Sabtu, 30 April 2022

SOLUSI BAGI MASALAH PLASTIK GLOBAL

Krisis iklim mulai dirasakan sejak tiga puluh tahun lalu, dan sekarang ini sedang sangat dirasakan oleh hampir semua manusia di berbagai bagian bumi ini. Sepuluh tahun terakhir ini diwarnai oleh begitu banyak bencana alam, termasuk kebakaran hutan. Pemanasan global terus meningkat akibat gaya hidup manusia modern pada umumnya. Salah satu penyebab utama pemanasan global adalah sampah plastik.

Sejak seratus tahun lalu, plastik mulai menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ada berbagai jenis plastik, dan semuanya terbuat dari bahan baku yang sama, yaitu minyak bumi. Plastik membuat kehidupan manusia menjadi lebih praktis dan nyaman, dan kemudian membuat manusia menjadi lalai dan lupa diri. Sejak tiga puluh tahun lalu, plastik mulai memberi dampak negatif terhadap lingkungan hidup, baik di daratan maupun di lautan. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena tentunya juga berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Plastik-plastik kemasan produk makanan dan minum jadi dan setengah jadi adalah yang paling banyak menjadi limbah plastik.



Masalah limbah plastik ini merupakan masalah global yang bersinergi dengan perdagangan bebas global. Perjalanan perdagangan bahan baku plastik berupa minyak bumi, dari negara-negara penghasil ke negara-negara industri petrokimia. Kemudian, perjalanan perdagangan bijih plastik hingga perjalanan perdagangan produk-produk industri, baik produk-produk bahan makanan maupun produk-produk non bahan makanan. Secara umum, jika diamati, prosentase terbesar kemasan plastik yang menjadi limbah plastik adalah kemasan minuman jadi, yaitu plastik jenis PET.

Secara kasat mata, negara-negara belum berkembang dan negara berkembang terlihat sebagai wilayah-wilayah dengan sampah plastik berserakan, terlihat sebagai negara-negara yang sangat bermasalah karena belum mampu mengelola sampah dan limbah secara profesional. Namun sebenarnya, beberapa negara maju justru merupakan penghasil sampah plastik terbesar sedunia, yaitu Inggris, Jepang dan Amerika. Inggris menghasilkan limbah plastik sebanyak 1,8 juta kilogram atau 1800 ton setiap hari. Limbah plastik Inggris dibuang alias diekspor ke negara-negara yang bersedia menerima, termasuk Indonesia, baik secara legal maupun ilegal. Perjalanan perdagangan global limbah plastik ini menjadi sorotan pihak-pihak pemerhati lingkungan hidup. Selain perjalanan itu sendiri berkontribusi terhadap pertambahan jejak ekologis dan pemanasan global, juga tidak adil bagi masyarakat umum di negara-negara penerima atau pengimpor limbah plastik.

Masalah plastik ini tidak bisa terselesaikan hanya dengan upaya 3R (reduce, reuse, recycle) jika industri petrokimia masih memproduksi bijih plastik. Seharusnya, semua produksi plastik dari bahan bakunya dihentikan serentak seluruh dunia. Dan plastik-plastik yang terlanjur ada dikelola secara tepat agar meminimalkan dampak negatifnya terhadap lingkungan hidup di planet ini.

Salah satu upaya pengelolaan limbah plastik yang bisa sangat signifikan adalah dengan memanfaatkannya sebagai bahan campuran pada industri bahan bangunan. Dan aku mengamati (sejak 2017) bahwa negara-negara berkembang, melalui institusi Pendidikan Tinggi didorong untuk seolah-olah “menemukan solusi” sampah plastik dengan menciptakan formula komposit hibrida plastik. Berbarengan dengan hal ini, sampah-sampah plastik mengalir dari negara2 maju ke negara2 berkembang.

Setelah merenungi sifat-sifat plastik, siklus dan peredarannya, aku berpendapat begini:

Produksi komposit hibrida plastik sebaiknya tidak untuk dijadikan komoditi ekspor dan impor, dengan kata lain, produk ini tidak perlu jadi komoditi dalam perdagangan bebas global. Tapi dibatasi hanya digunakan di negara penghasil. Untuk maksud ini, perlu ada kerjasama di antara pihak-pihak yang memfasilitasi masalah pengelolaan sampah plastik di masing-masing negara, terutama di negara-negara penghasil sampah plastik terbesar sedunia yang telah kusebutkan di atas (Inggris, Jepang dan Amerika). Perdagangan sampah plastik sebagai komoditi ekspor dan impor harus dihentikan, karena hanya menambah beban ekologis bagi planet ini.

Komposit hibrida plastik memang lebih sesuai digunakan sebagai bahan bangunan di negara-negara non-tropis, jadi cocoklah jika ketiga negara penghasil sampah plastik terbesar sedunia memproduksi komposit ini untuk keperluan dalam negeri mereka. Jadi, berhentilah memperalat negara2 berkembang! Toh kita semua berada di planet yang sama!

 

Dari berbagai sumber, langsung maupun tidak langsung (via media).


Anita Syafitri Arif

Megati, 30 Juli 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar