Minggu, 24 Maret 2019

Lanskap Budaya dan Konservasi Air di Bali


Perspektif kehidupan beberapa orang Bali seperti nenek tetanggaku, seperti kakek teman sahabatku di Bali Utara dan teman-teman sebaya mereka sangat menarik. Perspektif mereka tentang kehidupan dan cara hidup mereka telah diwarisi dari generasi ke generasi di Bali, yang mereka sebut "Agama Bali".



Agama Bali telah tumbuh dan berkembang di pulau yang subur ini, pulau yang hijau dan subur oleh berbagai spesies pohon buah dan bunga-bunga. Sangat cocok dan sesuai untuk petani dan penduduk desa yang masih menyentuh tanah, bertani, berjalan di sepanjang sungai dan mendengarkan semilir angin pagi. Di sini, kehadiran Bhatara-Bhatari (roh suci) sangat nyata: dalam angin sejuk dan lembut, dalam pergerakan daun, cabang-cabang pohon, kilau embun di ujung daun dan kelopak bunga, tebing-tebing berlumut ditumbuhi berbagai pakis dan bebatuan sungai juga indah dalam keacakannya.

Cara hidup orang Bali di masa lalu memanifestasikan dirinya dalam beberapa lanskap budaya, mulai dari pohon-pohon tua besar yang keramat di daerah pura kahyangan, sistem pertanian yang kemudian dikenal sebagai sistem subak, tapak sumber air minum alami, yang disebut beji, yang hampir ada di setiap desa adat/pakraman, kemudian, sumur gali dangkal dengan kedalaman hanya 2 meter hingga 5 meter, ada di hampir setiap senyawa keluarga besar, jenis sumur ini disebut bulakan. Bahkan, upaya untuk menggunakan kembali air bekas juga telah dilakukan oleh orang Bali di masa lalu. Kolam dengan bunga teratai atau bunga tunjung, yang termasuk sebagai tanaman suci, dan tanaman lain yang sebenarnya berfungsi sebagai pembersih atau pemurni air bekas dari dapur, area cuci dan kamar mandi. Jadi setidaknya, ada lima jenis lanskap budaya Bali yang terkait erat dengan sistem pengelolaan air di Bali, yaitu pohon besar keramat di dekat pura kahyangan, subak, beji, bulakan dan kolam BALI (kolam bunga air limbah indah).

1. Pohon Besar Suci

Setidaknya, di pura-pura Kahyangan, yaitu Pura Dalem, Pura Desa dan Pura Puseh di hampir setiap desa tradisional di Bali, pasti ada satu atau lebih pohon besar yang disakralkan. Selain di ketiga pura ini, pohon sakral juga ditemukan di tapak/kawasan Pura Bale Agung (di desa adat besar tertentu), dan di daerah Pura Mrajapati, yang merupakan tempat upacara pembakaran mayat (aben) atau tempat penguburan mayat. Aku menerima informasi bahwa keberadaan pohon bukan pertimbangan untuk memilih lokasi pura. Tetapi pohon-pohon di lokasi atau kawasan sebuah pura dianggap suci dan dibiarkan tumbuh semakin besar. Beberapa pohon besar kemudian juga menjadi tempat persembahan dihaturkan.

2. Subak

Subak adalah sistem distribusi air di daerah pertanian tertentu dengan sekelompok pelaku budidaya yang disebut krama subak. Wilayah subak tidak identik dengan wilayah administrasi desa dinas, juga tidak identik dengan wilayah desa adat/pakraman. Pada dasarnya, wilayah subak adalah daerah dengan satu sistem irigasi, dan karena wilayah subak memiliki orang-orang tertentu, yaitu krama subak, sekelompok petani yang juga dapat dengan sengaja secara musyawarah membuat peraturan (perarem dan awig-awig) untuk wilayah mereka, maka wilayah subak juga disebut sebagai desa subak. (Dr. Ni Luh Kartini, 2015).

Pada awal sejarahnya, apa yang dimaksud dengan subak adalah sistem irigasi yang mengairi sawah atau lahan basah penanaman padi. Namun, sejalan dengan perubahan zaman, terutama sejak invasi sistem pertanian modern di awal 70-an di Bali, perlahan dan terus meningkat, lahan pertanian basah yang juga disebut "subak yeh" telah berubah menjadi lahan pertanian kering atau "subak abian". ” Sejak saat itu, semakin banyak petani yang meninggalkan sistem pertanian tradisional yang lebih ramah terhadap irama alami. Petani dituntut oleh keadaan dan juga sistem globalisasi yang tidak disadari, untuk menghasilkan lebih banyak dan lebih cepat beras. Penggunaan bahan kimia sintetis dalam bentuk pupuk dan pestisida bermerek menyertai penggunaan benih unggul, tiga serangkai sistem pertanian modern (saat ini disebut pertanian konvensional) yang perlahan tapi pasti merusak kesuburan wilayah pertanian dan ekosistem.

3. Beji

Beji adalah situs mata air suci, sumber air suci yang digunakan dalam setiap upacara keagamaan. Air di beji dalam wilayah suatu desa pakraman dapat diambil untuk minum sehari-hari oleh penduduk desa, dengan catatan, mengikuti aturan adat yang berlaku. Aturannya antara lain: hanya mengambil secukupnya, tidak mencemari area beji, membawa sesaji sederhana canang atau buah atau bunga, dan menyumbang seikhlasnya untuk pemeliharaan area beji.

Beji biasanya ditemukan di tengah atau di antara hutan bambu dan pohon-pohon besar tidak jauh dari sungai. Di setiap situs beji ada pura atau pelinggih yang dimaksudkan untuk tempat roh penjaga sumber air minum alami. Secara umum, air tawar di beji tidak pernah habis bahkan di musim kemarau yang panjang. Aku belum mendapat data atau informasi tentang adanya beji yang kehabisan air. Tapi, bisakah kualitas air dijamin sepanjang waktu?

4. Bulakan

Sumur galian dangkal yang hanya 2 meter hingga 5 meter disebut bulakan oleh orang Bali. Aku menemukan empat bulakan di empat karang keluarga besar di Kabupaten Selemadeg Timur, Tabanan. Satu bulakan ada di karang keluarga besar Ibu Krisna di desa pakraman Megati Kelod. Tiga bulakan di desa pakraman Bantas, yaitu di halaman keluarga besar Ibu Angga, di halaman keluarga besar Ibu Adi, dan halaman ketiga yang aku maksudkan adalah halaman di karang keluarga Ibu Nova, tepat di sebelah karang tempat aku tinggal sekarang.

Bulakan itu juga diyakini memiliki roh penjaga, sehingga pada hari-hari tertentu, pemilik atau salah satu penghuni kompleks juga menaruh persembahan di tepi sumur dangkal sebagai bagian dari sembahyang, terutama di setiap hari tilem dan hari purnama.

Informasi tentang empat bulakan yang aku temukan, menurut penghuni masing-masing karang, tidak pernah kering bahkan di musim kemarau panjang. Kualitas airnya tidak sebagus kualitas air yang didapatkan di beji, yang bisa diminum langsung. Namun, menurut pengalamanku, air dari bulakan lebih baik daripada air dari pipa PDAM untuk keperluan menyiram tanaman.

5. Kolam BALI (kolam bunga air limbah indah)

Pada saat nenek tetangga saya masih muda, sabun yang mereka gunakan tidak merusak lingkungan, karena itu murni dari bahan-bahan alami, yaitu buah kererek. Di beberapa daerah, terutama di Bali Utara, sampai sekarang mereka masih menggunakan buah kererek untuk mencuci piring dan mencuci pakaian. Untuk menyikat gigi, beberapa masih menggunakan apa yang mereka sebut siwak, ranting pohon intaran yang banyak ditanam di Bali Utara. Dengan menggunakan bahan pembersih dan sabun cuci yang ramah lingkungan, air bilasan cucian dan air bekas lainnya dapat lebih mudah dimurnikan dan digunakan kembali, baik untuk dikonsumsi apalagi untuk mencuci, mandi dan menyiram tanaman.

Pada waktu itu, dalam karang-karang keluarga besar biasanya ada kolam bunga yang berfungsi sebagai pembersih yaitu pembersih air limbah. Tumbuhan air tumbuh di kolam, antara lain teratai dan tunjung yang termasuk dalam tanaman sakral dan juga digunakan dalam upacara keagamaan tradisional di Bali sampai sekarang. Tumbuhan lain yang biasanya dipelihara di kolam air limbah adalah kapu-kapu, sejenis spesies pembersih air. Jenis kolam ini kemudian dikenal sebagai "kolam BALI" atau kolam Bunga Air Limbah Indah (taman bunga air limbah yang indah).

Merenungi kehidupan nenek tetanggaku, aku pikir dan aku percaya bahwa kita di Bali sudah memiliki modal yang cukup untuk menghemat air di pulau ini. Modal utama kita adalah lanskap budaya. Keberadaan lanskap budaya ini perlu direvitalisasi, dan dikembalikan ke fungsi utamanya. Poinnya adalah:
  • Pohon-pohon besar nan sakral di sekitar kuil dan tempat-tempat suci lainnya perlu dijaga lebih baik;
  • Sistem pertanian kita perlu dipulihkan seperti pada zaman sistem pertanian tradisional, yaitu pertanian organik;
  • Hutan bambu di sekitar area beji perlu dilindungi dari penebangan besar-besaran, dan polusi dalam bentuk limbah anorganik;
  • Setiap bulakan yang ada diperbaiki, diselamatkan dari polusi, dan menambahkan vegetasi di sekitarnya. Membuat lebih banyak bulakan pada karang keluarga yang tidak memilikinya dan di kebun atau subak abian;
  • Yang terakhir, serta yang paling signifikan dapat mempertahankan siklus air permukaan dan air tanah dangkal, adalah pembuatan kolam BALI sebagai sistem pemurnian berbasis biologis, sebagai bagian dari sistem siklus air di kawasan tempat, dalam skala lingkungan.

Sebagai poin tambahan, lansekap budaya Bali tidak terlepas dari keberadaan pohon kelapa yang juga termasuk tanaman suci Bali, dan pohon kelapa merupakan citra asli pulau ini, kemudian perkerasan jalan pada tanah dari bahan alami, seperti susunan batu sungai atau kerikil dari batu gunung yang tertata rapi tanpa semen. Dengan menerapkan kembali lanskap budaya Bali, curah hujan juga secara alami tidak sia-sia karena ada lebih banyak daerah tangkapan air untuk memanen air hujan, yang masuk ke tanah di bumi, dan menjaga ketersediaan air di bulakan.

Poin-poin di atas tentang menjaga kelestarian air di Bali sebenarnya telah diajarkan oleh nenek moyang kita di Bali. Tepat seperti yang dikatakan Profesor Sung-Kyun Kim sebagai dosen tamu di kuliah "River Restoration and Sustainable Waterfront" di Surakarta dua tahun lalu: "Jika Anda ingin belajar tentang kelestarian alam, maka belajarlah dari leluhur Anda."

Penulis: Anita S. Arif, pemilik blog ini.

Sumber:
Sugi Lanus, Gede Kresna, Ni Luh Kartini, Bu Krisna, Bu Adi, orang-orang lain di lingkungan tempat aku pernah tinggal, dan di lingkungan tempat tinggal sekarang, pengamatan dan pengalaman pribadi.

2 komentar:

  1. Jika ada waktu, mungkin baik jika dicantumkan jumlah kebutuhan rata-rata air tiap orang per har.

    BalasHapus
  2. Terimakasih untuk masukannya...

    BalasHapus