Sabtu, 31 Juli 2021

Sebuah Dongeng Tentangku

Bumi, seratus empat belas ribu tahun sebelum masehi. Di suatu pagi, dari arah matahari yang sedang terbit, muncullah suatu titik hitam. Berkelepak, sesuatu yang tadinya titik hitam itu, mendekati sebuah batu besar berlumut. Tiga kuntum teratai putih tegak anggun di tengah telaga menemani cerminan batu besar itu. Mereka menegaskan bahwa keberadaan batu besar berlumut itu adalah sebagai ruh penjaga tempat itu, suatu lembah dikelilingi beberapa gunung dan tebing cadas.


Paragraf pembuka ini adalah gambaran imajinasiku pada momen kebahagiaan bersama Sayangku di awal musim dingin 2015 saat berada di Bongyudongcheon Nujeongwon, taman surga kami yang berlokasi di tanah kelahiran Sayangku, di Mungyeong-si, Korea Selatan. Saat itu, aku sebagaimana kebiasaanku sejak kecil jika berada di tengah ruang terbuka lapang dan sejuk, melompat-lompat riang seolah terbang di angkasa, dan Sayangku serta merta mengabadikan kegiranganku itu sambil melontarkan candaan di sela tawa bahagianya, “Nita, you look like a phoenix about to fly.” Lalu lanjutnya, “Maybe you were a phoenix in your previous-previous life.” Aku pun melanjutkan imajinasiku menjadi suatu dongeng cinta.



Tidak berapa lama, makhluk berkelepak yang muncul dari cahaya matahari itu semakin dekat, dan semakin tampaklah wujud dan warna-warninya. Seekor funiks dengan bulu panjang warna-warni, dominan merah di kepala, sayap dan ekornya. Setelah mengitari lembah itu tujuh kali, si Funiks mendarat di batu lempeng di tepi telaga itu.

 

Di atas batu lempeng itu, si Funiks diam menatap batu besar berlumut yang memang menunggu kedatangannya. Cahaya matahari membuat warna-warni bulu si Funiks terlihat makin indah, kemilau dan menggoda. Si Batu besar berlumut tersenyum dan mengucapkan selamat datang kepada si Funiks. Suasana diliputi keindahan mistis. Tetiba muncul seekor naga biru dari balik si Batu besar berlumut itu, naga dengan semburan api menyertai nafasnya. Suasana berubah jadi dramatis, antara mengejutkan, menghentakkan, dan menakjubkan, namun tak ada sedikitpun rasa takut pada diri si Funiks. Justru, muncul energi menggelora di antara si Funiks dan sang Naga. Mereka bertatap-tatapan lama tanpa kedip. Mereka pun hanyut dalam keindahan mistis yang menggetarkan setiap simpul saraf masing-masing. Dunia hanya milik mereka berdua saja.


Di atas batu lempeng itu, sang Naga dan si Funiks bercinta. Mereka menyatukan segala hasrat dan kebahagiaan dalam nafas kehidupan, meleburkan segala perbedaan wujud dan asal-usul mereka. Matahari, si Batu besar berlumut, ketiga kuntum teratai, dan semua kehidupan sekitar di tempat itu menjadi saksi penyatuan nan agung itu.


Beberapa bulan kemudian, si Funiks mengeluarkan tiga buah telur dari rahimnya. Saat menetas, dua dari telur-telur itu memunculkan dua bayi manusia, perempuan dan lelaki. Sepasang manusia ini tumbuh dan menjadi sepasang kekasih. Dari kehidupan bersamanya, mereka memiliki keluarga yang makin lama makin besar, generasi demi generasi. Hingga, entah generasi ke berapa ratus, sepasang dari mereka mengalami peristiwa yang sungguh tragis.

 

Tragedi itu terjadi pada sepasang Kim, di saat sedang berdua menikmati senja temaram di pavilion taman tempat tinggal mereka. Kim sang suami terbunuh dalam penyerangan tiba-tiba sekelompok gagak hitam yang datang dari arah matahari terbenam. Kim sang istri begitu sedih dan kehilangan semangat hidup karena kematian kekasih tercintanya. Berhari-hari bahkan berpekan-pekan sang istri tenggelam dalam kesedihannya. Hingga, di suatu pagi yang cerah datanglah seekor funiks yang memancing perhatiannya. Keindahan funiks itu membuatnya penasaran dan mengikutinya hingga si funiks berhenti, mendarat suatu tempat. Di tempat itu, si funiks memberi isyarat agar perempuan itu bermeditasi, memusatkan segala perhatian, pikiran dan perasaannya pada suami terkasih, agar sang suami dapat kembali hadir dalam hidupnya, yaitu dengan menyatu melebur pada dirinya.

Kim sang istri yang ditinggal mati sang suami, menyatu kembali dengan Kim sang suami. Pada dirinya, bersemayam jugalah sang suami, tepat pada hari ke seratus sejak tragedi itu. Sepasang Kim ada pada diri perempuan yang semangat hidupnya telah pulih. Dengan kebahagian dan kesyukuran, maka pasangan Kim dalam wujud perempuan itu membangun suatu kuil Buddha di tempat yang ditunjukkan oleh si funiks. Kuil itu dinamakannya Yunpil-am. Kuil itu adalah simbol cinta-kasih pasangan Kim. Kuil itu lalu dipersembahkannya bagi masyarakat umum, sebagai tempat meditasi dan merestorasi diri. Siapa pun boleh datang dan berdiam diri dalam hening dan damai di kuil itu untuk mengembalikan semangat hidupnya. Pasangan Kim dalam wujud perempuan itu lalu dikenal sebagai Dewi Cinta-Kasih. Sumbangsih Pasangan Kim berupa kuil itu tercatat resmi di lembaga pemerintah lokal di Mungyeong-si, Korea Selatan.



Enam abad sejak terbangunnya Kuil Yunpil-am, pada hari ketujuh sejak hari tahun baru lunar (imlek) pada tahun 1956, lahirlah seorang bayi laki-laki pertama dari sepasang Kim, tidak jauh dari kuil Buddha ini. Bayi laki-laki ini adalah salah satu dari keturunan Dewi Cinta-Kasih, generasi ke-33. Bayi yang sangat dinanti-nantikan kelahirannya itu dinamai Sung-Kyun, selengkapnya Sung-Kyun Kim, dalam aksara Korea, 김성균 (金晟均). 


Sung tumbuh besar di tanah kelahirannya yang indah dengan beberapa taman tradisional Korea. Pemahaman tentang taman dalam tradisi Korea, adalah ruang terbuka dengan pemandangan-pemandangan indah yang batasnya sejauh pandangan mata dari titik pengamatan. Taman tradisional Korea disebut 樓亭苑 (nujeongwon). Kegemaran Sung menikmati pemandangan lanskap ini melahirkan bakatnya, yaitu melukis. Sung melukis banyak pemandangan lanskap indah, yaitu nujeongwon-nujeongwon di tanah kelahirannya, Mungyeong-si.

 

Dalam perjalanan hidupnya, Sung dapat memiliki tamannya sendiri, yaitu taman yang telah dan masih dijaga oleh si Batu besar berlumut selama ratusan ribu tahun. Dan, begitu Sung mulai menjadikan taman itu sebagai tempatnya merestorasi diri, si Batu besar pun mulai menampakkan dirinya sebagai Buddha tersenyum. Sung menamakannya Batu Buddha. Sung sangat mencintai taman yang dijaga Batu Buddha itu, diapun menamakan tempat itu Bongyudongcheon, yang dalam aksara Korea, 봉유동천 (鳳遊洞天), artinya “lembah indah tempat funix bermain dan beristirahat”. Sung begitu bangga dengan Bongyudongcheon nujeongwon. Sung mengabadikan banyak pemandangan, berupa foto-foto di taman itu, terutama yang memperlihatkan Batu Buddha.



Sung memperlihatkan foto-foto Bongyudongcheon kepada siapa saja dengan kebanggaan dan kebahagiaannya yang begitu murni. Sung tidak perduli apakah orang yang dia perlihatkan foto-foto itu terkesan atau tidak peduli, atau sekadar memberi komentar basa-basi. Hingga suatu hari Senin, 20 Januari 2014, di suatu kesempatan makan siang di Jakarta, dia memperlihatkan foto-foto Bongyudongcheon nujeongwon kepada seorang perempuan bernama Nita yang baru dikenalnya hari itu. Sung dan Nita pertama kali bertemu di pagi harinya, pada kunjungan lapangan pemerhati Sungai Ciliwung, di suatu permukiman di bantaran sungai itu.

 

Berbeda dengan orang-orang lain yang diperlihatkan foto-foto Bonyudongcheon nujeongwon, Nita sangat antusias dan penuh perhatian. Nita, sebagaimana karakternya yang haus pengetahuan terhadap fenomena alam, melontarkan beberapa pertanyaan penasaran. Sung terlihat berseri-seri, tatapan matanya terlihat berkilau bahagia, dan mengatakan kepada Nita, “One day, if you can visit Korea, I can show you my Bongyudongcheon nujeongwon, Nita.”

Komunikasi Sung dan Nita menjadi intens. Nita dan anak laki-lakinya pindah tempat tinggal dari Jakarta ke Bali pada awal Maret 2014. Di pertengahan September 2014, Sung dan Nita bertemu lagi di Ubud, Bali. Dan sesuai kesepakatan dan rencana bersama, pada Januari 2015, Sung dan Nita menikmati perjalanan di beberapa tempat di Sulawesi Selatan, provinsi tanah kelahiran Nita. Pada September 2015, Sung dan Nita bersama lagi, di Lombok dan Bali. Dan, beberapa jam sebelum Sung terbang pulang dari Bali ke Korea pada 13 September, pasangan kekasih ini meneguhkan hubungan mereka dalam suatu upacara singkat yang sangat sederhana ala tradisional Bali. Menurut kepercayaan penganut agama Bali, Sung dan Nita adalah pasangan kekasih yang telah diakui penyatuannya oleh Semesta, secara skala maupun niskala, secara lahir maupn bathin.

Di akhir musim gugur, awal musim dingin, 27 November 2015, pada saat bulan masih purnama, Nita bersama Sung tiba di Bongyudongcheon Nujeongwon. Suasana indah dan majis, terpampang samar-samar, lembah dengan Batu Buddha hanya diterangi oleh cahaya bulan purnama. Setelah makan malam dalam kabin yang juga berfungsi sebagai paviliun taman itu, Sung dan Nita berdiri di teras, menikmati udara sejuk dan cahaya bulan. Suasana hening. Tiba-tiba, Sung berteriak lantang, “Niiitaaa, I love youuu!” Nita ikut berteriak lantang, “Sung-Kyun Kim, I love you too, yeobooo!”

 

Beberapa saat sebelum meninggalkan taman Bongyudongcheon pada 29 November 2015, Sung menawarkan diri untuk mengambil beberapa foto Nita dekat Batu Buddha. Setelah berpose seolah sedang bermeditasi di atas batu lempeng di tepi telaga kecil itu, Nita melompat-lompat kegirangan sebagaimana kebiasaannya jika berada di suatu ruang terbuka dan lapang, Sung mengambil banyak gambar dengan kamera ponselnya dan berkomentar, “Nita, you look like a phoenix about to fly.” Lalu lanjutnya, “Maybe you were a phoenix in your previous-previous life,” katanya bercanda sambil tertawa lepas.



Bongyudongcheon nujeongwon jadi semacam tempat utama bagi Nita setiap kali berkunjung ke Korea Selatan. Pada Februari 2019, Nita dan Sung menikmati tempat restorasi diri ini sambil merayakan hari kasih-sayang, dua malam, tanggal 14 dan 15, sebelum acara simposium di Seoul. Setelah simposium itu, mereka kembali mengunjungi taman tradisional sakral ini bersama para peserta simposium. Itulah kali terakhir Nita berada di taman cinta mereka. Namun ada sesuatu dalam diri Nita yang senantiasa kembali meyakinkannya bahwa Bongyudongcheon nujeongwon adalah rumah surga bersama mereka, Nita dan Sung. Bongyudongcheon nujeongwon adalah surga mereka yang sebenarnya.

 

Jumat 19 Juni 2020, Sung meninggalkan wujud fisiknya di Seoul, dua pekan setelah memangkas rumput-rumput liar di Bongyudongcheon nujeongwon. Nita di Bali, hanya bisa merenungi perubahan cerita yang begitu cepat. Bagai tayangan kaleidoskop, ingatan-ingatan Nita tentang kebersamaannya dengan Sung dan kisah-kisah yang sempat diceritakan Sung padanya muncul silih berganti dan terus berulang.

Sekarang, aku melihat gambaran besar dongengku ini. Nita adalah si Funiks yang menjemput belahan jiwanya untuk bersama-sama menjalani hidup hingga di ujung waktunya, di akhir hidupnya, di akhir wujudnya sebagai manusia ini, saat mencapai kesempurnaan sejati, kembali ke awal dari segala awal perwujudannya, sekaligus akhir dari segala akhir perwujudannya, cahaya di atas cahaya. Kebersatuan mereka, Nita dan Sung, eksis sebagai bintang NitaSung, sumber cahaya yang sangat cemerlang di semesta raya, yang tak berawal dan tak berakhir ini. Mereka eksis di nirvana sebagai pusat suatu sistem solar, dikitari para anggota keluarga besarnya tercinta, sebagai anggota sistem solar, yang juga hidup pada dimensi kesadaran yang lebih mulia. NitaSung eksis di nirvana sebagai pusat suatu galaksi dengan para kerabat dan sahabat tercinta, di suatu ruang dan di suatu masa selama jutaan tahun cahaya, hingga saatnya NitaSung berkehendak untuk mengulangi lagi siklus kehidupannya yang maha besar. 


#사랑해여보사양꾸💚💙

#사랑해 여보 ❤️ 

Tabanan, Bali, Sabtu, 31 Juli 2021 / 

21 Dzulhijjah 1442 / 22 Juni 2021, hari Geng Chen, bulan Yi Wei, tahunXin Chou (sapi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar