Sabtu, 26 Oktober 2019

Yin~Yang pada Diri dan di Semesta Raya

Alaminya, lelaki dan perempuan saling membutuhkan, dan tidak selalu dalam konteks pasangan seks. Kita tidak sedang mengukuhkan supremasi heteroseksual. Jadi, mungkin lebih tepat jika kita katakan, maskulin dan feminin saling melengkapi.

Tapi kenyataannya, pada umumnya lelaki selalu merasa lebih hebat daripada perempuan. Penafsiran kitab-kitab suci di berbagai agama lalu mempraktekkan paham patriarki, sebagaimana pada umumnya budaya tradisional. Sejak zaman dahulu, pemisahan manusia berdasarkan gender lebih parah daripada pemisahan berdasarkan ras/suku, agama, darah kebangsawanan dan tingkat pendidikan.

Ini tidak sesuai dengan hukum alam yin-yang. Juga tidak sesuai dengan makna universal Rahman-Rahim. Memang ada aspek maskulinitas dan aspek feminitas di dalam diri tiap manusia, yang kadarnya bisa berbeda pada tiap diri manusia. Namun keduanya saling melengkapi.

Jadi, yin dan yang, sebagaimana feminitas dan maskulinitas adalah saling melengkapi dalam kesetaraan. Ini yang membuat semua unsur di seluruh semesta tetap bertawaf. Bahkan, bisa jadi, alam mengembang sejak "big-bang" akan sampai pada proses mengkerut, hingga "hilang ke dalam "black-hole", lalu terjadi lagi "big-bang" berikutnya, dan seterusnya. Ini, penjelasan dari perspektif ilmu pengetahuan modern. 

Dari perspektif filsafat mistik, jika ada "keadaan awal", ini digambarkan sebagai Pancaran Pikiran Kosmik Pertama, berupa kabut kosmik yang sangat halus dan luas, yang bermetamorfosa menjadi Bumi, dalam mitologi disebut Dewi Ibu, atau Dewi Bumi. Kemudian, ada Pancaran Pikiran Kosmik Kedua, yaitu kegelapan yang menyelimuti Bumi, kegelapan berupa agin kering, monster badai yang mematikan. Dalam mitologi disebut Dewa Saturnus. Kegelapan menguasai Bumi, tiraninya atas Dewi Ibu berlangsung dalam periode yang sangat luas. Namun, dalam keadaan terbelenggu, di dalam Bumi ada sumber energi panas, yang kemudian lahir sebagai Matahari. Selanjutnya, Dewa Matahari menyinari Bumi dari langit, membebaskan Bumi dari tirani Saturnus. Dst.
















Tahap demi tahap dan berangsur-angsur dalam periode yang sangat luas, kosmos mengalami metamorfosa dari zaman Saturnus, sebagai mineral murni (kabut gas), ke zaman Matahari. 

Adam sebagai manusia pertama juga mengalami metamorfosa, mulai sebagai proto-proto-manusia, yaitu kuman2 tunggal yang kemudian bergabung sebagai benang-benang bercahaya... selanjutnya, benang2 cahaya ini saling menjalin... Ini berlangsung dalam masa transisi dari zaman Saturnus ke zaman Matahari, 

Di zaman Matahari, eksistensi Adam adalah sebagai proto-manusia, yaitu tumbuhan primitif yang menempati seluruh Bumi. Dalam keadaan sebagai makhluk nabati, 

Hawa muncul atau tercipta dari tulang rawan Adam, secara partenogenesis, di zaman ini, anak2 mereka berupa bunga-bunga aneka ragam, 

Kemudian di zaman berikutnya, yaitu zaman Bulan, Adam dan Hawa bermetamorfosa sebagai makhluk hewani, yang memiliki hasrat seksual... maka mulailah perkembang biakan manusia secara generatif atau secara seksual. dst. 

Dari, "sejarah awal kosmos", dapat terlihat bahwa setiap diri manusia, setiap entitas manusia, yang sebenarnya adalah percikan entitas Semesta Raya (atau Macro Cosmos, yang di Bali disebut Buana Agung, atau Sang Keberadaan), yang memiliki dua sisi, yaitu feminin dan maskulin. 

Dan karena entitas ini melingkupi segala yang ada, maka disebut juga Tuhan Yang Maha Esa, di Bali disebut Sang Hyang Widi Wasa. Aku menyebutnya Allah, pencipta Langit dan Bumi dan segala apa yang ada padanya dan ada di antaranya.

Kembali ke kondisi kehidupan di Bumi sekarang ini...

Jadi, mengapa hingga sekarang masih berlangsung budaya patriarki di mana-mana? Mungkin kita, atau kebanyakan orang lupa untuk menapaki tangga pertama kesadaran spiritual, kecerdasan seksual.

Mengenali dan menerima diri seutuhnya perlu dilatih sejak usia dini. Ada inspirasi bagus tentang hal ini dari novel Totto Chan karya Tetsuko Kuroyanagi, pada bab Swimming Pool

Diceritakan bahwa Kepala Sekolah, Sosaku Kobayashi, membolehkan anak-anak di sekolah dasar Tomoe berenang telanjang, Dan kenapa dia membiarkan mereka berenang dengan telanjang?! Karena dia pikir tidak wajar jika anak laki-laki dan perempuan untuk terlalu ingin tahu tentang perbedaan tubuh mereka, sampai melebihi batas kewajaran. Menurutnya pula, tidak wajar jika orang bersusah payah menyembunyikan tubuh mereka dari orang lain.

Dia ingin mengajari anak-anak bahwa semua tubuh itu indah. Di antara murid di Tomoe ada beberapa yang pernah menderita polio, seperti Yasuaki-chan, atau sangat kecil, atau cacat, dan dia merasa jika mereka memamerkan tubuh mereka dan bermain bersama, itu akan menghilangkan perasaan malu dan membantu mereka menghilangkan rasa rendah diri. Pendapatnya terbukti. mula-mula anak-anak cacat merasa malu, tapi perasaan itu bisa hilang, mereka segera mulai menikmati diri mereka sendiri, dan akhirnya mereka sepenuhnya mengatasi rasa malu mereka.

Prinsip Yin-Yang ini juga bersesuaian dengan filosofi ekologi Nujeongwon (taman tradisional) Korea, yaitu praktek Pung-su dengan kualitas pertentangan adalah prinsip dasar kreasi artistik.





#Refleksi

oleh Anita Syafitri Arif



Tidak ada komentar:

Posting Komentar