Di tahun kabisat ini aku melihat pertumbuhan fisik bujangku, Ancha luar biasa pesat. Dari yang tadinya, di akhir tahun 2019, tingginya 150 cm, saat aku menulis catatan ini akhir tahun 2020, tingginya sudah 163 cm. ohya, awal tahun ini, 1 Januari Ancha disunnat di Jakarta. Mungkin ada hubungannya?
Kondisi kesehatan mental Aisya, gadisku, tahun ini juga menunjukkan
kemajuan signifikan. Sudah dibebaskan dari keharusan konsumsi obat antidepresan
pagi, sejak tiga bulan lalu. Bawaannya juga lebih cool. Mungkin karena sudah sangat jarang makan daging hewan? seingatku
selama masa pandemi ini, Aisya makan ayam goreng JFC/McD hanya tiga kali, itu
aja yang non-vegetarian food. Aisya masih malas olahraga dan meditasi. Dia gak mau
berjemur, tapi bagusnya, jika ke minimart pasti jalankaki, karena memang kami
gak punya kendaraan selain sepeda butut-ku. Jalankaki antara rumah dan minimart itu pergi pulang lumayan untuk dia berolahraga sih.
Aisya dan Ancha masih dalam proses belajar di tahap vegetarian, sejak aku memutuskan jadi vegan pada 17 Januari di tahun ini. Aku harus bisa menunjukkan manfaat dan keuntungan hidup sebagai vegan kepada mereka, agar mereka bisa dengan kesadaran sendiri untuk juga memutuskan jadi vegan. Sebenarnya, Sayangku, Sung-Kyun Kim, alias bapak Kim sudah berminat jadi vegan juga, hal ini diungkapkannya pada piknik makan siang kami di Nusa Dua, 12 maret, sebelum beliau terbang kembali ke Korea.
Yang agak mengguncang di tahun ini, Sayangku meninggal dunia di Seoul, Korea karena sakit pada sistem pencernaannya, ileus istilah medisnya. Aku baru mendengar kabar
meninggalnya pada tgl 21 Juni pk. 6:53 pagi dari mahasiswa PhD-nya, Keunwoo Ken
Chung. Kabarnya, bapak Kim meninggal 19 Juni 2020 pkl 4 sore. Mendengar kabar
itu aku gak terlalu kaget lagi, karena perasaan terguncang itu sudah kualami
saat Sayangku meninggalkan jasad-nya, saat kehidupannya berpindah sebagai
non-wujud. Sore itu, aku merasa seperti ada sesuatu yang tercerabut dari
diriku, aku merasa sangat nelangsa, kesedihan yang mendalam, menunggu tanda2
kehidupan di WA chatroom Sayangku, maupun di messenger chatroom kami. Ya, waktu
menunggu dalam ketidakpastian itu, aku nge-post gambar di facebook story-ku,
foto gambar tangan Sayangku.
Setelah mendengar kenyataan tentang Sayangku pagi itu,
kemudian aku menenggelamkan diri dalam meditasi yang dalam dan panjang.
Teringat saat kami merencanakan pertemuan kami berikutnya di Korea pada
Februari 2021, beliau pernah berkata: “Nita,
pray for the best situation”. Teringat juga di salah satu wa chat kami,
sepekan sebelum beliau dirawat di ICU rumahsakit (11 juni), katanya: “I like to be fresh, like spring”.
Teringat juga pada Agustus 2017 di Bogor. Saat itu kami berempat di mobil bu
Nurisjah, menuju Depok. Sayangku duduk di kursi depan, samping sopir, dan aku
di kursi belakang samping bu Is. Sayangku, Prof. Kim bilang, pengen ada
perwakilan ACLA di Indonesia, mungkin di Bogor atau di Bali. Bu Is bilang,
mengapa bukan di India saja? Kan ada Prof. Rana. Sayangku lalu menjawab sambil
tertawa, “Rana is too old”. Lalu, bu
Is bilang, “Kim, everybody is growing
old, including you.” Waktu itu, Sayangku masih sambil tertawa nyahut lagi, “No, I don’t want to be an old person.”
Dan, akupun sampai pada kesadaran bahwa Sayangku meninggal
dunia pada usia 64 tahun, beberapa bulan sebelum pensiun dari perannya sebagai
professor di SNU ini memang adalah situasi yang terbaik baginya. Ya, memang sesuai
keinginannya, di alam bawah sadarnya. Namun begitu, aku menyadari juga bahwa dharma kami belum selesai.
Kami perlu tetap bersinergi dan berkolaborasi dalam harmoni. Kami adalah twin-flame union yang tidak dihalangi
atau dipisahkan oleh kematian tubuh fisik. Aku pun mulai mengkondisikan diri
untuk menerima diri Sayangku, baik secara spiritual (ruh-nya), mental (jiwa-nya),
bahkan secara fisik, yaitu masuknya atom2 yang pernah ada dan berkerja pada
tubuhnya, terutama atom2 hidrogen dan atom2 oksigen ke diri ini, melalui
pernafasan dan makan/minum. Jasad Sayangku, menurut Keunwoo, dikremasi pada 22
Juni pagi. Beberapa hari setelah jasad Sayangku dikremasi itu, ada banyak hujan di
Bali sini, kemudian aku melihat tanaman2, terutama bunga2 telang menjadi lebih
indah. Entah mengapa, aku merasa, ada bagian dari Sayangku yang hadir pada
keindahan ini. Seperti biasanya, aku bikin teh biru dari bunga telang dicampur
sereh dan jahe merah. Kehidupan kami terus berlangsung dalam masa pandemi ini,
diriku mengalir dari suatu maghfirah ke maghfirah lain dengan merespon sensasi2
yang kuterima melalui pendengaran dan penglihatan.
Sampailah pada hari dimana aku memutuskan memulai kehidupan
sebagai pertapa, yaitu 5 november, dan kemudian menjalani kehidupan aksetisme
sejak 6 november ini. Makan hanya sekali sehari, hanya satu jam dalam 24 jam.
Meditasi dan yoga lebih intensif, demikian pula latihan ketahanan untuk
membangun dan membentuk otot dan menguatkan tulang. Kata “aku”, seringkali aku
ganti dengan kata “kami”, mewakili dua diri, diri Sayangku, Sung-Kyun Kim dan
diriku, Anita Syafitri Arif binti Arifuddin Ali Patunru. Namun, ada kesadaran
berikutnya yang datang, bahwa kami dua namun satu, kami satu kesatuan/gabungan
dua jiwa cinta-kasih sejati nan abadi, kami adalah khalqan jadiid, makhluq baru hasil peleburan dua insan: Sung-Kyun
Kim dan Anita Syafitri Arif binti Arifuddin Ali Patunru.
Khalqan jadiid ini, kami sebut nitasung manifestasi dari
yinyang, keseimbangan feminin dan maskulin dalam satu tubuh manusia yang hidup
dengan dimensi jiwa dan ruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar