Jumat, 24 Januari 2020

Dari Berdarah Ningrat ke Makin Mirip Orangutan


Akhir-akhir ini aku lihat bermunculan banyak “kerajaan” dan “keraton” di medsos. Pertanda apakah ini..? Kemajuan atau kemunduran..? Tapi hidup ini memang hanya perulangan2. Dan sejatinya, hidup ini hanya permainan dan hiburan.

Terus terang, keluargaku pun tergolong ninggrat, ada itu silsilah keluarga kami, garis langsung keturunan raja Bone.

Kakekku yang lahir 1901 mampu berpikir kritis dan berjiwa petualang. Dia menolak feodalisme. Meninggalkan kampung keluarga besarnya di Bone dan menikahi perempuan biasa (bukan berdarah biru) di Maros. Kakekku makin menepis feodalisme sejak jadi aktivis di Muhammadiyah saat merantau ke Kota Makassar. Beliau juga petualang dalam hal berbisnis. Bisnis perkebunan tembakau Virginia dan punya penginapan di pusat kota Makassar. Pernah jadi nasabah dengan simpanan terbesar di De Javasche Bank (cikal bakal Bank Indonesia), Kota Makassar.

Kakekku rajin membaca. Bacaan wajibnya adalah majalah TEMPO dan buku-buku sastra karya Buya Hamka, dan sastrawan lain di masanya. Dengar2 dari salah seorang om-ku, kakek juga pernah punya buku "Di Bawah Bendera Revolusi", kumpulan pidato Bung Karno. Kakekku menjunjung pendidikan, namun juga mendorong anak2-nya untuk mandiri. Anak2-nya disekolahkan hingga tamat SMA saja, dan jika mau lanjut ke Universitas, harus sambil kerja agar bisa membiayai sekolahnya sendiri. Dua kakak bapakku merantau ke Jawa, seorang bersekolah di FE-UGM, Yogya, dan seorang lagi lanjut di FE-UI, Jakarta. Bapakku sendiri lanjut kuliah di Arsitektur FT-UnHas sambil bekerja sebagai wartawan di salah satu harian lokal.

Kembali ke Kakekku, tak satupun anaknya yang diberi gelar Andi sebagaimana keluarga bangsawan Bugis lainnya. Beliau pun sudah melepas gelar kebangsawanannya sebelum menikahi perempuan cantik tanpa kasta. Beliau yakin bahwa semua manusia punya nilai yang sama sebagai hamba Allah, yang membedakan hanya ketakwaannya. Itu semua sisi baiknya. Sisi buruknya, semua budaya Bugis yang berbau animisme diharamkan. Namun, masa itu kami beragama biasa2 saja. Yang penting melakukan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan dan berzakat, utamanya zakat fithrah. Tidak ada masalah dengan pakaian. Nenekku, istri beliau dan nenekku, adik bungsu beliau yang juga jadi ibu angkat bapakku hanya berkerudung sikko ulu saat bepergian. Aku dan adik2 sangat akrab dengan teman tetangga yang beda agama.

Jelang meninggalnya, kakekku yang saat itu usia hampir 90 tahun mulai sakit dan sering hanya berbaring di ranjangnya di rumahnya, tepatnya di rumah anak perempuannya, yang berperan pemimpin di keluarganya. Batuknya menahun, memang beliau perokok berat. Biasa naruh kaleng tempat meludah di samping sajadahnya saat shalat. Kakek dan nenek, orangtua bapakku tinggal di rumah tanteku, kakak bapakku di Jl. Sulawesi, di salah satu lorong buntu, bertetangga dengan Quraish Shihab. Rumah besar mereka di Jl. Irian disita bank gegara kredit macet. Bapakku yang saat itu kerja di BI dianggap biang masalah oleh keluarga besarnya. Pasalnya, seorang sahabatnya, orang Arab mau bangun usaha, perlu pinjaman bank. Dia minta tolong ke bapakku. Bapakku yang lugu terhadap sifat bank yang menggerogoti, meminta-pinjamkan sertifikat rumah kakekku sebagai jaminan. Bla-bla-bla, akhirnya bangkrut.

Kembali ke kakekku. Setiap kali mengunjunginya di rumah Jl. Sulawesi, aku senantiasa duduk di pinggr dipannya di samping tubuhnya yang terbujur lemah. Walaupun tubuhnya terlihat kurus dan lemah, sinar matanya masih menyala cerdas. Tiap kunjungan itu aku selalu diminta bacakan buku “Menyingkap Tabir Rahasia Maut”, tulisan Djarnawi Hadikusumo. Tidak bosan2-nya beliau mendengarkan aku membacakan buku itu.

Kakekku meninggal pada hari Senin, 17 September 1990. Aku ingat tanggal 17, karena lorong hingga jalan raya Jl. Sulawesi di sekitar mulut lorong itu dipenuhi orang2 berseragam korpri. Mereka adalah teman2 bapakku, para karyawan BI. Tiap tanggal 17 di masa OrBa itu karyawan BUMN dan PNS mengenakan seragam korpri.

Hingga kematian kakekku, kami beragama biasa2 saja.

Namun, entah kapan tepatnya, muncul trend bahwa semua manusia yang tidak menjalankan syariat islam sesuai al-qur'an dan as-sunnah adalah kafir. Termasuk dalam hal berpakaian. Salah seorang adikku, cewek bungsu yang sekolah SMA-nya beda dengan kami, kakak2-nya terlibat di organisasi rohis, dan mulai mengenakan hijab dengan seragam sekolah yang serba panjang ketika masuk semester kedua di SMA itu di tahun 1991. Masih sangat jarang masa itu, siswi sekolah menggunakan apa yang mereka sebut sebagai pakaian “muslimah”. Dan perempuan yang tidak menggunakan pakaian serba tertutup itu dianggap bukan muslimah, dan tergolong kafir.

Waduuh! Artinya kembali meng-kotak2-kan manusia. Tapi, pada dasarnya, orangtuaku memang bersikap moderat. Mereka membiarkan saja adikku dengan keyakinannya. Aku pun mulai baca-baca referensi terkait syari’at, ada dapat bahannya dari adikku dan sepupu2-ku di Maros yang ternyata juga sudah mengenakan pakaian muslimah itu. Mamakku mulai berhijab sekembali dari menunaikan ibadah haji bersama bapakku di tahun 1993. Saat itu orangtuaku tinggal di Kota Cirebon. Aku dan adik keduaku tetap di Makassar untuk menyelesaikan pendidikan kami di UnHas. Di tahun yang sama, aku mulai mengenakan pakaian begitu. Tapi hanya bertahan satu tahun.

Dua tahun kemudian, saat hamil tua anak pertamaku di tahun 1995, aku mulai banyak membaca lagi. Dan ketika bayiku usia 7 bulan, aku mulai lagi mengenakan pakaian berhijab itu, di tahun 1996. Aku banyak belajar, dari satu kelompok pengajian ke kelompok lain berikutnya. Makin lama aku makin menemukan kelompok yang lebih fokus pada membahas al-Qur’an. Kemudian, aku dipecat dari pengajian itu karena dianggap aneh dengan mengajukan pertanyaan2 yang aneh.

Tepat 26 Desember 2004, saat peristiwa tsunami di Aceh, entah mengapa, ada dorongan dalam diriku untuk berhenti mengenakan pakaian yang disebut pakaian muslimah itu. Aku kembali berpenampilan biasa saja seperti pada umumnya orang di Jakarta masa itu dan di dunia lain. Walaupun terlihat makin banyak juga yang mengenakan hijab. Aku terus belajar secara mandiri. Kemudian terdampar di kelompok yang mempelajari berbagai kitab suci. Lalu bertemu Anand Krishna pada 2005. Aku mulai belajar meditasi. Saat itu aku mulai menjalani hidup sebagai vegetarian. Bertahan hingga 3 tahun. Jadi, selama aku hamil anak kedua hingga menyapihnya di usia 2 tahun 4 bulan, aku dalam keadaan sebagai vegetarian.

Mulai 2009, perhatianku lebih kepada masalah permukiman dan perkotaan Kota Jakarta. Selain sebagai volunteer di Forkimja, Think-Tank-nya Dinas Perumahan DKI saat itu, juga bekerja sebagai tenaga ahli musiman di DKI, di Kemenpera dan KemenPU. Walaupun aku sibuk dengan aktifitas2 itu, aku tetap menjalankan kebiasaanku, membaca al-Qur’an dan mengkaji Diri, juga bermeditasi. Tapi aku gak lagi sebagai vegetarian. Makan apa saja yang dianggap halal dalam agama Islam.

Ketika sudah tinggal di Bali, aku merasakan kemerdekaan yang lebih universal. Aku mendobrak semua sekat yang meng-kotak2-kan manusia. Setiap orang yang baru ketemu aku, mengira aku seagama dengannya. Justru mereka yang beragama Islam, yang meragukan ke-islam-an-ku. Walaupun aku masih melakukan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan dan ber-zakat fithrah. Aku juga sembahyang di pura dan mrajan/sanggah. Di tahun ketiga di Bali, aku bahkan mulai ikut makan daging babi dan minum arak.

Pada September 2017, aku mengikuti suatu training kepemimpinan dengan topik Justice Based Approach Development. Ini tentang bagaimana menjadi agen perubahan dalam menghadapi krisis perubahan iklim. Diperlukan banyak perubahan sosial untuk ini. Salah satunya yang aku sempat terkesima adalah: “menjadikan makan daging hewan sebagai tindak illegal”. Wow! Ini benar2 radikal! Lebih radikal daripada “melegalkan pernikahan sesama jenis” yang juga dibahas di training itu.

Waktu terus berjalan. Aku meninggalkan poin2 yang aku anggap belum masuk akal-ku namun mengambil beberapa poin pelajaran dari training itu untuk kuterapkan dalam kehidupan keseharian, antara lain bersikap lebih moderat dalam mendidik anak2-ku, lebih berhemat air, bepergian dengan rendah emisi, tidak membeli pakaian baru, makin menghindarkan pemunculan sampah plastik, dll.

Mengamati bahwa makin banyak ritual2 dari semua agama (yang sebenarnya adalah agama yang berasal dari luar Nusantara) yang makin membebankan lingkungan hidup dengan menyumbang GRK yang lebih besar. Terutama muncul-nya plastik dan styrofoam dalam berbagai wujud perlengkapan ritual. Juga hewan-hewan qurban.

Akupun mulai memberi perhatian pada jalan hidup di beberapa lokal di Nusantara yang tidak menganut agama2 impor. Ada Desa Adat Julah di Bali Utara, di Sulawesi Selatan bagian selatan, Desa Adat TanaToa, Suku Kajang, dan Desa Adat di Tana Toraja, di bagian utara yang kukunjungi dan sempat mengobservasi dan mengeksplorasi tradisi budaya asli mereka, yang sebenarnya mereka anggap sebagai agama nenek moyang. Mereka ini pada praktek kehidupannya menganut animisme. Mereka melihat keberadaan Tuhan di manapun, di pohon, di batu, dsb. Juga merasakan keberadaan Tuhan di hal-hal yang tak nampak. Bagusnya lagi, aku menemukan filosofi yang sangat bagus di desa adat di Bali Utara itu, kesetaraan kemanusiaan dan kepemimpinan pelayan. Di Desa Adat Suku Kajang di Tana Toa, Bulukumba, Sulawesi Selatan malah tidak menggunakan listrik dan tidak menggunakan uang dalam kehidupan mereka. Sistem ekonomi mereka barter dan koperasi. Saling berbagi dan bertukar.

Aku memutuskan untuk beralih menjadi penganut atau penghayat Kepercayaan kepada Tuhan YME, yang dianggap samadengan agnostik oleh banyak ulama islam. Berhasil mengubah data di KK dan KTP di bulan terakhir tahun 2019. Tahun yang sarat dengan bencana alam, bahkan di pergantian tahun, terjadi bencana yang sangat parah di ACT, Australia berupa kebakaran hutan terdahsyat yang pernah aku pantau. Dan hujan ekstrim di Jabodetabek yang menyebabkan banjir parah juga.

Aku kembali merenungi situasi krisis iklim yang bahkan sudah disebut sebagai darurat iklim oleh teman2 JBA di learning call Desember 2019. Aku perlu lebih serius mengubah diri agar bisa jadi model untuk perubahan yang lebih luas. Pada 4 Januari aku ikut lagi learning call yang khusus membahas tentang veganisme. Begitu banyak fakta2 keterkaitan antara krisis iklim dan eksploitasi binatang, yang sebenarnya juga termasuk eksploitasi alam. Sejak 7 Januari aku mulai berlatih menghindari makan daging. Tapi kecemplung lagi makan daging ayam di acara odalan keluarga bu Krishna pada tanggal 15 Januari 2020. 

Keesokan harinya, gigi dan gusiku sakit parah. Aku jadi bisa membayangkan betapa ayam yang aku makan itu merasakan keperihan yang amat sangat saat disembelih. Hanya beberapa saat sebelum aku menyantapnya. Aku putuskan secara bulat untuk mulai menjadi vegan dengan totalitas pada 17 Januari 2020. Demi kebahagiaanku, aku tidak bisa bahagia jika mengetahui diriku tidak adil dan tetap membiarkan diriku begitu. Juga, demi kehidupan lestari bagi semua makhluk hidup.

Bahwa keadilan bukan hanya di antara manusia, tapi species bernyawa lainnya juga punya hak hidup yang sama dengan manusia. Cintaku menjadi lebih luas, bukan hanya bagi semua manusia, tapi juga bagi semua makhluq hidup.



Walaupun aku tidak makan produk-produk dan tidak memakai produk-produk dari binatang, aku justru merasakan dan menyadari bahwa Diri-ku lebih energetik dan lebih sehat dengan rutinitas yoga, meditasi dan berjemur. Bahkan dengan rajin berjemur, 30 menit sehari, aku bisa berhemat air mandi. Aku hanya mandi air sekali seminggu. Dan hanya makan nasi dkk-nya sekali sehari.

Horeee, gaya eh cara hidupku makin mirip orangutan!

#Refleksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar