Jumat, 11 Oktober 2024

RAJA TANPA HIDUNG

Setiap kali aku berjalan kaki menuju desa tetangga, tepat di seberang Pasar Adat Megati perhatianku tertuju pada dua patung kembar yang teronggok di emperan toko pot yang minim jualan sejak lama. Entah berapa puluh kali aku begini. Kebetulan, dua pagi lalu, di tempat itu ada seorang perempuan tua, yang sedang menyajen. Aku menyapanya, kami saling senyum. Aku lalu bertanya, "Bu, itu patung dijual?" Katanya sambil tetap bersenyum, "Nggih..." Aku tanya lagi, "Satunya harga berapa, Bu?" Jawabnya, "Duaratus ribu, Bu." Aku mendekati kedua patung hingga bisa menyentuhnya, dan baru sadar bahwa salah satunya cacat, yaitu tanpa hidung. Aku bertanya lagi, "Bu, yang ini cacat, hidungnya lepas, mungkin pernah terbentur atau jatuh... Kalau yang ini harga berapa, Bu?" Si Ibu diam sejenak, kemudian menjawab, "Ya, berapa saja, ambil deh!" Dan aku membelinya seharga duapuluh ribu rupiah.


Sphinx di Giza

Wow! Patung ini ternyata berat banget! Sambil berjalankaki menggendongnya, aku teringat monumen Sphinx di Giza, Mesir, di dataran tinggi sebelah barat Sungai Nil. Citranya tampak jelas di benakku karena tahun lalu aku belajar cukup dalam tentang sejarah esoteris "Sphinx dan Kunci Waktu".Sphinx adalah singa dengan kepala manusia. 

Ada yang mengatakan wajah manusia itu mirip Fir'aun Khafre. Jadi, sejarah eksoteris berasumsi, bukti arkeologi menunjukkan bahwa patung ini dibuat oleh orang Mesir kuno dari Kerajaan Lama pada masa pemerintahan Khafre, yaitu sekitar tahun 2558–2532 SM.

Tapi, aku cenderung lebih percaya sejarah esoteris, bahwa Sphinx sudah ada sebelum peristiwa banjir bah zaman Nuh. Ada bukti yang melekat pada monumen ini, sehingga asumsi ini lebih masuk akal. Antara cakar singa Sphinx di Giza, menatap ke arah timur, adalah sebuah batu besar yang membawa tulisan 'Ini adalah Tempat Indah Waktu Pertama'. Waktu Pertama yang misterius, atau Zep Tepi, adalah ungkapan yang digunakan orang2 Mesir untuk menyinggung awal waktu. Dalam mitologi mereka, Zep Tepi ditandai dengan munculnya gundukan purba dari air dan turunnya Phoenix di atasnya.

Bauval, Sang Egiptologis, mengetahui bahwa pada tanggal awal 11.451 SM Bima Sakti, yang memiliki arti penting yang sangat besar dalam budaya kuno di seluruh dunia sebagai 'sungai jiwa', terletak tepat di atas sungai Nil, sehingga mereka saling bercermin. 

Selain itu, dia juga terkejut bahwa pada tanggal paling awal 11.451 siklus Sothic dan tahunan bertepatan dengan siklus ketiga, Tahun Agung – siklus lengkap zodiak selama 25.920 tahun – dengan cara yang paling berarti. Karena pada tanggal itu pandangan Sphinx bertubuh singa ke arah timur akan tertuju pada fajar Zaman Leo.

Sphinx mewujudkan empat konstelasi utama zodiak, empat sudut kosmos - Leo, Taurus, Scorpio dan Aquarius, Empat Elemen yang bekerja sama untuk membuat dunia material. Sphinx, menurut sejarah rahasia, adalah monumen pada kali pertama, Empat Elemen terkunci pada tempatnya dan materi akhirnya menjadi padat.

Jadi, Sphinx juga menandai akhir Zaman Metamorfosis, penetapan bentuk biologis yang kita kenal sekarang. Itu juga menghalangi jalan kembali. Dalam Genesis, Singa adalah salah satu Cherubim yang menghalangi jalan kembali ke Eden, dan orang2 Mesir menyebutnya Sphinx, terdiri dari empat Cherubim, 'Hu', yang berarti pelindung. Dengan ini mereka (orang2 Mesir) memaknakan bahwa dia (Hu) menjaga, melawan ke-tergelincir-an kembali ke cara-cara prokreasi yang lama.

Sekarang, timbul pertanyaan, kapankah hidung Sphinx hilang? Aku telah berupaya mencari untuk menemukan informasi dari berbagai sumber. Salah satunya, dan yang paling lawas waktunya, adalah sumber yang menyatakan bahwa menurut Makrizi, Rashidi, dan cendekiawan Arab abad pertengahan lainnya, wajah Sphinx dirusak pada tahun 1378 M oleh Mohammed Sa'im al-Dahr, seorang sufi fanatik dari biara sufi tertua dan paling dihormati di Kairo. Informasi ini bagi gue, masa' sih ada sufi yang fanatik? masa; sih ada sufi yang tega merusak pusaka leluhur suatu wilyah? Terlepas dari benar atau tidak informasi ini, aku berasumsi bahwa sejak abad ke-14, dunia memiliki simbol "Raja Tanpa Hidung".



Materialisme

Sebutan ini, 'Raja Tanpa Hidung', muncul di benakku dengan mengasosiasikan kondisi seseorang, secara individual, siapapun, yang menggunakan nafasnya semata-mata untuk hal-hal material. Seseorang yang diperbudak oleh kebutuhan perut dan kebutuhan seks tubuh fisiknya. Jika semakin banyak individu terperangkap dalam kondisi ini, maka fenomena ini menjadikan banyak bangsa di dunia mengarah pada kehidupan materialistis. 

Hal ini diperkuat dengan catatan sejarah eksoteris, bahwa kolonialisme masa awal dimulai pada abad ke-15, ketika negara-negara Eropa mulai mengirim armada ke Amerika Selatan, Afrika, dan Asia untuk mengambil alih wilayah tersebut dan membangun kerajaan kolonial. Negara-negara Eropa yang terlibat dalam kolonialisme masa awal ini termasuk Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris.

Tapi benarkah kolonialisme baru dimulai pada abad ke-15? Dalam sejarah esoteris, Mesir juga memiliki wilayah-wilayah koloni. Bahkan Osiris digambarkan sebagai dewa terakhir Mesir yang masih berjalan di antara manusia-manusia, dan menjadi pemimpin perang melawan monster-monster dan makhluq-makhluq hibrida (perpaduan manusia dan binatang) dalam menaklukkan wilayah-wilayah untuk dijadikan koloni Kerajaan Mesir. Pada periode yang disebut 'Kejayaan Islam', yaitu pada abad ke-8 hingga abad ke-11 Masehi, negara-negara di wilayah Eropa dikuasai oleh kekhalifahan dan dinasti-dinasti bangsa Arab. Harun Al-Rasyid, membangun kota Baghdad dengan istana yang sangat megah, menjadi pusat kekuasaannya. Beliau tidak menyerang keturunan Ali bin Abi Thalib sebagaimana khalifah-khalifah sebelumnya, beliau malah 'menyerang' negara Romawi secara diplomatis. Hegemoni Kekhalifahan Islam ini dilanjutkan oleh Dinasti Umayyah, yang menguasai Spanyol, di mana perpustakaan terbesar dan terlengkap pernah ada, yaitu di Cordoba.

Jadi, mungkin benar bahwa kolonialisme baru dimulai pada abad ke-15, karena di era Osiris, Mesir Kuno, para pemimpin tidak mengeksploitasi Alam. Malah mereka bekerjasama dengan Alam, untuk transformasi peradaban, demikian juga di era Kehalifahan Islam, walaupun konsep berfikir manusia cukup materialistis, namun lebih pada upaya menghimpun, mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan baru. Di masa kejayaan Islam, materialisme masih diimbangi dengan spiritualisme. Sebagai contoh nayatanya, Harun al-Rasyid menerima Abu Nawas -- seorang sufi -- sebagai sahabat yang senantiasa bisa menolongnya memecahkan teka-teki kehidupan.


Kolonialisme dan Imperialisme

Kembali pada tema sentral tulisan ini, Raja Tanpa Hidung. Ketika hidung Sphinx lepas, Semesta memberi tanda bahwa kesadaran umat manusia mulai jatuh dalam kepadatan materi. Para pemimpin negeri2 yang justru telah dibekali ilmu pengetahuan, yaitu Eropa menjadi tidak puas dengan apa yang dimiliki sendiri di negeri-negeri mereka. Mereka, terutama Inggris, Spanyol, Portugis, dan Belanda merambah untuk menemukan wilayah-wilayah di benua-benua lain, termasuk Amerika, dan terutama di Asia dan Afrika. 

Kolonialisme ini awalnya digerakkan oleh para pedagang alias saudagar-saudagar. Mereka disokong oleh Raja dan Ratu di mana mereka jadi rakyatnya, karena jika para pedagang ini sukses, maka upeti bagi kerajaan juga makin besar. Di Indonesia, eh di wilayah Nusantara, gerakan perdagangan ini dikenal dengan sebutan VOC, atau Kompeni. Inilah wujud kolonialisme dan impreialisme pada sejarah Nusantara pada abad ke-16 hingga abad ke-20.


Kapitalisme dan Feodalisme

Sejalan berlangsungnya kolonialisme dan imperialisme, kapitalisme pun tumbuh dan berkembang. Kapitalisme didukung oleh feodalisme. Para bangsawan adalah juga tuan tanah di banyak wilayah, termasuk di berbagai kerajaan di wilayah Nusantara. Di masa itu tanah atau lebih tepatnya lahan adalah modal utama, di samping rakyat jelata, menjadi budak yang diperjualbelikan.

Umat manusia, baik para pemilik modal, kompeni, hidup dengan menjalankan hal utama, yaitu mendapatkan uang dan emas untuk meningkatkan kekayaan dan kepemilikan modal mereka. Para budak menjalani kehidupan keras bagai mesin, tak sempat lagi berfikir dan berenung, demi mendapatkan makanan, dan melanjutkan hidup.


Kapitalisme Neo-Liberal

Di abad ke-21, kapitalisme berkembang lagi menjadi kapitalisme neo-liberal. Siapapun bisa menjadi pemilik modal dengan memiliki sejumlah saham di perusahaan-perusahaan industri besar. Hal ini makin berkembang karena didukung oleh kemajuan teknologi informasi yang pesat. Keputusan-keputusan yang diambil oleh para pialang di pasar saham dipengaruhi oleh informasi-informasi yang sedang mencuat secara global. Tragisnya, karena teknologi informasi yang sangat modern bisa juga menciptakan informasi-informasi palsu yang dapat disebarkan eh diviralkan dalam sekejap mata! 

Hmmm. Baiknya kita jeda dulu, menarik nafas panjang...

.

.

.

Singaraja

Ohya, baiknya aku kembali cerita tentang patung cacat di awal tulisan ini. Setelah cari-cari informasi dari berbagai sumber, maka kuketahu bahwa ini adalah patung Singa Ambara Raja. Salah satu hewan mitologi, yang menjadi maskot Kota Singaraja di Bali Utara. Nama 'Singa Ambara Raja' bermakna Singa yang berperan sebagai raja yang menguasai langit dan ruang tanpa batas. Kok jadi nyambung juga dengan pemahamanku tentang Sphinx di Giza. Dan, bahwa proklamator negeri yang disebut Indonesia ini lahir dari rahim seorang perempuan Bali yang lahir dan tumbuh dewasa di wilayah Kerajaan Singaraja. Konon, di masa lampau, di abad pertama Masehi, Singaraja adalah kota pelabuhan internasional. Singaraja juga pernah menjadi ibukota Negeri Sunda Kecil. 

Sebagai catatan tambahan, sebelum kolonial barat datang ke Nusantara, wilayah kepulauan antara dua samudera dan dua benua ini terbagi menjadi dua negeri, yaitu negeri Sunda Besar dan negeri Sunda Kecil. Sunda besar mencakup Pulau Sumatra, Pulau Kalimantan, dan Pulau Sulawesi. Sedangkan negeri Sunda Kecil mencakup Pulau Jawa, Pulau Bali, Pulau Nusa Tenggara (barat dan timur), Pulau Maluku, dan Pulau Papua.

Jadi, terbayang bukan, betapa besar wilayah diibukotai Singaraja pada masa lampau itu. Tidak heran jika ruh Bung Karno memilih rahim seorang perempuan Singaraja untuk reinkarnasinya.



Raja adalah Representasi Rakyatnya

Namun, di dekade kedua abad ke-21 ini, mengapa bangsa ini dipimpin oleh Presiden ketujuh, seseorang yang qualitas kemanusiaannya jauh, sangat jauh di bawah qualitas Bung Karno? 

Ada pepatah kuno berbunyi: "Di suatu pulau yang hampir semua penduduknya buta total, maka yang menjadi raja adalah yang matanya melek sebelah, bukan orang yang kedua matanya dapat melihat."

Negeri ini pernah dipimpin oleh Gusdur, Presiden RI keempat. Padahal, mata Gusdur sebelah kiri buta. Menurut beliau sendiri, Gusdur bisa jadi presiden, karena hampir semua rakyat di negeri ini buta, pada masanya.

Ayok, tarik nafas lagi dalam-dalam, tahan, hembuskan perlahan...

Pertanyaan berikutnya yang aku tanyakan pada diriku sendiri di banyak renungan, "Mengapa negeri ini bisa dipimpin oleh 'Raja Berhidung Panjang?" Pertanyaan ini muncul tak terelakkan karena ada banyak orang dan media yang mengasosiasikan Presiden Jokowi dengan Pinokio dan Petruk.

Antara lain:

Salah satu edisi majalah Tempo yang terbit pada September 2019 berupa pencitraan Jokowi dengan bayangan berhidung panjang. Jokowi dan Pinokio, jadi tema utama edisi tersebut.



Ada juga lagu berjudul "Raja Petruk" karangan Refly Harun di kanal youtube-nya. Liriknya sebagai berikut:

Ini cerita tentang Raja Petruk 

Berkhotbah di depan rakyat yang mulai batuk

Orasi tak cerdas malah bikin ngantuk

Lebih baik bayangkan kue getuk


Harga-harga menjulang ke angkasa

BBM pun melesat ke udara 

Wajah-wajah cerah jadi kusam 

Semua mereka mulai putus asa


Tapi ada yang pura-pura bahagia

Dipimpin Raja Petruk 

yang banyak bohongnya

Lho kok bisa begitu


Usut punya usut mereka dapat itu

apa itu? mulus tentu tuh 

Jutaan rakyat geruduk istana

Protes ke pemilik singgasana 


Hei Si mukidi malah pergi

Bertemu rakyatnya sudah tak sudi 

Lewat pintu belakang dia lari

Ah, dasar mukidi

Sumbernya pada tautan ini.

Aku tidak mau membeberkan di sini kebohongan-kebohongan Presiden Jokowi, karena mungkin sudah terlalu banyak yang diketahui masyarakat luas. Demonstrasi berjilid-jilid juga sudah digelar di berbagai kota di negeri ini, dan sebutan maupun gambar si Hidung Panjang dimunculkan. Bahkan gugatan-gugatan hukum mendakwa Presiden Jokowi di lembaga-lembaga pengadilan sudah pernah digelar, dan masih sedang dilangsungkan. Sungguh persiapan mendebarkan menjelang lengsernya dari singgasana istana, delapan hari ke depan.

Yang menjadi kepedulianku dan pertanyaanku yang sangat personal, atau mungkin juga sangat universal, adalah "Adilkah jika Joko Widodo alias Mulyono dijatuhi Hukuman Mati sebagaimana Akhenaten, Fir'aun Mesir yang ingin dihapus dari sejarah eksoteris ?"

Bisa jadi, pepatah kuno yang diucapkan Gusdur itu sangat benar. Itu tentang cacat pada mata alias fungsi penglihatan. Nah, pada kasus presiden ketujuh ini, cacat pada hidung, alias pernafasan dan pengendusan. Walaupun proses pernafasan berlangsung di organ paru-paru, jantung, otak, dan semua/setiap sel tubuh, namun hidung adalah pintu masuk dan keluarnya udara.

Jangan-jangan, hampir semua rakyat di negeri ini tidak memfungsikan hidungnya sebagaimana sepatutnya. Hal ini dipertegas pada masa pandemi covid-19 (rentang 2020 ~ 2022). Hampir semua orang terhipnotis untuk tidak menggunakan hidungnya sebagai bagian dari sistem pernafasan alami. Kok bisa ya, pakai masker sekian lama? Aku pakai masker setengah jam saja sudah megap-megap, makanya aku mending tinggal di rumah, bertapa, tapi dapat bernafas bebas dengan udara bersih dan segar, daripada harus memakai masker jika keluar rumah, dan bertemu orang lain.

Jika 'berhidung panjang/ dianggap sebagai cacat atau stigma, maka 'tanpa hidung' adalah cacat yang lebih parah! sebagaimana buta sebelah dibandingkan dengan buta total.

Kuulangi pertanyaanku, "Adilkah jika Joko Widodo alias Mulyono dijatuhi Hukuman Mati sebagaimana Akhenaten, Fir'aun Mesir yang ingin dihapus dari sejarah eksoteris ?" Aku bukan hendak membela Jokowi, aku bahkan sering mengkritiknya, sejak di periode pertama rezimnya. Tapi, ada rasa kurang adil jika beliau dikeroyok  dan dibunuh oleh mereka yang mungkin tidak lebih baik daripada dia. 

Entahlah, tapi siapa yang kuasa melawan Sunnatullah ?

Mungkin, akan lebih adil, jika pelajaran mengalami di-presiden-i oleh seorang "Raja Hidung Panjang" dijadikan refleksi, agar kita, tiap individu menjadi manusia yang lebih baik, lebih sadar akan nafas kita. Nafas adalah Jiwa, sekaligus kesadaran Semesta.


Akhenaten 

Ohya, ada warga net yang menunjukkan banyak kemiripan Jokowi dan Akhenaten, salah seorang fir'aun Mesir yang dalam pengetahuan sejarah esoteris disamakan dengan Seth, setan yang membunuh Osiris, Dewa Hijau Mesir. Dan, hal ini muncul di media sosial setelah beberapa bulan sebelumnya aku menulis posting di facebook, "Nggak tauk kenapa, tadi pagi aku tetiba bisa mengasosiasikan IKN dengan ibukota Mesir zaman Akhenaten", yaitu pada 15 Desember 2023. Dan, ternyata memang ada kemiripan bentuk wajah Jokowi dan Akhenaten.




Akhenaten merajai Mesir, memuja Aten, Dewa Cakram Matahari, yang dianggapnya satu-satunya tuhan, namun dia lebih fokus pada kehidupan keluarganya. Mereka menikmati kehidupan mewah di dalam istana di ibukota baru.

Akhirnya keruntuhan dimulai dari dalam. Setelah 15 tahun memerintah, terlepas dari semua doanya kepada Aten, putri kesayangannya meninggal. Dan ibunya, Tee, yang selalu mendukungnya, juga meninggal. Nefertiti, istrinya yang sangat cantik menghilang dari catatan pengadilan.

Dua tahun kemudian para pendeta membunuh Akhenaten, dan mereka mengangkat pemuda yang dikenal dunia sebagai Tutankhamun ke atas takhta. Para pendeta segera mulai memulihkan Thebes. Ibu kota Akhenaten dengan cepat menjadi kota hantu, dan setiap monumen, setiap penggambaran dirinya, dan setiap penyebutan nama Akhenaten dihapus dengan kejam dan sistematis.

Beberapa komentator modern melihat Akhenaten sebagai sosok kenabian dan bahkan ketuhanan. Namun penting bahwa, seperti yang diketahui Manetho, orang Mesir mengingat pemerintahannya sebagai peristiwa Setan. Seth, tentu saja, adalah Setan, roh materialisme yang agung, yang selalu berupaya menghancurkan spiritualitas sejati.

Demikian, sekadar kenang-kenangan bagi Presiden RI yang akan lengser.


Oleh Anetha Athena alias NitaSung


Catatan:

Tulisan ini terinspirasi dari berbagai sumber, di luar diri penulis, dan banyak juga dari hasil perenungan atas pengamatan-pengamatan langsung, dan pengalaman hidup penulis.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar