Krisis iklim mulai dirasakan sejak tiga puluh tahun lalu, dan sekarang ini sedang sangat dirasakan oleh hampir semua manusia di berbagai bagian bumi ini. Sepuluh tahun terakhir ini diwarnai oleh begitu banyak bencana alam, termasuk kebakaran hutan. Pemanasan global terus meningkat akibat gaya hidup manusia modern pada umumnya. Salah satu penyebab utama pemanasan global adalah sampah plastik.
Sejak seratus tahun lalu, plastik
mulai menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ada berbagai jenis plastik, dan
semuanya terbuat dari bahan baku yang sama, yaitu minyak bumi. Plastik membuat
kehidupan manusia menjadi lebih praktis dan nyaman, dan kemudian membuat
manusia menjadi lalai dan lupa diri. Sejak tiga puluh tahun lalu, plastik mulai
memberi dampak negatif terhadap lingkungan hidup, baik di daratan maupun di
lautan. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena tentunya juga berdampak negatif
terhadap kesehatan manusia. Plastik-plastik kemasan produk makanan dan minum jadi
dan setengah jadi adalah yang paling banyak menjadi limbah plastik.
Masalah limbah plastik ini
merupakan masalah global yang bersinergi dengan perdagangan bebas global.
Perjalanan perdagangan bahan baku plastik berupa minyak bumi, dari
negara-negara penghasil ke negara-negara industri petrokimia. Kemudian,
perjalanan perdagangan bijih plastik hingga perjalanan perdagangan
produk-produk industri, baik produk-produk bahan makanan maupun produk-produk
non bahan makanan. Secara umum, jika diamati, prosentase terbesar kemasan
plastik yang menjadi limbah plastik adalah kemasan minuman jadi, yaitu plastik
jenis PET.
Secara kasat mata, negara-negara belum
berkembang dan negara berkembang terlihat sebagai wilayah-wilayah dengan sampah
plastik berserakan, terlihat sebagai negara-negara yang sangat bermasalah
karena belum mampu mengelola sampah dan limbah secara profesional. Namun
sebenarnya, beberapa negara maju justru merupakan penghasil sampah plastik
terbesar sedunia, yaitu Inggris, Jepang dan Amerika. Inggris menghasilkan limbah
plastik sebanyak 1,8 juta kilogram atau 1800 ton setiap hari. Limbah plastik
Inggris dibuang alias diekspor ke negara-negara yang bersedia menerima,
termasuk Indonesia, baik secara legal maupun ilegal. Perjalanan perdagangan
global limbah plastik ini menjadi sorotan pihak-pihak pemerhati lingkungan
hidup. Selain perjalanan itu sendiri berkontribusi terhadap pertambahan jejak
ekologis dan pemanasan global, juga tidak adil bagi masyarakat umum di
negara-negara penerima atau pengimpor limbah plastik.
Masalah plastik ini tidak bisa
terselesaikan hanya dengan upaya 3R (reduce,
reuse, recycle) jika industri petrokimia masih memproduksi bijih plastik.
Seharusnya, semua produksi plastik dari bahan bakunya dihentikan serentak
seluruh dunia. Dan plastik-plastik yang terlanjur ada dikelola secara tepat
agar meminimalkan dampak negatifnya terhadap lingkungan hidup di planet ini.
Salah satu upaya pengelolaan
limbah plastik yang bisa sangat signifikan adalah dengan memanfaatkannya
sebagai bahan campuran pada industri bahan bangunan. Dan aku mengamati (sejak
2017) bahwa negara-negara berkembang, melalui institusi Pendidikan Tinggi didorong
untuk seolah-olah “menemukan solusi” sampah plastik dengan menciptakan formula
komposit hibrida plastik. Berbarengan dengan hal ini, sampah-sampah plastik mengalir
dari negara2 maju ke negara2 berkembang.
Setelah merenungi sifat-sifat plastik,
siklus dan peredarannya, aku berpendapat begini:
Produksi komposit hibrida plastik
sebaiknya tidak untuk dijadikan komoditi ekspor dan impor, dengan kata lain,
produk ini tidak perlu jadi komoditi dalam perdagangan bebas global. Tapi
dibatasi hanya digunakan di negara penghasil. Untuk maksud ini, perlu ada
kerjasama di antara pihak-pihak yang memfasilitasi masalah pengelolaan sampah
plastik di masing-masing negara, terutama di negara-negara penghasil sampah
plastik terbesar sedunia yang telah kusebutkan di atas (Inggris, Jepang dan
Amerika). Perdagangan sampah plastik sebagai komoditi ekspor dan impor harus
dihentikan, karena hanya menambah beban ekologis bagi planet ini.
Komposit hibrida plastik memang
lebih sesuai digunakan sebagai bahan bangunan di negara-negara non-tropis, jadi
cocoklah jika ketiga negara penghasil sampah plastik terbesar sedunia
memproduksi komposit ini untuk keperluan dalam negeri mereka. Jadi, berhentilah memperalat negara2 berkembang! Toh kita semua berada di planet yang sama!
Dari berbagai sumber, langsung maupun tidak langsung (via media).
Megati, 30 Juli 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar