Rabu, 22 Januari 2020

Misteri Sang Waktu, Rahasia keESAan

Sedang hamil tua anak kedua, saat Diri-ku merenungkan tentang keSATUan alam semesta, tentang keESAan Semesta. Sang Keberadaan. Allah.

Pertanyaan yang muncul di benakku : mengapa satuan waktu terkecil disebut الثانية (tsaniyah) yang artinya detik (second dalam bahasa inggris) ? mengapa bukan الأحد (ahad atau uhadiyah) dalam bahasa arab, atau first dalam bahasa inggris ? Adakah satuan waktu yang lebih kecil daripada detik ? Di sini waktu menjadi suatu misteri, bagiku.

Dalam al-Qur’an, kata yang diterjemahkan sebagai “waktu” ada empat, yaitu : al Waqtu, as Sa’ah, ad Dahr, dan al ‘Ashr. Dari keempat kata ini, hanya al Waqtu saja yang sifatnya linear mengukuti kultur dzahir, yaitu detik, menit, jam, hari, pekan, bulan, tahun, dst. Sedangkan ketiga jenis waktu lainnya jika dicermati lebih mengarah kepada keabadian, bersifat holistik, tanpa awal tanpa akhir.

Adalah kata “insan” yang merangkai ketiga kata yang bermakna keabadian. Dan kata “naas” yang selalu dihubungkan dengan waktu linear, kultur dzahir. Insan dan naas sama-sama berarti manusia, sama-sama, secara khusus tertera dalam al-Qur’an sebagai judul surah : “al Insaan” surahke 76, dan “an Naas” surah ke 114. Rupanya, naas dan insan ini ada, atau mungkin lebih tepat diadakan oleh Sang Keberadaan, sebagai lakon utama, sebagai sentra dalam permainan dalam sandiwara kehidupan ini.

Semua ini bukanlah pemikiran seorang ahli kitab ataupun ahli bahasa, hanya renunganku saat itu sebagai seorang perempuan yang sedang hamil tua dan takjub dengan keterhubungan hal-hal kecil yang diyaqininya bukan suatu kebetulan. The Universe is so precise !

Intuisiku pun menjawab pertanyaan di atas, tentang waktu. Bahwa ada satuan waktu yang lebih kecil, sangat kecil, namun juga sangat besar, melebihi semesta, melingkupi semesta. Sangat dekat sekaligus juga sangat jauh. Sangat singkat namun juga sangat panjang. Me-ruang namun juga tidak me-ruang. Ada dalam ketiadaan, namun juga tiada dalam keberadaan. Waktu atau apapun itu yang sangat paradoxal, melampaui segala pertentangan. Melampaui segala polarisasi. Melampaui segala dualitas. Bagi yang mengalaminya dapat memahami kalimat “waktu itu hanya sekejap.” Inilah AHAD, inilah Yang Maha Esa. Inilah Sang Hyang Widhi Wasa. Dia yang mencakup segalanya. Meliputi semua waktu, dan karenanya juga meliputi semua energi. Karena itu juga meliputi semua materi atau dzat. Tiada sesuatu selain Dia, Laa ilaaha illa Allah.

Dia senang bermain dan senang dengan permainan, karena dia sangat dinamis, maka diadakannya permaianan, senda-gurau, sandiwara. Itulah kehidupan dunia. Bagaimana jalannya permainan ini? Perempuan hamil ini merenungi, dan melihat gambaran besar kehidupan sebagai berikut :

Dia yang paling awal dan paling akhir, dengan kata lain : Dia tak ber-awal dan tak ber-akhir, abadi pada keabadian. Dia yang dzahir, dan Dia yang bathin. Dan secara ruang, Dia tak ber-batas dan tak ber-hingga. Sesuatu yang tidak bisa dipikirkan atau dirasakan dengan suatu penjelasan kata-kata ataupun lukisan yang terindah sekalipun.

Sesuatu yang hanya bisa dipahami jika dialami kembali. Karena pada dasarnya kita manusia pun berasal dari Dia : Laisa kamitsilihi syai’uunn, mewujud sebagai Cahaya di atas Cahaya, inilah dimensi tertinggi perwujudan Nya. Untuk membahasakannya, kita sebut Nur Ilahi, permainan dilanjutkan dengan mewujudkan dzat kedua dalam dimensi yang setingkat lebih rendah, berupa foton (cahaya) yang partikel-partikelnya sangat kecil, yang disebut habbah. Habbah juga berarti cinta kasih, ikatan sinergis antara rahman~rahim, antara yin~yang. Bukan kebetulan, teleskop ruang angkasa disebut Hubble, dari nama anstronot Edwin Hubble. Habbah ini lah Nur Muhammad.



Nur ini memancarkan segala macam warna dalam ragam spektrum cahaya tak berhingga. Karena sifatnya yang aktif-dinamis, Habbah yang juga berasal dari Dia yang Maha Dinamis, terus berputar. Berputar pada porosnya (rotasi), berputar mengelilingi Dia (revolusi), dan berputar mengikuti gerak-Nya (ekliptik). Gerak berputaran inilah yang bermakna thawaf semesta. Dzat itu menyembah asalnya. Inilah haqiqat malaikat yang terus bertasbih. Namun karena pergerakan yang kontinyu dan konsisten ini, maka timbullah panas, sarwabakat pemberontakan, dan eksistensi iblis yang disimbolkan sebagai api bermula di sini.

Dalam pergerakan ini, terwujudlah cahaya putih berupa kabut gas (ad Dukhan) sebagai pengimbang dan konsekuensi panas, menyerupai susu yang berisi atom-atom hidrogen (H, unsur kimia pertama mewujud). Kabut gas ini terus bertambah dan berakumulasi dan membentuk nebula, awan gas dan debu, calon galaksi pada kosmos. Eksistensi Khidr, makhluq paling misterius bermula di sini. Di makrokosmos Khidr ini berupa nebula, di mikrokosmos dia berupa unsur hidrogen yang ada dan selalu ada di air. Khidr muncul sebagai sifat "literasi dan eksplorasi rahasia kehidupan" pada diri manusia.

Kabut hidrogen, yang juga adalah eksistensi jin, sebagai makhluq yang aktif-dinamis, melakukan thawaf kepada sang Khaliq, baik gerak rotasi, gerak revolusi maupun gerak ekliptik. Akibatnya, timbul panas dan terjadilah fusi thermonuklir (inti sel memanas), terpancarlah unsur kedua yang disebut sebagai helium (He). Di sinilah awal keberadaan syaithan atau setan, sebagai makhluq yang pasif-statis, muncul sebagai sifat "malas dan mencintai zona kenyamanan" pada diri manusia.


Atom-atom hidrogen dan helium saling berinteraksi dalam penyembahannya kepada Sang Khaliq, Sang Keberadaan. Maka terwujudlah dzat dalam dimensi yang lebih rendah (atau bisa juga disebut lebih tinggi, jika semua perubahan wujud merupakan siklus semesta), yaitu air (H2O). Air ini mengalami siklus atau daur. Ini adalah salah satu bentuk penyembahannya kepada Sang Keberadaan. Gerak daur ini melibatkan sinergi antara malaikat (foton) versus jin (hidrogen), syaitan (helium) dan iblis (api atau oksidasi). Dari hasil sinergi ini maka terpancarlah dzat berikutnya, yang juga merupakan perwujudan Sang Keberadaan dalam dimensi yang lebih rendah lagi. Dzat itu adalah thin, yang merupakan asal-usul keberadaan tanah. Thin adalah unsur-unsur mineral, yang dalam kepadatan lebih tinggi mewujud sebagai batu dan bebatuan.

Permainan Sang Keberadaan dibuat lebih seru, dengan menambahkan ‘nyawa’ atau daya hidup yang lebih dinamis pada perwujudan selanjutnya. Mulai di tahap ini, perwujudan ke dimensi yang lebih tinggi.

Mewujudlah makhluq yang mampu berkembang biak secara vegetatif, yaitu tumbuhan air yang disebut ganggang. Tumbuhan ganggang ini berkembang dan muncul variatif-nya yang lebih indah dan lebih kompleks, yaitu teratai. Teratai dapat hidup di air maupun di lumpur. Ganggang dan terutama teratai juga mengundang perwujudan makhluq yang lebih aktif dan dinamis, yaitu zoo-plankton, lalu ikan-ikan herbivora, lalu binatang air tawar dan air laut karnivora. Teratai juga memberi energi untuk perwujudan binatang udara, yaitu capung. Penyemaian dan pembiakan telur-telur capung berlangsung di air sekitar tumbuhan teratai. Dan seterusnya tumbuhan dan binatang di air dan lumpur makin bervariasi.

Selalu muncul wujud dalam dimensi yang lebih tinggi karena adanya sepasang atau beberapa pasang species yang membangkang/memberontak atau yang dianggap terbelakang. Antara lain, perwujudan buaya, salah satu binatang amphibi, yang mungkin sekali adalah evolusi dari beberapa jenis ikan yang dikaruniai kebosanan hidup di air, dan diberi kehendak untuk keluar dari air. Ikan berkaki !

Jumlah, jenis dan ragam makhluq hidup berkembang secara eksponensial, semakin variatif. Dan semakin semaraklah permainan yang disajikan Sang Keberadaan. Terjadi rantai dan jaring-jaring makanan. Semua makhluq hidup disediakan fasilitas hidup dan kemampuan mempertahankan hidupnya. Dan pola evolusi maupun revolusi akibat gerak thawaf tetap berlangsung. Baik di air, di darat maupun di udara. Sedikitnya ada tiga jenis hewan yang bertulang belakang vertikal dan mampu berjalan dengan kedua kakinya, yaitu mirkat, penguin dan orangutan. Orangutan ini sangat mirip dengan manusia. Teori evolusi Darwin mungkin ada benarnya, secara fisik. Namun, ada perbedaan yang sangat besar antara spesies orangutan (dari famili monyet) dengan manusia. Yaitu Nur !

Manusia adalah puncak permainan Sang Keberadaan. Perwujudan manusia adalah resume dari seluruh perwujudan Sang Keberadaan. Dari unsur yang paling sederhana (hidrogen) hingga ke organ yang paling canggih (otak), dari makhluq yang paling rendah (setan, jin dan iblis), mineral-mineral, bebatuan, metal, segala jenis tumbuhan, binatang hingga malaikat, bahkan Ruh yang merupakan Kesadaran Tertinggi, Kesadaran paling murni dari Sang Keberadaan, ada pada diri Manusia. Manusia adalah maha karya kehendak dan daya cipta Sang Khaliq, sekaligus cerminan dari Sang Keberadaan, the most paradox existence, the prime cause, Allah !

Namun, karena sense of humor-Nya, manusia sebagai makhluq paling sempurna ini diberi kebebasan memilih. Sang Keberadaan menyediakan banyak jebakan-jebakan bagi manusia berupa kenikmatan dunia yang jika dirangkum terdiri dari tiga hal,yaitu : harta kekayaan, ilmu pengetahuan, dan kekuasaan. Jebakan-jebakan yang mampu menarik manusia ke kesadaran rendah, namun juga dapat mengantarnya ke kemuliaan yang lebih tinggi dan lebih ilahiyah.

Semacam permainan ular-tangga, ada aspek keberuntungan pada lemparan dadu yang juga berperan “menentukan langkah yang boleh diambil” dan ada kemampuan mengendalikan diri dan kehidupan. Ada kalanya manusia sebagai pion-pion harus terlempar kembali ke titik “start”. Dan manusia itu harus lahir kembali, mengulangi kehidupan. Reinkarnasi. Kembali mejadi manusia (naas). Sedangkan pion yang dapat sampai ke titik finish adalah naas yang sudah mencapai tingkatan insaan, yang dapat  kembali kepada 'arasy-Nya, inna li Allah wa innailaiHi raaji’uunn.

Apakah yang mencapai titik finish lebih baik daripada yang harus mengulang di titik start ? Belum tentu iya. Bergantung pada sejauh mana manusia ini mengenali haqiqat Sang Keberadaan. Karena surga, neraka dan akhirat bukanlah suatu tempat nun jauh di sana, namun surga adalah kesadaran akan Sang Keberadaan melalui pengenalan akan haqiqat Sang Keberadaan itu. Yang sebenarnya terangkum pada diri manusia itu sendiri. Toh, semuanya adalah permainan-Nya,dan segalanya adalah Dia, Sang Keberadaan. Dan neraka hanyalah ciptaan manusia yang terpisah sementara dari Kesadaran Cinta-Kasih.

Ada pertanyaan lain : apakah insaan kamil yang sudah berhasil kembali ke asalnya, alias finish dalam permainan ular tangga, tidak boleh atau tidak bisa ikut dalam permainan ini lagi? Wah, kalau Sang Keberadaan saja senang bermain, masa’ sih bagian diri-Nya tak boleh ikut bermain kembali? Maka hadirlah Dia sebagai avatar. Permainan dilanjutkan atau bisa diulang dari awal lagi.


Pejaten, Sabtu Pahing, 31 Desember 2005 M / 29 Dzulqa’idah 1426 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar