Ada sesuatu yang begitu menggelitik di dalam diriku beberapa hari terakhir ini untuk menuliskan ini.
Bagai sedang menonton pertunjukan film genre komedi, sikap dan polah pada umumnya masyarakat, pemerintah dan lembaga-lembaga resmi lainnya begitu konyol. Mungkin bagi mereka yang tidak mengenali hakikat sistem dirinya dan sistem lingkungan hidup alami, kekonyolan itu bukanlah kekonyolan, tapi suatu keharusan yang perlu dijadikan kenormalan baru.
Padahal yang namanya fithrah diri manusia ini tidak berubah sampai kapanpun. Fithrah bukanlah tentang kesucian atau hal2 sakral maupun profan. Fithrah adalah pola, patron, lebih tepatnya disebut "kerangka sistem".
Indonesia adalah satu dari beberapa negara dengan penduduk beragama islam terbanyak. Agama islam memiliki kitab suci al-qur'an yang bernilai literasi sangat tinggi dan mulia, saking tingginya dan mulianya, kata Bang Imad, guru tauhidku, kitab suci al-qur'an ini terlalu canggih bagi bangsa Arab. Maksudnya, jangan menjadikan bahasa, pola pikir dan budaya bangsa Arab sebagai patokan dalam memahami ayat2 al-qur'an. Kitab suci al-qur'an sebagaimana kitab-suci2 lainnya bersifat universal, kandungannya bukan kebenaran yang bersifat parsial, bukan yang bersifat lokal, bukan nasional, bukan global, bukan juga yang bersifat internasional, tapi kebenarannya bersifat universal. Dan sebagaimana kitab-suci2 lainnya (antara lain tao te ching dan wedha), al-qur'an juga tersusun dalam bahasa yang metafor dan paradoks.
Beberapa abad sebelum diwahyukannya ayat demi ayat al-qur'an, Socrates, pemikir yang buta huruf dan tidak pernah belajar di sekolah mengatakan, "know thyself", kenalilah dirimu. Ayat pertama dan utama yang diwahyukan sebagai kitab suci al-qur'an melalui kesadaran tertinggi Muhammad bin Abdullah yang juga buta huruf, adalah
اِقۡرَاۡ بِاسۡمِ رَبِّكَ الَّذِىۡ خَلَقَۚ
diterjemahkan, "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan." Ini adalah ayat pertama dari surah ke 96. QS. Al-'Alaq (Segumpal Darah). Dan ini adalah ayat pertama yang diwahyukan sebagai kitab suci al-qur'an.
Dengan keyakinan bahwa kitab-suci2 adalah manual diri manusia, maka dalam upaya memahami ayat2 kitab suci, aku, diri ini menggunakan cara refleksi, yaitu dengan renungan reflektif setelah melafalkannya secara tartil berulangkali hingga fasih. setiap kata perlu kurefleksikan ke diri sendiri. jadi, pemahaman yang aku gali adalah sebagai berikut:
Dalam membaca tanda2 dan fenomena2 alam, diri ini harus dengan menghidupkan sifat rabb yaitu sifat rahman-rahim (sifat bertanggungjawab dan sifat memelihata) sebagaimana fithrah manusia yang adalah fithrah allah juga. Kata "rabb" juga bermakna pemelihara dan pelestari. Adapun kata "binafsika" yang akarnya adalah nafs, seakar dengan kata yang berarti kesadaran diri dan nafas, kata-kata yang seakar ini mengantarkan pada pemaknaan bahwa kita perlu senantiasa menyadari dan mensyukuri nafas kita.
Sistem pernafasan manusia sederhana saja, kita perlu menghirup, memasukkan oksigen yang dihasilkan tanaman dan pepohonan ke sistem pernafasan diri ini, dan mengeluarkan hasil pembakarannya, melepaskan karbon dioksida, yang akan diserap lagi oleh tanaman dan pepohonan. Maka setiap hari, diri ini perlu di-hisab (dievaluasi) oleh diri ini sendiri. Jangan2 nafas diri ini hanya untuk kapital uang! Sehingga segala sumber daya alam mau dijadikan uang.
Hanya ada tiga kata iqra' dalam kitab suci al-qur'an, dua berikutnya adalah:
اِقۡرَاۡ وَرَبُّكَ الۡاَكۡرَمُۙ
diterjemahkan, "Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia" Ini adalah ayat ketiga dari surah ke 96. QS. Al-'Alaq (Segumpal Darah).
dan
اِقۡرَاۡ كِتٰبَك َؕ كَفٰى بِنَفۡسِكَ الۡيَوۡمَ عَلَيۡكَ حَسِيۡبًا
diterjemahkan, "Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung atas dirimu." Ini adalah ayat ke-14 dari surah ke-17 QS. Al-Isra (Perjalanan Malam)
Ketiga ayat di atas sangat erat berkaitan untuk memahami bagaimana seharusnya, sepantasnya manusia bersikap dan bertindak terhadap diri sendiri dan alam sekitarnya, sehingga dalam menyikapi hidup ini senantiasa dalam kerangka sistem yang haq (benar, red.).
Sistem diri manusia dapat dipahami juga dengan kata "binafsika" pada ayat ketiga di atas. "binafsika" dari akar kata nafs yang selain bermakna diri, juga bermakna nafas dan kesadaran. Jadi, setiap hari diri ini perlu meng-hisab (= meng-evaluasi) diri dengan membaca diri ini. Alam diri ini juga adalah cerminan sekaligus paradoks alam sekitar, bahkan alam semesta (universe).
Kembali ke kalimat pertama tulisan ini, ada sesuatu yang begitu menggelitik di dalam diriku beberapa hari terakhir ini untuk menuliskan ini.
Dalam masa pandemi ini, terlihat pola yang menambah keyakinan diri ini, bahwa negara2 dengan kasus covid19 yang tinggi adalah negara2 yang warganya (pemerintah dan masyarakat)-nya tidak harmoni dengan alam lingkungan hidup. Agama2 bukan jaminan pemeluknya bisa memahami kitab sucinya dengan benar. Bahkan bisa jadi, masyarakat yang tidak memeluk agama dan tanpa membaca kitab suci tertulis bisa hidup dan menyikapi kehidupan secara lebih bersahabat dengan alam, jika mereka mampu berliterasi dengan benar. Berliterasi bukalah membaca banyak buku tulisan para peneliti dan professor, tapi mengamati dan merenungi tanda2 dan fenomena alam, terutama pada alam diri sendiri, tubuh, raga dan dimensi2 lain kemanusiaan ini.
Beberapa tautan menginfokan betapa oksigen menjadi barang langka yang sangat dibutuhkan di masa pandemi menggila di Indonesia ini. Pada saat yang sama, tiap hari ratusan, mungkin ribuan pohon besar dibunuh untuk dan atas nama pembangunan berkelanjutan. Manusia2 yang katanya ahli dan pintar, pada umumnya para arsitek, dokter2, bahkan professor2 di universitas2 ternama, menjadi pemimpin dalam memabukkan manusia agar melupakan sistem dirinya, yaitu bernafas secara natural, sesuai fithrah,
Bangunan2 didesain dengan udara di ruang2 dalam yang terputus sama sekali dengan alam sekitar. Pengguna bangunan dibuat sangat bergantung dengan fungsi mesin pengkondisi udara alias AC. Padahal, AC membutuhkan energi listrik yang sangat besar. Energi listrik di negeri ini pada umumnya berasal dari batubara. Tambang2 batubara dan bisnis distribusinya mengakibatkan begitu banyak pohon dan hutan yang dibunuh. Jadi, se-olah2 membangun negeri dengan peradaban, ruang2 dalam yang berudara bersih, tapi sebenarnya memperbanyak udara kotor akibat PLTU batubara dan sistem transportasi yang juga tidak ramah lingkungan, menggerogoti sumber2 oksigen alami.
Dan lebih konyolnya lagi, beberapa poster protokol kesehatan covid19 ini disponsori oleh perusahaan2 AC! dengan seruan beli AC menyertai tagar #DirumahAja !
Bahkan ruang2 isolasi di permukiman dan di rumah sakit dibuat jadi ruang udara mati dengan hanya bergantung pada udara AC, tanpa ventilasi alami sama sekali. Bukankah ini ruang2 kematian?
Tragis! Sungguh ini pertunjukan film komedi yang tragis!
gambar: dari akun IG Ridwan Kamil (gubermur Jawa Barat), hotel2 difungsikan sebagai ruang isolasi covid19, tanpa ventilasi alam, bergantung pada AC.
gambar: rumah2 kontrakan di kab. Karawang, Jawa Barat, ventilasi alam ditutup dan pasang AC.
😜😝
Jangan heran jika banyak korban di negeri ini, kalian tidak bersyukur! Ber-putar2-lah dalam lingkaran setan.
Sekarang, jika mau selamat, kembalilah ke fithrah kalian. Hisablah diri kalian. Segala prokes itu hanya akan menambah masalah diri dan lingkungan hidup. Renungkanlah.
Dari begitu banyak arsitek kondang yang profesional maupun yang jadi pejabat publik tidak menyadari sistem terdekatnya. Syukurlah aku melihat seorang arsitek di desa Bengkala, Bali Utara yang dapat menyikapi hidup dan kehidupan ini, terlebih di masa pandemi ini dengan benar dan bahkan tetap produktif dan reproduktif, menghasilkan dan merevitalisasi kearifan2 leluhur lokal yang sebenarnya adalah juga kebenaran universal, yaitu hidup harmoni dengan alam. Ada banyak postingan2 di akun facebook pribadinya, Gede Kresna maupun Rumah Intaran yang sangat inspiratif, atau tepatnya menyadarkan kembali. Salah satunya ini, tentang pohon gayam. Pohon ini bukan hanya berguna sebagai penghasil oksigen, namun juga berfungsi sebagai drainase vertikal atau biopori alami.
nitasung 니타성
Tidak ada komentar:
Posting Komentar