Terjemahan catatan-catatan kuno di lontar-lontar Bali oleh Sugi Lanus mengkonfirmasi banyak renunganku. Dari beberapa pengamatan dan pengalaman pribadi, aku percaya bahwa istilah ‘Pulau Dewata’ untuk Bali bukanlah main-main. Lontar-lontar Bali, yang berisi pedoman Yadnya dan mantra-mantra atau stawa, menyebutkan berbagai makhluk tampak dan tidak tampak di alam semesta memiliki peran besar dalam menggerakkan alam manusia.
Di Bali, ‘dewa’ adalah satu dari enam tingkatan roh di alam
semesta. Tidak terhitung banyaknya roh di alam semesta ini. Para roh tersebut
tinggal di berbagai dunia atau alam, atau lebih sering disebut loka. Jadi,
bukan hanya di loka manusia. Masing-masing loka memiliki tatanan kesemestaannya.
Keenam tingkatan roh yang dimaksud, adalah pitara, kinnara,
gandharva, yaksha, dewa, dan siddha. Pitara adalah roh manusia yang telah
meninggal, telah dikremasi atau dikubur sesuai upakara yang tepat. Siddha
adalah roh manusia yang telah sampai pencapaian tertinggi – maraga siddhi.
Roh di tingkat tertinggi ini juga disebut sebagai ‘hyang guru’ atau ‘guru hyang’. Menurut kepercayaan
kuno sebagaimana juga sekarang di Bali, seluruh alam semesta berada di bawah
kendali 33 dewata atau dewa-dewa.
Lanskap Budaya Bali
Sebelum lanjut ke pembahasan sekala-niskala, ada baiknya
kita pahami istilah ‘desa pakraman’. Di Bali, istilah ‘desa pakraman’
lebih sering digunakan untuk yang dimaksudkan ‘desa adat’ atau ‘desa
tradisional’. Pakraman adalah bentukan dari kata dasar ‘krama’ yang maknanya
sama dengan ‘warga’. Di tengah arus derasnya globalisasi, desa-desa pakraman –
baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan – tetap melestarikan
adat-istiadatnya. Walaupun memiliki banyak kemiripan antara satu dengan yang
lainnya, setiap desa pakraman punya keunikan.
Desa Pakraman Megati Kelod adalah satu dari lima wilayah
pemekaran Desa Adat Jelijih sejak tahun tahun 1960-an. Jadi, sebelumnya hanya
merupakan wilayah banjar adat. Bale Desa yang ada sekarang adalah Bale Banjar
yang lama. Bale Desa dengan luasan yang mencukupi (untuk jumlah krama yang
telah meningkat) sedang diupayakan, namun belum rampung hingga sekarang karena
keterbatasan dana.
Secara umum, kesamaan dan kemiripan banyak desa pakraman di
Bali adalah keberadaan pura-pura kahyangan. Setidaknya, pasti setiap desa pakraman
– secara tatanan ruang lanskap-budaya-topografi-geografi – memiliki pura-pura
kahyangan, yaitu Pura Dalam, Pura Puseh dan Pura Desa. Pura Puseh biasanya
berdekatan atau bahkan menyatu dengan Pura Desa.
Selain tiga pura utama ini, ada lagi beberapa pura yang
sifatnya kewilayahan adat-budaya desa pakraman. Pura Mrajapati, biasanya
berdekatan dengan Pura Dalam, berlokasi di lahan yang paling rendah, biasanya
dekat sungai. Pura Bedugul berdekatan dengan Bale Subak terletak di tepi atau
di dalam area pertanian atau yang lebih dikenal sebagai subak, baik itu subak
yeh (persawahan) maupun subak abian (ladang). Pada umumnya, desa pakraman
memiliki sumber atau mata air, di Bali disebut ‘beji’. Dan di situs mata air
itu juga ada pura, disebut Pura Beji. Desa Pakraman Megati Kelod memiliki Pura
Beji Taman Sekar, sumber tirta untuk upacara-upacara odalan.
Di Desa Pakraman Megati Kelod, ada Pura Taman. Pura ini
tidak ditentukan kriteria lokasinya, namun keberadaannya lebih kepada
fungsinya, yaitu sebagai tempat Barong (Betara Bagus) dan Rangda (Hyang Shri). Di
desa pakraman tetangga, fungsi ini disatukan pada situs Pura Dalam. Sejalan
perkembangan pembangunan wilayah, desa yang dibelah oleh jalan raya poros
provinsi ini, kemudian juga memiliki Pura Perempatan (Catus Pata) yang lebih
menyerupai tugu empat dewi, dan seorang dewa yang menghadap ke Gunung Batukaru di Utara. Tugu ini kemudian lebih dikenal sebagai Pura Tugu Catur
Dewi. Pura Tugu ini dibangun, lalu diresmikan pada 30 Juni 2016.
Di setiap desa pakraman ada aturan atau kesepakatan yang
bersifat umum dan tertulis, dan ada juga aturan atau kesepakatan yang bersifat
agak rahasia, tidak tertulis namun dimaklumi bahkan memberi semangat kehidupan.
Jenis yang kedua ini banyak berkaitan dengan hal-hal yang bersifat niskala atau
non-materi.
Kegiatan-kegiatan pertemuan atau rembug krama biasanya
berlangsung di Bale Banjar atau Bale Desa. Bale Banjar Desa Pakraman Megati
lebih difungsikan sebagai Bale Gong. Bale Desanya sendiri masih dalam proses
pembangunan, sehingga pertemuan-pertemuan krama dilangsungkan di Bale Subak
yang berlokasi di seberang Pura Desa.
Di Bali, suatu keluarga besar biasanya menempati sebidang lahan yang luas, yang disebut "karang". Di dalam batas setiap karang, massa-massa bangunan memiliki tatanannya sendiri berdasarkan filosofi "asta kosala-kosali". Ada beberapa jenis tempat sakral di setiap karang, berupa pura keluaraga yang disebut sanggah atau mrajan, dan beberapa pelinggih. Salah satu pelinggih disebut "pelinggih taksu", jadi tempat berdoa setiap kali anggota keluarga akan bepergian atau keluar dari karang rumah mereka.
Pelinggih Taksu
di karang keluarga besar
Gus Endra
Keniskalaan
Aspek-aspek kehidupan niskala memang tidak banyak
dibicarakan atau dibahas secara terbuka, baik di dunia akademisi maupun di
portal-portal media arus utama. Mungkin, karena sifatnya yang memang tidak
kasat mata, bukan kebendaan, dan terlewatkan oleh kesibukan serta rutinitas
kehidupan sehari-hari di dunia yang makin materialistis ini. Jadi, tidak banyak
lagi orang yang menyadarinya.
Pada tulisan ini, aku fokus mengangkat beberapa aspek yang
bersifat niskala. Yaitu, khususnya hal-hal yang sudah terlalu biasa, namun
tidak disadari keistimewaannya; dan hal-hal yang dianggap tabu atau
kontroversial, namun, secara terang-terangan maupun secara agak sembunyi-sembunyi
tetap diadakan. Yang kumaksudkan adalah:
1.
Musik Baleganjur, pengiring rangkaian upacara Ngaben;
2.
Keadaan trans (kerauhan) pada pentas Calon Arang;
3.
Permainan judi dadu koprok;
4. Tajen atau metajen.
Dua butir pertama adalah bagian dari upacara/acara yang
sangat menarik juga bagi para wisatawan. Memang sifatnya lebih terbuka dan
tidak ada masalah kontroversi moral. Namun, secara umum, keduanya semata-mata hanya
dianggap adat-istiadat yang sudah pakem.
Dua butir terakhir, pada zaman kuno, sama sekali bukanlah
hal yang tabu atau kontroversial. Namun di masa kini, terutama lima tahun terakhir ini, keduanya termasuk dalam
ranah abu-abu.
Baik dua butir pertama maupun dua butir terakhir, sebenarnya
akan memiliki nilai istimewa – terutama dalam evolusi kesadaran manusia – jika
kita dapat memahami makna rahasianya. Sejatinya, ini bukanlah rahasia, hanya
saja, sangat sedikit orang yang mau memikirkan dan merenungi maknanya secara
lebih mendalam. Ini adalah hal-hal yang termasuk dalam filsafat esoteris.
Ini adalah pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan yang sebenarnya bersumber
dari Pikiran Kosmos. Ada kontribusi dewa-dewa di langit, roh-roh, maupun
peri-peri yang ada di alam-alam gaib.
Dalam terjemahan catatan lontar-lontar Bali, dikatakan bahwa
kekuatan ‘dewata’ sesungguhnya berada di dalam diri manusia – dewata ring
sanira (dewata dalam diri manusia). ‘Dewata’ hadir dalam setiap sel dan
kesadaran manusia sendiri. ‘Dewata ring sanira’ berarti kualitas
keilahian yang kita ekspresikan melalui karakter kita. Misalnya, kebajikan,
kecemerlangan, kasih sayang, kebahagiaan, dan lain-lain.
Karena pada umumnya manusia tidak bisa merasakan atau
menyadari kehadiran dewata di dalam dirinya, maka di Bali diajarkan untuk memuja
dewata yang berada di luar tubuh manusia. Untuk pemujaan dewata yang berada di
luar diri, maka pura-pura perlu dibangun. Pura-pura ini disebut juga ‘parahyangan’.
Tujuannya untuk memohon berkah, kemuliaan, dan kekuatan dewata, supaya manusia
bisa menjadi makhluk yang lebih baik dan mulia.
Parahyangan adalah keselarasan antara manusia dan Tuhan dan
makhluk-makhluk spiritual, ini adalah satu dari tiga sumber kebahagiaan. Dua
lainnya adalah ‘pawongan’ yaitu keselarasan antara sesama manusia, dan ‘palemahan’,
keselarasan antara manusia dan lingkungan hidup. Keseimbangan ketiga sumber
kebahagiaan inilah yang disebut Tri Hita Karana.
Kembali ke aspek niskala, kontribusi dewa-dewa dan
makhluk-makhluk spiritual tak berjasad ini, biasanya mewujud sebagai individu-individu.
Orang-orang yang menjadi “kendaraan” dewata dan makhluk-makhluk spiritual ini
disebut orang yang memiliki ‘taksu’, atau biasa disebut ‘metaksu’.
Manusia Kendaraan Dewata
Salah seorang warga di Desa Pakraman Megati Kelod – yang menurut pengamatan dan penyelidikanku – adalah individu yang memiliki taksu terkait keempat hal yang sedang kubahas ini. Beliau adalah Gusti Made Endra Tenaya (43) yang lebih dikenal dengan sebutan Ajik Yoshee. Walaupun penampilan fisiknya agak urakan, gondrong megimbal, seluruh kedua lengan bertatto, namun Gus Endra adalah tipe ‘lelaki keluarga’, lelaki yang penuh perhatian dan kehangatan terhadap keluaganya, istri dan ketiga putra-putrinya. Gus Endra beristrikan Nita Rianti (37), ketiga buah cinta mereka adalah Gusti Ayu Putu Mayoshee (16), I Gusti Made Bram Pangestu (11), dan si bontot, Gusti Ayu Komang Trisyana Anjani (6).
Dari kiri ke kanan:
Gek Yoshee, Gus Bram,
Gek Mang Anjani,
Gus Endra, dan
Nita Rianti.
Jadi, selain sebagai nara sumber utama, Gus Endra juga adalah tokoh utama dalam tulisan ini. Satu per satu dari keempat butir hal tersebut di atas kita bongkar rahasia keistimewaannya bersama beliau.
1.
Musik Baleganjur, pengiring rangkaian upacara Ngaben
Ada sedikitnya 10 alat musik
tradisional Bali, yaitu tambur/gendang, gong, gamelan, ceng-ceng, gangso, tawo-tawo,
gender, seruling, kecek, dan tingklik. Yang sering dan utama ada dalam musik
pengiring upacara ngaben adalah gendang, gong, gamelan dan ceng-ceng.
Pada liputan terbaru, yaitu di
upacara Ngaben, pada hari Senin Legi, 8 Agustus 2022, aku sengaja tidak membawa
ponsel, karena aku mau lebih berkonsentrasi menggunakan “mode persepsi ganda”. Aku
mengamati Gus Endra yang bertindak selaku pemimpin pada pasukan musik pengiring
upacara ini.
Dalam iring-iringan krama yang
berjalankaki dari depan gang ‘rumah duka’ menuju situs setra (pemakaman),
aku menyadari suasana yang beda dengan prosesi pemakaman di daerah atau
budaya lain. Di sini, ada keseimbangan antara duka cita dan suka cita.
Terutama karena keindahan musik gong yang dinamis, seolah mengajak simpul-simpul
saraf kita untuk menari. Jadi aku merasa lebih diliputi kegembiraan saat
menyaksikan iring-iringan komunitas ini ke tempat pengabenan. Aku dapat
merasakan dan menyadari bahwa keselarasan dalam rangkaian upacara ini adalah
perwujudan dari Pikiran Kosmos yang memiliki citarasa seni yang sangat tinggi.
Orang-orang Bali ini, merayakan
kehidupannya setiap hari dengan segala kompleksitas dan dualitasnya yang tetap
terjaga dalam keselarasan. Bagi mereka, kematian adalah juga bagian dari
kehidupan, atau lebih tepatnya bagian dari siklus kehidupan. Di Bali inilah,
penulis menyaksikan adanya tatanan kehidupan yang melampaui segala dualitas.
Menurut Gus Endra, musik ini memang
dimaksudkan untuk roh alias ‘calon pitara’ dari jasad yang akan diaben, rohnya diajak
bergembira dan bersyukur. Selain itu, agar semua keluarga, kerabat dan sahabat
dapat ikhlas melepaskannya.
2.
Keadaan trans (kerauhan) pada pentas
Calonarang
Di pentas Calonarang yang
berlangsung di Pura Dalam Desa Pakraman Megati Kelod, kamis Legi 31 Maret – Jumat
Pahing 1 April 2022, aku hadir dan sengaja juga mengambil posisi yang strategis
untuk mengamati dan mengalami aura dan energi majis dari pelaku-pelaku peran. Keseluruhan
pentas ini berlangsung dalam empat jam, dari pukul 22 hingga pukul 2 dini hari.
Pada pentas ini, ada dua kelompok
pemain musik gong/gamelan, di sisi kiri adalah pemuda-pemuda dari desa
tetangga, Desa Pakraman Serampingan, dan di sisi kanan adalah pemuda-pemuda
dari Desa ini, Megati Kelod. Mereka bergantian memainkan musik.
Rangda alias Calonarang yang
disebut juga ‘Hyang Shri’ diperankan atau disunggi oleh Ajik Gede. Rangda ini
didampingi oleh Gus Endra. Pada adegan pertempuran antara Barong (Betara Bagus)
dan Rangda, aku merasakan suasana majis yang luas biasa, terutama karena
keindahan musik gamelan. Seolah-olah, pertempuran dahsyat yang sedang berlangsung
di pentas juga terjadi di dalam diriku. Sensasinya sangat mirip dengan yang dapat dirasakan ketika kita bercinta, saat menjelang puncak orgasme.
Ni Made Andien Nugraha,
salah seorang pemeran
lenda-lendi Calonarang
Baik Barong maupun Rangda memiliki beberapa pengikut. Lenda-lendi adalah para murid Calonarang (disebut juga pengikut Rangda), diperankan oleh lima gadis ayu dengan selendang putih sebagai tudung. Pengikut Barong diperankan oleh lelaki-lelaki dengan keris sungguhan, tajam berkilat-kilat ditimpa cahaya lampu. Ketika Barong jatuh dikalahkan oleh Rangda, para lelaki bersenjata keris menyerbu Rangda. Mereka menusuk tubuh Rangda, namun tidak mempan. Para penyerang Rangda ini akhirnya kerauhan dan menusuk diri mereka masing-masing, juga tidak mempan, dan mereka berjatuhan seperti tewas. Para mangku memercikkan tirta kepada semua yang kerauhan disertai rapalan mantra. Mereka kembali ke alam manusia, yang merupakan realitas maya dalam pemahaman spiritual.
Secara keseluruhan, pentas ini
sangat indah. Aku mengalami keselarasan semua komponen: musik, tari, dan
kesungguhan para pelaku peran, juga dekorasi yang menggunakan bahan-bahan alami
lokal. Pentas ini menampilkan koeksistensi paradoks banyak hal: sakral-profan,
keras-lembut, hidup-mati, cinta-benci, kemelekatan-keterlepasan, dan
natural-artifisial juga kejatuhan-kesuburan. Inilah realitas kehidupan yang
lebih tinggi. Pentas ini menyajikan hal-hal yang melampaui segala dualitas.
3.
Permainan judi Dadu Koprok
Dalam legenda epik Mahabarata,
dikisahkan kekalahan pihak Pandawa dalam perjudian melawan pihak Kurawa. Di
balik permainan judi dengan menggunakan dadu ini, adalah kendali Sangkuni. Di zaman
kuno, Sangkuni dipercaya sebagai ‘dewa judi’. Di Bali hingga sekarang,
bandar-bandar judi juga percaya adanya kekuatan gaib yang diperankan oleh dewa
judi Sangkuni.
Menurut pengakuan Gus Endra, permainan
judi dadu koprok, biasanya merupakan selingan mengisi waktu saat menunggu
pembakaran jasad. Permainan ini berlangsung di bale Pura Mrajapati, sebagaimana
yang kusaksikan pada 8 Agustus 2022 dan pada upacara ngaben sebelumnya. Jenis
judi ini hanya dalam jumlah yang kecil, taruhannya hanya berkisaran 10.000
hingga 50.000 rupiah.
Namun, walaupun dengan jumlah
nominal yang kecil, peran dewa judi Sangkuni juga ikut bermain. Di sini,
diperlukan keberanian para pemain untuk melepaskan uangnya, siap untuk kondisi
menang atau kalah. Dengan kata lain, sebenarnya tidak ada kekalahan atau
kemenangan mutlak. Hidup ini hanya permainan, yang akan selalu kembali lagi
pada titik keseimbangan.
Aku mengamati media permainan dadu koprok ini. Terpal dengan lukisan enam jenis binatang mitologi hasil kerjaan tangan, demikian juga pada keenam permukaan dadunya. Ini merupakan karya seni. Peralatan permainan ini bukanlah hasil industri yang mudah didapatkan di toko atau di pasar. Jika anda ingin mempunyainya, perlu memesan pada ahlinya. Ini adalah karya seni yang lestari, karena ada juga individu-individu tertentu yang memiliki taksu menciptakan media dan peralatan permaian ini.
4. Tajen atau metajen
Bukan rahasia lagi bahwa tajen atau
sabung ayam adalah judi yang sangat kontroversial. Beberapa akademisi, baik
lokal maupun global telah membahasnya. Adalah Clifford Geertz (1926-2006),
antropolog kebangsaan Amerika yang menuliskan esai "Deep Play: Notes
on the Balinese Cockfight".
Menurut penelitian etnografinya, bahwa
bahkan makna ganda dari kata "ayam" juga berarti pahlawan, pejuang,
dan juara, ada dalam bahasa Bali, dan juga dalam bahasa Inggris. Dia juga
menulis tentang hubungan intim yang dimiliki banyak pria Bali dengan ayam-ayamnya,
yang sebenarnya juga simbol penis mereka. Mereka, para bebotoh ini merawat ayam-ayam
mereka, memberi mereka makan, mengamati mereka, dan mendiskusikannya satu sama
lain. Geertz juga menulis, "Ayam adalah ekspresi simbolis atau pembesaran
diri pemiliknya, ego laki-laki narsis yang ditulis dalam istilah Aesopian,
mereka juga ekspresi - dan yang lebih langsung - dari apa yang orang Bali
anggap sebagai kebalikan langsung, secara estetis, secara moral, dan metafisik,
status manusia: kebinatangan."
Aku hubungkan sintesis Geertz di atas dengan renunganku tentang "tahap kehidupan hewani manusia" dalam buku The Secret History of The World. Sekarang ini, manusia sudah berada dalam tahap kehidupan hewani, yaitu dapat berkembangbiak secara generatif, yaitu secara seksual. Pada tahap sebelumnya, yaitu tahap kehidupan nabati, manusia berkembang biak secara partenogenesis, sebagaimana tumbuhan, tanpa alat kelamin. Dan, bahwa penis yang juga disimbolkan sebagai ayam jantan (cock) adalah organ terakhir pada anatomi manusia yang mengambil bentuk akhirnya sebagaimana sekarang.
Salah seekor dari ayam-ayam jantan
peliharaan Gus Endra
Dari Gus Endra, adalah Tabuh Rah’, yang dimaksudkan memberi ‘makanan’ bagi Bumi dengan meneteskan darah pada pertempuran hidup-mati antara ayam-ayam yang diadu. Tabuh Rah adalah ritual pelaksanaan bhuta yajña. Darah merupakan zat cair yang digunakan sebagai sarana untuk menyeimbangkan bhuana agung dan bhuana alit.
Di luar sebagai ritual dalam situs
parahyangan, kegiatan adu ayam ini disebut tajen. Transformasi tabuh rah menjadi
tajen adalah proses alami. Tajen atau metajen merupakan tradisi yang bersifat sosial-rekreatif.
Pada dasarnya, dalam permainan ini ada aturan main yang melibatkan dimensi
niskala. Aku teringat bacaan pada buku The Secret History of The World,
tentang keberuntungan para penjudi. Ini bukan sekadar hukum probabilitas menang-kalah
50:50.
Hukum probabilitas hanya berlaku
ketika semua subjektivitas manusia telah dengan sengaja dikesampingkan. Dalam
keadaan normal ketika kebahagiaan dan harapan manusia untuk pemenuhan dirinya
bergantung pada hasil lemparan dadu, atau dalam hal tajen – ayam mana yang dapat
mempertahankan hidupnya – maka hukum probabilitas dibengkokkan. Kemudian hukum
yang lebih dalam ikut bermain.
Pada Rabu Kliwon, 17 Agustus 2022,
aku menyaksikan tajen, tidak jauh dari situs Pura Dalam Desa Pakraman Megati
Kelod ini. Permaian tajen di hari kemerdekaan ini adalah kali ketiga bagi aku,
menonton di arena tajen. Dua kali sebelumnya, di Desa Gunung Salak pada 2017,
dan di Desa Surabrata pada 2018. Berbeda dengan pengalamanku sebelumnya, kali
ini aku mendapati aturan bahwa tidak boleh menggunakan kamera ponsel di arena
tajen. Ada bagusnya juga bagi aku sekarang, karena aku dalam masa latihan menggunakan
dan mengembangkan kemampuan “mode persepsi ganda”, yaitu dengan menggunakan
organ-organ persepsi fisik, dan organ-organ persepsi metafisik.
Sebelumnya aku sempat membaca
beberapa artikel tentang Sangkuni, Dewa Judi dalam mitologi Hindu dan dalam
kisah Mahabarata. Konon, ada Dewa Judi di setiap arena judi, yang ikut mengendalikan
permainan. Mungkin inilah sebabnya, di arena tajen juga terpasang pelangkiran,
tempat menaruh canang (sesajen). Jadi, jika kemudian kegiatan ritual ini
menjadi kegiatan permainan judi, tetap ada aspek metafisik yang ikut bermain.
Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, ada dewa judi Sangkuni yang
mengendalikan permainan judi.
Di kesempatan ketiga ini, aku
‘merekam’ semua apa yang bisa aku cerap, dan menyimpan mereka sebagai
memori-memori di benakku. Ada satu hal yang aku ingat, yaitu papan nama yang
tergantung di salah satu sisi teritisan atap arena tajen, gambar siluet
pegasus, kuda bersayap. Aku ingat ini adalah binatang mitologi Yunani...
Pegasus adalah kuda perang
terpercaya Dewa Zeus alias Jupiter. Selama pertempuran, Zeus memiliki kekuatan
untuk melemparkan petir dan melemparkan guntur ke musuh. Pegasus bertanggung
jawab untuk membawa guntur dan cahaya Zeus selama pertempuran. Terkadang selama
pertempuran, musuh akan sangat kuat dan pasukan Zeus akan ketakutan. Pegasus
selalu tinggal bersama Zeus, bahkan ketika musuh berjuang sangat keras. Sebagai
hadiah atas kesetiaan dan keberanian pegasus, Zeus menempatkannya di langit
sebagai rasi bintang.
Jadi, apa hubungan antara tajen, Pegasus dan Sangkuni?
Aku kembali mengingat hasil renunganku juga terkait evolusi manusia, baik kesadarannya maupun cara berkembangbiaknya. Pada transisi dari tahap kehidupan nabati dan tahap kehidupan hewani, ada andil para dewa atau malaikat dalam perkembangbiakan manusia, karena pada masa itu, penis manusia lelaki belum muncul, namun manusia perermpuan sudah memiliki ovarium, bisa mengalami kehamilan. Malaikat-malaikat yang memberontak ini turun ke Bumi dan menghamili perempuan-perempuan dengan suara, yaitu dengan nyanyian dan mantra-mantra.
Para malaikat ini kemudian meminta Henokh alias Nabi Idris untuk bersyafa'at bagi mereka kepada Allah. Dalam Alkitab Perjanjian Lama, dikisahkan bahwa Henokh dengan berkendara kereta berapi yang ditarik oleh empat kuda bersayap, ia naik ke Surga. Pegasus!
Pegasus mengantar Henokh ke Surga, juga untuk menegaskan pada Allah, bahwa para malaikat tidak perlu lagi mengawini manusia-manusia perempuan, Bahwa manusia bisa berkembangbiak sendiri, karena manusia-manusia lelaki telah memiliki penis!
Gus Endra menceritakan, beberapa kali, saat dia sama sekali tidak punya uang, ada-ada saja undangan untuk berpartisipasi di arena tajen. Diapun berdiskusi dengan ayam-ayamnya, lalu membawa salah seekor dari mereka ke arena pertempuran. Dia dan ayamnya menang! Di kesempatan lain, saat dia sedang memiliki banyak uang, dan ikut pada permainan para bebotoh, dia kalah. Bukankah hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya permaianan ini, matajen, juga sarana dewa untuk menjaga keseimbangan hidup dengan cara yang indah? Hidup dan kehidupan adalah permainan Pikiran Kosmos.
Mengingat pesan mendiang suami, Prof. Sung-Kyun Kim,
Presiden Pendiri Asian Cultural Landscape Association, aku tetap
melanjutkan penelitian-penelitian etnografi. Penelitian jenis ini bersifat
kualitatif, menggali di kedalaman, mengalami sendiri fenomena-fenomenanya,
secara langsung dan berkali-kali, sehingga dapat menemukan makna terdalam dari
setiap kearifan leluhur yang perlu dilestarikan.
Anita Syafitri Arif
Megati Kelod, Selasa Wage, 16 Agustus 2022, dilanjutkan pada Jumat pahing, 19 Agustus 2022.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar