pada diriku dengan semua dimensi kemanusiaan kami. Inti dari rencana2 dan ambisi kami sebenarnya sederhana saja, yaitu menciptakan dan menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dan alam, terutama dengan pendekatan lanskap budaya.
Kembali ke masalah pandemi covid ini. Setelah Aisyah dan Ancha pindah kembali ke Jakarta pada 2 Mei 2021 dan aku pulang ke dan tiba Bali pada 4 mei 2021, aku mulai bisa berpikir lebih jernih tentang protokol kesehatan di masa pandemi ini. Sebelumnya, aku terlalu fokus untuk melindungi kedua anakku ini dari kemungkinan terpapar virus. Di perjalanan pulang dari Jakarta ke Bali dengan berkendara mobil sewaan aku banyak merenung dan berkomunikasi dengan sahabatku, Lovie. Dia, sejak awal pandemi memang gak percaya dan tentunya membangkang terhadap prokes covid ini. Sejak pertama jumpa dengan si Lovie ini aku tahu dan bisa merasakan kejujuran sikapnya dan kemurnian jiwanya, serta kekuatan karakternya. Walaupun tidak berpendidikan tinggi, tapi saudari Bali-ku ini cerdasnya melebihi kebanyakan dosen di universitas2 sekarang ini. Kecerdasan memang bukanlah akibat dari pendidikan tinggi, tapi buah dari kualitas hati nurani.
Lovie secara terang2an melawanku di facebook pada posting2-ku tentang penerapan prokes dan lain2 terkait pandemi ini. Walaupun sempat ada perasaan kesal padanya, tapi aku respek pada keterbukaan sikapnya, juga argumennya yang sebenarnya memang masuk akal jika aku kembali ke prinsip sistem pernafasan, pelajaran IPA, biologi di SMP. Tapi, dasar otakku saat itu sedang tercemar oleh butek-nya info2 dari media sosial maupun media publik, aku sempat tersihir dan ikut berlaku konyol. Seorang kawan lainnya di facebook juga, Kemal Firdaus, teman diskusi di lini masa fb kami maupun via messenger, juga, walaupun tidak berpendidikan tinggi, namun terus belajar dan menkaji diri serta mengkaji fenomena alam maupun fenomena sosial, juga berpendapat sabagaimana Lovie.
Sekarang aku dapati kenyataan bahwa, walaupun kita tak sekolah di universitas, kita pernah belajar tentang sistem pernafasan di SMP. Jadi ingat kepada dua pemimpin terbesar di kehidupan ini, Socrates dan Muhammad bin Abdullah. Keduanya tidak pernah belajar di bangku sekolah, dan bahkan buta huruf, namun pesan bijaknya yang utama adalah kunci kebahagiaan dan keselamatan hidup, yaitu "kenalilah dirimu". Jadi, sesungguhnya, gak perlu jadi dokter untuk memahami bahwa untuk hidup, kita perlu bernafas dengan menghirup oksigen alias O2 dan melepaskan hasil pembakarannya berupa CO2. Dan, memakai masker, apalagi dalam waktu yang lama akan mengganggu sistem pernafasan. Jika sistem pernafasan terganggu, pasokan O2 ke otak jadi bermasalah. Jika otak bermasalah dan terganggu, maka semua sistem pada tubuh akan ikut bermasalah, termasuk sistem imunitas. Bukanlah sistem pernafasan kita adalah ilmu alam yang paling penting? Menjaga keharmonisan antara diri kita dan alam sekitar kita adalah ilmu alam yang paling penting! Tapi mengapa justru mereka yang berpendidikan tinggi meninggalkan prinsip ini?
Benar kata Chris Hedges, sistem ekonomi neo-lib kapitalis ini membuat universitas2 menghancurkan ilmu pengetahuan, membuat kebanyakan dokter justru merusak kesehatan pasiennya dan kebanyakan arsitek merancang rumah, gedung bahkan kota yang merusak kesehatan penggunanya dan membebani lingkungan hidup.
Perkembangan kasus covid di Indonesia makin marak, angka kasus terinfeksi dan kematian menanjak justru setelah pelaksanaan vaksinasi masal dan pengetatan prokes. Terus terang, aku pun sempat terombang-ambing dalam banjir informasi ini. tidak mudah membedakan informasi yang benar dari informasi2 yang palsu dan menipu akal sehat. Apalagi dengan adanya cerita2 dari teman2 yang setahuku mereka orang2 baik dan jujur. Mereka memang mungkin tidak bermaksud berbohong atau menipu, tapi karena persepsinya sudah dipengaruhi oleh virus informasi di otak mereka, maka mereka pun merasa apa yang mereka kemukakan adalah "kebenaran berdasarkan pengalaman pribadi".
Ahad 27 Juni, tak tertahankan untuk melampiaskan kegelian yang berbaur dengan kegelisahanku, aku lalu menulis di blog ini, SISTEM. Tulisanku sangat jauh dari sempurna, aku masih akan memperbaikinya, yang penting pesan utama yang mau aku sampaikan sudah termuat. Aku hanya membagi link tulisan ini ke beberapa kontak WA dan kirim ke akun istagram-ku yang terbatas dan privat. Lalu, entah mengapa, pikiranku sampai pada bisnis paling menguntungkan di era informasi digital ini, yaitu investasi di pasar saham, salah satu komponen bahkan nyawa dunia neo-lib kapitalisme. Saham apa yang paling meningkat di masa pandemi ini? sebelum aku cek, memang sudah aku duga kuat, saham perusahaan2 farmasi dan perusahaan2 petrokimia yang memproduksi oksigen cair. Belum lagi, bahan2 plastik yang digunakan dalam prokes covid ini, termasuk dalam pemakaman mayat, yang makin membebani ekosistem. Bukankah plastik juga terbuat dari minyak bumi, salah satu produk unggulan perusahaan2 petrokimia?
Kucoba mengkomunikasikan kegundahanku kepada seorang kawan yang aku anggap cukup mampu berfikir terbuka. Aku membagi tautan tulisan, hasil renunganku yang kusimpan di blog setengah tahun sebelum pandemi ini dideklarasaikan, Hawa dan Huwa, sebenarnya ini juga untuk mengkonter pernyataannya bahwa memakai masker adalah tanggungjawab sosial, jadi aku lanjutkan bahwa nafas adalah tuhan, memaksa orang memakai masker yang membuatnya tidak bisa bernafas bebas (alami dan wajar) adalah sama saja dengan melanggar hak orang untuk ber-tuhan, artinya melawan pancasila, sila pertama, yaitu ketuhanan yang maha esa. Di luar dugaanku, dia malah menuduh aku memaksanya mendengarkan ceramahku. Katanya, kita ngomong yang lain aja deh. yang ngomongnya bisa ketemu. Wadduh! adakah yang lebih penting untuk diomongkan saat ini selain nafas? Saat makin banyak korban yang berjatuhan akibat mengabaikan nafas-nya?
Kemudian, sempat aku melihat berita di IG Kumparan tentang pernyataan Luhut B. Pandjaitan untuk mengimpor oksigen. Ini benar2 bikin galau hatiku. Teringat bahwa beliau pun biangnya bisnis energi kotor, batubara. Tapi, aku teringat pesan Sadhguru, jangan biarkan dirimu merasa dilawan oleh sesuatu atau seseorang. Akupun menenangkan diri dengan monolog menghibur diri, antara nita & sung. "Kita harus bisa melampaui segala dualitas ini Nita sayangku", kata Sung kekasihku. "Ya, yeobo sayangku, sebagai yogini, kita mesti bisa melampaui dualitas ini". Semuanya hanya permainan dan irama kehidupan, eksistensi yin-yang di semesta, semesta sedang berkontraksi oleh energi yang. pada saatnya nanti pasti akan kembali berekspansi oleh energi yin.
Rabu 8 Juli lalu aku memutuskan untuk berpuasa internet selama tiga hari penuh. Wah, ternyata sangat nyaman dan lebih merdeka, bisa lebih khusyuk dalam meditasi2 maupun kerja gambar/lukisan ditemani musik2 lembut berbahasa Indonesia dan berbahasa Korea.
Sabtu 11 Juli kemarin, lewat pukul setengah sepuluh malam, aku hidupkan ponsel dan matikan mode terbangnya. Aku terhubung internet, dan info pertama yang kudapat adalah video dr. Louis Owien yang tidak percaya Covid-19 dan menyebut kematian pasien covid gegara interaksi antar obat. Aha! gak ada yang kebetulan! Aku yakin, inilah jawabab semesta yang akan mengakhiri drama kolosal pandemi yang menyengsarakan banyak rakyat kecil namun makin memperkaya mereka yang serakah, para pialang saham dan pebisnis sumber daya alam yang kagak ada puas2-nya.
Sungguh! Aku salut terhadap dr. Louis Owien. Perempuan cerdas dan pemberani. Saat aku menuliskannya di blog pribadiku ini, sempat aku ngintip kabar tentang beliau, ternyata beredar beberapa berita bahwa si cemerlang Louis ditangkap polisi. Hal ini justru menguatkan keyakinanku bahwa beliau benar! Karena kebenaran itu membahayakan dan kurang ajar (bagi mayoritas masyarakat).
Cinta kami bersamamu, dokter Louis! Berani karena benar!
#nitasung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar