Senin, 06 April 2020

Al Faatihah

Al Qur'an mengajarkan agar manusia menjadi cerdas dan berilmu, sehingga sesuatu yang diyakini bukan sekadar "diyakini", tapi juga dapat dibuktikan kebenarannya dengan logika dan pengalaman.

Di dunia ini banyak sekali pembaca al-Qur'an bahkan penghapal al-Qur'an. Tapi pesan untuk berperan dalam pemeliharaan alam lingkungan hidup tidak nampak masif, malah di mana-mana terjadi degradasi lingkungan hidup, bahkan di negara yang warganya didominasi pemeluk agama yang berkitab suci al-Qur'an.

Al Faatihah adalah surat pertama dalam Al-Qur'an. Al Faatihah artinya pembukaan atau pendahuluan. Al Faatihah seakar kata dengan Al Fath yang berarti kemenangan. Bisa disimpulkan bahwa intisari dan kunci kemenangan yang bisa didapatkan dalam al-Qur'an adalah pada surat al Faatihah. Surat ini juga menjadi syarat tiap raka'at shalat syari'at. Dalam sehari semalam, seorang muslim/muslimah yang menjalankan syari'at islam membaca surat ini minimal 17 kali, karena ada 17 raka'at jumlah dari shalat lima waktu. Al Faatihaah adalah tujuh ayat yang dibaca berulangkali sedikitnya 17 kali dalam sehari semalam oleh milyaran manusia. Tapi...

Mengapa hubungan antara manusia dan alam lingkungan hidup di bumi ini semakin lama semakin buruk? Bukan hanya al Qur'an, kitab-kitab suci lain juga membawa pesan penting tentang perlunya hubungan harmonis antara manusia dan alam semesta/sekitar sebagai lingkungan hidup manusia. Manusia-manusia beragama dan penyandang kitab suci sudah terperangkap dalam ritual-ritual dan tidak sempat menyelami makna kitab-kitab sucinya. Ritual-ritual yang bahkan membuat mereka makin berkontribusi dalam pengeksploitasian alam.

Allah, Tuhan, Sang Keberadaan, Sang Hyang Widhi Wasa -- atau apapun engkau menyebut Dia yang punya kekuatan mengendalikan dan memeliharan alam ini -- memang menghadiahkan pelajaran yang dangkal bagi mereka yang berdagang dengan-Nya, bagi mereka yang hanya mengharapkan balasan pahala sebagai bekal di hidup sesudah matinya, makin banyak ritual makin nyaman hidupnya nanti sesudah mati, di alam sana. Maka berlomba-lombalah membangun tempat ibadah yang megah, memperbanyak hewan kurban, ibadah hajipun tak cukup sekali, umrah jadi barang jualan biro-biro travel yang laris manis bagai kacang goreng. Hal yang serupa terjadi juga di lingkungan penganut agama lain. Bahkan hari-hari raya keagamaan menyebabkan terjadinya inflasi. Bagaimana tidak, manusia makin mengejar uang. Hidup makin disibukkan dengan "produktifitas" ekonomi, walaupun degradasi lingkungan jadi taruhannya.

Secara langsung dan tidak langsung, terbentuklah kesepakatan tidak tertulis bahwa mereka yang kaya uang, mampu beribadah, melakukan ritual-ritual besar lebih banyak dan bersedekah/berzakat lebih banyak, mendapatkan jaminan surga di alam sesudah mati makin meyakinkan. Walaupun meninggalkan dunia fana ini dengan jejak karbon yang sangat tinggi.

Inilah dogma yang menjadi ketidaksadaran kolektif turun-temurun.

Namun Dia memberi teka-teki bagi mereka yang bersungguh-sungguh mencintai-Nya. Bahwa kitab suci menjadi berbeda dengan kitab-kitab yang ditulis dari pemikiran manusia-manusia berpendidikan. Bahwa kitab suci tidak dikenakan hak cipta, namun isinya, kandungan kebenarannya terpelihara sepanjang zaman karena tersusun dalam bahasa yang paradoks dan metafor, serta semata-mata adalah kebenaran universal. Kitab suci, dalam hal ini al Qur'an adalah keajaiban dan mukjizat karuniaNya, yang diturunkan melalui kesadaran tertinggi rasul-Nya yang bernama Muhammad bin Abdullah. 

Pada hakikatnya, al Qur'an sudah ada jauh sebelum lahirnya sang rasul. Al Qur'an yang sejati ada sejak adanya manusia pertama, karena al Qur'an itu sendiri adalah Diri manusia dan Alam semesta. Inilah sebabnya, perintah pertama yang turun melalui kesadaran tertinggi Muhammad yang buta huruf adalah iqra', perintah untuk membaca Diri dan Alam, perintah untuk mengkaji Diri dan mengamati fenomena Alam. Jadi, memahami esensi kitab suci bukanlah hadiah, bukan juga dengan membeli buku terjemahannya atau mengupah penceramah kondang. Pemahaman esensi kitab suci adalah hidayah yang diupayakan dengan sungguh-sungguh, dengan menggunakan semua potensi Diri: indera, akal fikiran dan hati nurani, melalui pengalaman-pengalaman hidup.

Kembali ke surat al Faatihah, bagaimana memahami kandungannya agar fungsi kitab suci sebagai manual diri manusia bisa bekerja dengan baik? Jika al Qur'an adalah petunjuk bagi manusia (hudallinnaas) dan obat bagi manusia (syifaa'ulinnaas), maka setiap kata dalam ayat-ayatnya harusnya direfleksikan terhadap Diri manusia pembacanya, terhadap Diri manusia yang merupakan miniatur alam semesta. Maka dari itu, cobalah memahami ketujuh ayat surat al Faatihah secara reflektif terhadap Diri sendiri sebagaimana manual Diri, sebagai petunjuk penggunaan dan pemeliharaan Diri dalam hubungan dengan Alam sekitar atau Alam semesta.

Ayat Pertama:

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Terjemahan bahasa: Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Pemahaman reflektif:
Dengan/bersama sifat-sifat Allah (yang utama), sifat rahman (sifat tanggungjawab) dan sifat rahim (sifat memiliki yang memelihara, sebagaimana rahim ibu).


Ayat Kedua:

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

Terjemahan bahasa: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Pemahaman reflektif:
Dengan melakukan tindakan nyata (hamdu) bagi/karena Allah, pemelihara/pelestari alam semesta.



Ayat Ketiga:

الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ

Terjemahan bahasa: Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Pemahaman reflektif:


(tindakan-tindakan pemeliharaan alam dilakukan) dengan menghidupkan sifat tanggungjawab dan sifat memiliki yang memelihara). 



Ayat Keempat:

مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ

Terjemahan bahasa: Pemilik hari pembalasan.

Pemahaman reflektif:


Yang memiliki kerajaan = mulku, yang menjaga "pintu neraka" = maalik = mulut = (hujjah/bicara/tindakan), yang menentukan penegakan (kebenaran) sistem universal.



Ayat Kelima:

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ

Terjemahan bahasa: Hanya kepada-Mu kami mengabdi; Dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan.

Pemahaman reflektif:
Kepada Allah dengan sifat2 utama-Nya (Rahman~Rahim), kami (seluruh aspek Diri) mengikuti/meneladani-Nya; Sehingga kami (seluruh aspek Diri) dapat/berhak mendapatkan pertolongan (sinkronisasi fungsi organ-organ fisik dan aspek mental).



Ayat Keenam:

 اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ 

Terjemahan bahasa: Tunjukilah kami jalan yang lurus;


Pemahaman reflektif:
Eksplorasi Diri untuk menemukenali Sirath al Mustaqim = Susunan yang Tegak Seimbang, yaitu
Sistem saraf pusat (central nerve system) meliputi otak (bahasa Latin: 'ensephalon') dan sumsum tulang belakang (bahasa Latin: 'medulla spinalis'). Dan, dalam fisiologi Okultisme, ini adalah susunan tujuh cakra. Ini jugalah jiwa atau tubuh eterik manusia.

Jadi, Sirath al-Mustaqim adalah Susunan yang Tegak Seimbang, yaitu postur tubuh manusia yang tegak pada saat bergerak dengan berjalankaki. Dan, tentunya kesadaran manusia yang seimbang. Inilah, mengapa pemikiran2 kreatif biasanya didapatkan pada saat berjalankaki.



Ayat Ketujuh: 

 صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ

Terjemahan bahasa: (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Pemahaman reflektif: 

Jika mengikuti fithrah manusia yang bergerak dengan berjalankaki dengan postur tubuh tegak, mendapatkan ni’mat kesehatan, kekuatan, menjaga kualitas udara dan alam sekitar, hemat energi/sumber daya alam, dsb.

Bukan Maghduub,
Maghduub = binatang mamal yang merangkak (bergerak/berjalan dengan bertumpu
pada tangan dan lutut/kaki)
= metafor para kuli/mesin2 bernyawa yang menghamba kepada sistem kapitalis (eksploitasi alam dan sumber daya manusia)

Bukan juga Dhalliin.
Dhalliin = binatang reptil yang melata (bergerak/berjalan dengan menempelkan perut ke tanah)
= metafor kaum kapitalis yang mengeksploitasi kehidupan demi mempebanyak modal uang dengan "bunga berbunga".

catatan tambahan:
Mengkonsumsi produk2 hewani, membuat manusia cenderung bersifat sebagai (metafor) binatang mamal dan/atau binatang reptil.


KESIMPULAN

Kunci kemenangan bagi manusia untuk hidup lestari, adalah dengan menjaga hubungan harmoni dengan lingkungannya. Caranya, dengan mengoptimalkan fungsi susunan tegaknya, yaitu bergerak dengan berjalankaki, fithrah manusia adalah pejalankaki.

Sebagai pejalankaki, manusia akan senantiasa menyatu atau setidaknya terhubung harmonis dengan alam sekitarnya. Selain itu, akan menjaga kesehatan holistiknya. Manusia yang sehat secara holistik tidak akan merusak alam lingkungan hidup.


Sumber: 
Al Qur'an (kitab tertulis)
Al Qur'an (kitab Diri, hasil kaji Diri, pengalaman dan pengamatan terhadap Alam lingkungan hidup
Anita Syafitri Arif 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar