Rabu, 21 Juli 2021

Nafas Cinta

Kemaren tuh hari idul adha...

Dulu, setiap ikut shalat idul adha, ceramahnya pasti mengulangi kisah Ibrahim dan Ismail... Sangat jarang nama Hawa disebutkan, apalagi diangkat sebagai topik perhatian.

Hei! kok Hawa? Hawa kan pasangan Adam. Seharusnya Hajar tuh. Apa hubungan Hawa dengan Ibrahim dan Ismail ?

Kalimat di atas aku tunggu, berharap ada pembaca yang melontarkannya.

Benar, jika aku hanya memaknai Idul Adha sebagai kisah sejarah dalam konteks budaya Arab, maka seharusnya aku menulis begini:

"Dulu, setiap ikut shalat idul adha, ceramahnya pasti mengulangi kisah Ibrahim dan Ismail... Sangat jarang nama Hajar disebutkan, apalagi diangkat sebagai topik perhatian."

Tapi, karena aku memaknai Idul Adha sebagai bagian dari sistem nilai terpadu, kebenaran universal bagi manusia dalam menjalani hidupnya di kehidupan ini, maka aku memasang nama Hawa, bukan Hajar.

Idul Adha ini disebut juga Idul Haji atau Lebaran Haji. Rukun ketiga ibadah haji adalah wukuf di Padang Arafah. Sekali lagi, karena aku memaknai Idul Adha ini sebagai kebenaran universal (kebenaran yang berlaku di semua masa, di semua tempat/negeri, dan pada setiap diri manusia), maka rukun ketiga ini juga seharusnya punya makna yang hidup.

Dari sejarahnya atau legendanya, mengapa ada wukuf di Padang Arafah, karena di tempat itulah Adam dan Hawa bertemu saat dibuang ke bumi dari surga. Pertemuan Adam dan Hawa di bukit Jabal Rahmah, di padang Arafah ini bermakna titik temu antara pikiran dan perasaan, itulah kesadaran. Adam adalah simbol pikiran, Hawa adalah simbol perasaan dan Arafah adalah simbol kesadaran diri.

Idul Adha disebut juga Idul Qurban. Sudah menjadi budaya turun temurun di seluruh dunia, umat Islam memotong hewan qurban sebagai pengganti Ismail. Apakah tindakan itu sudah mempertemukan pikiran dan perasaan? Apakah itu wujud kesadaran?

Kemaren tuh, aku membiarkan sinaps2 di π’„π’†π’“π’†π’ƒπ’“π’–π’Ž-ku ber-π’•π’‰π’‚π’˜π’‚π’‡ mengelilingi π’‰π’šπ’‘π’π’•π’‰π’‚π’π’‚π’Žπ’–π’” -ku, dan entah mengapa aku tergerak untuk memperbaiki skema sistem pernafasan tubuh manusia dan membuat ilustrasi prinsip rumah sehat dengan pengkondisian alami yang optimal.





Aku gak secara eksplisit melontarkan ucapan "selamat hari idul adha", kecuali kepada sangat sedikit teman, dan kepada anakku ancha sebagai wakil keluarga besar kami.
Sebenarnya, secara implisit, aku juga merayakan idul adha ini dengan merenungi kembali makna pernafasan. sudah pernah dan masih sering aku renungkan bahwa nafas inilah sebenarnya tuhan yang menghidupkan maupun yang mematikan kita, makhluk hidup. Hal ini pernah aku tuangkan dalam catatan Hawa dan Huwa, beberapa bulan sebelum "pandemi" ini. Ya, beberapa bulan sebelum pihak2 yang merasa berkuasa atas hidup manusia lain mewajibkan setiap manusia ber-masker. Ya, beberapa bulan sebelum oksigen dan oksimeter jadi primadona di bisnis perdagangan bebas global. Ahem!
Padahal, sistem pernafasan adalah tentang bagaimana peran oksigen agar setiap sel tubuh dapat ber-energi. bukankan oksigen ini juga cinta? cinta adalah energi, dan energi adalah segalanya. sumber kehidupan dan kehidupan itu sendiri. Bahkan menurutku, oksigen itu tuhan yang menjaga kelangsungan hidup makhluk hidup. Hadeh! tuhan kok jadi komoditi di pasar kapitalis!

Jadi, pandemi eh plandemi ini, alias pagebluk eh pagoblok ini menegaskan betapa manusia adalah spesies yang paradoks, pintar sekaligus guoblok. Pintar berbisnis, pintar menciptakan teknologi, berbagai teknologi untuk kemudahan dan kenyamanan hidup, namun juga sangat guoblok karena sumber2 kehidupan yang ada di sekitarnya tidak disadari dan tidak disyukuri.

Beberapa kegoblokan manusia modern, antara lain:

Bekerja keras untuk bisa membayar cicilan kendaraan bermotor. Jadi malas atau malu berjalankaki. Pembangunan jalan juga makin digiatkan, termasuk jalan2 tol yang megorbankan banyak pohon, area hutan dan ruang terbuka hijau. Kualitas udara makin buruk. Kemudian di usia 40-an mulai pada penyakitan, tidak sedikit juga yang mati karena kecelakaan lalu-lintas. Lantas manusia bertambah ketakutannya, maka makin giat mengumpulkan uang agar bisa punya asuransi kesehatan untuk masa depannya, bila perlu korupsi atau mengadu nasib (baca: berjudi) di bursa efek.

Dunia bisnis perdagangan bebas menghalalkan segala cara demi meningkatnya nilai mata uang, utamanya dollar. Nilai rupiah terus merosot terhadap nilai US dollar. Bukankah ini wujud nyata penjajahan dan kolonialisme di negeri ini masih terus berlangsung? Saking rendahnya nilai mata uang kita, pihak2 asing bisa dengan mudahnya membeli sumber daya alam kita dengan harga yang sangat murah.

Kegoblokan lain yang sangat menyolok adalah membuat rumah dan bangunan tanpa ventilasi alami. Jika alasannya agar polusi udara dari luar tak masuk, ini adalah alasan dari manusia2 yang malas berfikir. Selain itu, beberapa temuan yang telah dijurnalkan membuktikan bahwa udara dalam ruang mati bisa sama bahkan bisa lebih buruk kualitasnya daripada udara di luar ruangan. Kebanyakan manusia sudah tersihir dengan kenyamanan semu yang disediakan oleh mesin pengatur udara yang lebih dikenal dengan sebutan AC. Padahal bangunan2 yang bergantung pada fungsi AC butuh energi listrik yang besar. Sumber listrik pun dari bahan bakar fosil, yaitu batubara pada PLTU. Cerobong2 asap PLTU melepaskan begitu banyak polutan di atmosfir yang pada gilirannya mempengaruhi kadar keasaman air hujan. Air hujan dengan keasaman tinggi tidak baik bagi tanaman dan pepohonan. Maka terbentuklah lingkaran setan yang makin hari makin besar. Akhirnya terjadilah krisis iklim yang fenomenanya mulai kita rasakan sejak sepuluh atau dua puluh tahun terakhir ini.


Tak kenal diri, bagaimana bisa tolong diri?

Di masa pagebluk eh pagoblok ini, begitu banyak manusia yang mempertontonkan kegoblokannya yang sungguh konyol. Seorang dokter spesialis paru2 bicara tentang sistem pernafasan tanpa pernah menyebutkan peran organ jantung. Nampaknya dia fokus berpartisipasi dalam penjualan oksimeter. Dia sendiri sedang menjalani isolasi karena positif covid. Tidak mengherankan bahwa dokter ini tidak bisa menolong dirinya sendiri, karena tidak memahami dirinya sebagai satu kesatuan sistem organisme. Lantas, betapa naifnya mereka yang menggantungkan nasib kesehatannya pada dokter spesialis yang juga tak dapat menolong dirinya sendiri.

Sungguh mengerikan sekaligus sungguh menggelikan! Dokter spesialis paru dianggap punya peran terdepan pada masa wabah yang menyerang sistem pernafasan ini. Tapi, mengapa ada dokter paru yang disodorkan ke publik melalui media publik dan media sosial yang berbicara sangat tidak didasari fakta2 ilmiah? Padahal, pengetahuan tentang prinsip sistem pernafasan sudah diajarkan di SMP. Seharusnya, belajar kedokteran, apalagi kedokteran spesialis lebih mempertajam kecerdasannya dan keterampilan serta kemahirannya dalam menjelaskan tentang sistem pernafasan maupun tentang teknik2 memelihara sistem pernafasan pada tubuh serta lingkungan sekitar yang diperlukan untuk menjaga kesehatan sistem pernafasan.

Atau, mungkin diriku yang terlalu naif. Mungkin juga menjadi seorang dokter spesialis jadi semacam aset untuk berperan sebagai bintang iklan produk2 peralatan medis dan obat2an farmasi. Ya, sepertinya memang diriku yang terlalu naif. Namun, biarlah mereka dengan dunianya, dan aku dengan duniaku. Setidaknya aku bsa menolong diriku sendiri dan juga sudah membekali pengetahuan tentang ini kepada kedua anakku. Semoga mereka bisa memahami dan mengindahkannya, demi kehidupan mereka sendiri.


Salam semangat sehat kepada semua!

Tabanan, Bali, 11 Dzulhijjah 1442



Tidak ada komentar:

Posting Komentar