Jumat, 10 Juni 2022

MENGALAMI HIDUP SEBAGAI SEORANG MANUSIA


Kesabaran itu memang perlu dilatih. Aku memaknai “sabar” sebagai sikap persisten, terutama dalam proses belajar. Belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik, dan lebih mulia, sebagaimana fithrah Manusia sesungguhnya, yaitu fithrah Allah. Sesuai maksud dan tujuan eksistensi setiap Diri manusia di kehidupan ini. Sikap sabar-ku ini antara lain dengan membaca buku dengan sepenuh hati dan berulang kali. Dan bagi-ku, buku yang terpenting adalah Diri ini, dengan semua dimensinya.

 

Banyak orang yang memaknai “sabar” sebagai sikap “nrimo” atau mengalah, atau mendiamkan masalah, atau menghindari (penyelesaian) masalah. Ini adalah makna yang tidak benar dan bermuatan fatal bagi pertumbuhan dan perkembangan kesadaran Diri.

 

Cerita pendek yang agak panjang ini sebenarnya merupakan akumulasi dari keheranan yang bercampur dengan kegeramanku terhadap sikap seseorang. Yang kumaksud adalah dia yang menganggap diri-ku tidak sabar dalam makna yang dia anut, sebagaimana yang juga dianut oleh kebanyakan orang yang tidak mau bertumbuh dan berkembang. Aku telah memberi banyak toleransi, sayangnya, dia melewati ambang batas toleransi-ku.

 

Selain itu, karena persoalan di antara kami terlanjur masuk ke ranah publik, maka aku makin yaqin bahwa ini memang perlu jadi informasi bagi khalayak umum, minimal bagi teman2 di sekitar-ku. Mungkin dia akan menyesal. Gegara melaporkan Diri-ku kepada dan memanggil aparat Bhabinkamtibmas Desa Dharmasaba, Mengwi, Badung, Bali, dengan sendirinya kasus di antara kami jadi masalah publik.

 

Pada hari Ahad, 22 Mei 2022, masalah di antara kami mulai jadi kasus publik. Ada dua aparat, Pak Ngurah (Bhabinkamtibmas) dan Pak Made (Pecalang). Kedua aparat Desa Dharmasaba ini menangani/menengahi kasus kami. Mereka memfoto KTP kami dan mencatat data-data kami. Menurut Pak Ngurah, guna membuat Berita Acara. Aku acungkan jempol. Namun kemudian, masalah dianggap dapat diselesaikan secara kekeluargaan…




 












Ceritanya lengkapnya begini…

 

BUKU “NUJEONGWON”

 

Aku pertama kali menerbitkan buku yang aku tulis sendiri pada suatu usaha penerbitan, yaitu Penerbit Nilacakra, Anggota IKAPI (no. 023/BAI/2019). Aku memilih ini dari beberapa alternatif yang aku cari dan temukan di internet.

Dari sejarah obrol di WA (+62 878-6303-4169) dengan Arya | Penerbit Nilacakra, aku pertama kali kontak pada tanggal 24 Agustus 2021 pk. 21:34. Malam itu aku komunikasikan beberapa hal. Dan aku ingat dan catat, bahwa waktu cetak hanya sehari jika jumlahnya maksimal 20 eksemplar. Jika lebih dari 20 eksemplar sekitar 2 hari. Tepatnya, dia teks begini:

24/08/21 22.30 - Arya | Penerbit Nilacakra: Untuk cetak, jika cetaknya 1-20 eksemplar sehari saja sudah bisa jadi

24/08/21 22.30 - Arya | Penerbit Nilacakra: kalau lebih dari 20 ex sekitar 2 hari

 

Setelah komunikasi demi komunikasi, aku usul untuk ketemu. Aku mau datang ke alamat yang tercantum sebagai alamat Nilacakra Publishing House, yaitu:  Jl. Raya Darmasaba-Lukluk, Badung, Bali 80352. Namun bela-belain, dia mau datang ke rumah-ku untuk membawa contoh buku-buku yang katanya dia desain dan dia terbitkan, juga dia cetakkan. Waktu itu, dari caranya berbicara, aku pikir percetakan buku2 yang dia terbitkan adalah satu kesatuan dengan usaha penerbitannya, dan juga di Bali.

Dia datang pada 2 September 2021 sekitar pk. 5 sore. Tentu saja, dia membawa contoh buku2 yang sangat keren, nyaris tanpa cacat sama sekali, bahkan bisa dibilang sempurna!

 

Dalam proses penyelesaian tulisan buku-ku yang pertama, berjudul “Nujeongwon dan Kelestarian Ekologis ~ Pelajaran Penting dari Prof. Sung-Kyun Kim” aku menghadapi masalah dengan teman tim yang pada rencana awal, namanya akan kutempatkan sebagai penulis pertama. Aku merelakan posisi-ku sebagai penulis utama, karena beliau mau membiayai pengurusan paket ISBN dan pencetakan dalam jumlah besar. Namun kemudian, beliau memintaku mengerjakan buku lain, mengedit dan membuatnya jadi bilingual (Indonesia-Inggris), dan untuk diterbitkan juga di penerbit yang sama. Terus terang, aku jadi agak merasa tertekan. Kukatakan padanya via WA, aku perlu menyelesaikan buku Nujeongwon dulu sebelum mempelajari naskah buku-nya.

Draft naskah dan susunan buku Nujeongwon kukirim ke Penerbit Nilacakra via GoogleDrive pada tanggal 5 September 2021 pk. 13:20. Ini belum final, aku hanya mau memperlihatkan capaian-ku. Naskah final (pertama) aku kirim pada 13 September 2021 pk. 23:52 juga via GoogleDrive. Invoice untuk biaya pengurusan paket ISBN aku terima tanggal 16 September 2021, totalnya Rp 440.000,- yang aku bayar, transfer via atm BCA pada hari itu juga.

 

Aku lalu mempelajari naskah buku teman-ku yang dia mintakan untuk diedit, di-bilingual-kan, dan diterbitkan juga. Aku menemukan banyak keanehan dan kevulgaran pada naskah itu yang sebenarnya sudah mendapatkan nomor ISBN. Kudapati diriku dalam dilema besar. Sebelumnya, aku anggap teman-ku ini adalah orang yang baik, lembut, dan bisa menjaga kejujurannya, juga karena dia pernah menerbitkan bukunya dengan tema Leadership. Maka, aku tetap berupaya menolongnya. Aku merombak sama sekali daftar isi buku itu dan mulai meneliti data dan informasi terkait secara digital, terutama dengan Web-GIS. Terus terang, ini pekerjaan yang sangat berat. Lebih berat daripada membuat buku baru berdasarkan ide2-ku dan pengalaman2-ku sendiri. Aku menjalaninya selama enam setengah hari secara intensif. Bahkan aku harus membayar seorang tetangga untuk menolong aku membersihkan rumah, saking aku gak punya cukup waktu lagi. Waktu dan energi-ku tercurah pada upaya perbaikan naskah buku yang kacau balau itu.

 

Pada hari kelima, aku sudah membuatkan kerangka-nya dalam bilingual paralel, Indonesia – Inggris. Kerangka ini pun aku buat dengan memeras otak, melalui proses analisis-sintesis kondisi sungai2 di Jawa Tengah dan Jawa Timur, membaca buku Restorasi Sungai karya Agus Maryono, dan Kembali mempelajari bahan2 kuliah Prof. Sung-Kyun Kim tentang Restorasi Sungai. File PDF kerangka ini kukirimkan sebagai lampiran surel ke alamatnya dan alamat asistennya pada hari itu juga.

 

Pada hari ketujuh, terjadi sesuatu (19 September 2021). Teman-ku ini menghubungi Penerbit Nilacakra untuk meminta invoice biaya pencetakan kedua buku: buku Nujeongwon (yang pengurusan ISBN-nya sedang antri di Perpusnas), dan buku-nya yang sedang aku kerjakan. Pihak Penerbit tidak memberikan. Bagus! 

Namun, kemudian… Teman-ku ini mengatakan padaku bahwa dia tidak sreg dengan si Penerbit di Bali, dia tidak mau buku Nujeongwon dicetak oleh Penerbit Nilacakra yang sedang mengurus ISBN-nya. Dia mau, buku Nujeongwon dicetak oleh penerbit lain di Yogya. Aku melongo. Kok dia bisa bersikap begitu? Sebagai orang yang sudah pernah punya buku diterbitkan, dan juga sebagai sarjana hukum, seharusnya dia tahu apa makna angka2 pada no. ISBN itu… di situ ada kode penerbit juga. Dan yang ber-hak memperbanyak buku hanyalah pihak penerbit, atau penulis atas izin pihak penerbit.

 

Kami bersitegang, dan akhirnya aku putuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaan-ku mengedit, atau lebih tepatnya menyusun buku-nya yang berjudul Restorasi Sungai itu. Dan aku juga mengatakan bahwa beliau tidak pantas masuk dalam tim penulis buku Nujeongwon.

 

Aku mengirim pesan WA ke Penerbit Nilacakra untuk menarik permohonan pengurusan ISBN buku Nujeongwon. Aku mau merevisi susunan nama2 penulis, juga kata pengantar dan mengurangi halaman biografi penulis. Jadi, yang tadinya ada empat penulis, menjadi hanya tiga penulis. Nama-ku sebagai penulis utama, sesuai kenyataannya.

 

Sambil menunggu Komentar dan Kata Pengantar dari beberapa anggota ACLA, aku pikir lebih baik men-transfer DP biaya cetak buku Nujeongwon, yaitu pada 21 September 2021 pk. 09.14 di atm Indomaret Sembung-Meranggi. Aku kirim teks via WA sbb:

21/09/21 09.14 - Arya | Penerbit Nilacakra: Om swastyastu...

21/09/21 09.15 - Arya | Penerbit Nilacakra: Terima kasih Bu. Nanti saya kasi kuitansi ya

21/09/21 09.15 - Anita Syafitri Arif: tyang transf rp 3,500,000 (tiga setengah juta rupiah) sebagai DP utk biaya cetak dan jilid buku Nujeongwon, pak Arya..

 

Dan, karena teman yang sudah bersedia membuatkan Kata Pengantar bagi buku Nujeongwon belum juga mengirimkan tulisannya, bahkan jadi sulit dihubungi, maka aku putuskan menulis sendiri Kata Pengantar-nya. Rampung! Aku mengirim lagi seluruh file naskah dalam format PPt dan PDF ke Penerbit Nilacakra. Momen ini juga tercatat di sejarah obrol WA, sebagai berikut:

22/09/21 22.22 - Anita Syafitri Arif: pak Arya... barusan sudah terkirim 20 files (pptx dan pdf) via GoogleDrive, nggiihhh...

22/09/21 22.23 - Anita Syafitri Arif: https://drive.google.com/drive/u/1/folders/1fQqTMHtj76XByWQazCV9BvdmdWVHNb3v

22/09/21 22.23 - Anita Syafitri Arif: sudah fix semuanya, Pak Arya, mohon tindaklanjuti pengurusan ISBN-nya... suksma.


Sepekan kemudian, aku tanyakan progress pengurusan ISBN buku Nujeongwon, di sejarah obrol WA sebagai berikut:

29/09/21 12.21 - Anita Syafitri Arif: loh... katanya perlu sinkron semua file-nya...? jadi, pengajuan ISBN-nya sejak tanggal berapa, Pak Arya ?

29/09/21 12.21 - Arya | Penerbit Nilacakra: Ini ibu upload di tempat yang sama dengan yang duluan kan ya? Atau folder baru?

29/09/21 12.22 - Arya | Penerbit Nilacakra: Seminggu lalu sih Bu

29/09/21 12.22 - Anita Syafitri Arif: waktu itu aku kirim ke alamat email pak Arya... ini aku periksa lagi.

29/09/21 12.22 - Arya | Penerbit Nilacakra: ok

 

Jadi, menurut pengakuannya, pengajuan ISBN buku Nujeongwon berikutnya pada 22 September 2021.

 

Dan, karena ini pengalaman pertama-ku, aku lebih banyak manut soal waktu proses-nya… yang sebenarnya agak terlalu molor daripada yang dia katakan di awal perkenalan via WA-chat. Sambil berupaya ber-“sabar”, aku hadiah-kan 6 buku bacaan, novel2 impor milik anakku, Aisya (yang dia beli di toko buku Periplus, kemudian dia tinggalkan sewaktu pindah ke Jakarta), dan aku tidak berminat membacanya. Aku hanya menyimpan 2 buku novel yang ditinggalkan oleh Aisya, yaitu “Into the Water” karya Paula Hawkins dan “Sleeping Beauties” karya Stephen King & Owen King. Aku gak mau ada energi stagnan dalam hidup-ku. Bagiku, memiliki sebuah buku tapi tidak membaca-nya dan terus menyimpannya adalah termasuk energi stagnan. Momen ini ada sejarah obrolnya juga di WA, sebagai berikut:

05/10/21 08.48 - Anita Syafitri Arif: om swastiastu, pak Arya...

05/10/21 08.48 - Anita Syafitri Arif: sudah baca buku ini..?

05/10/21 08.49 - Anita Syafitri Arif: jika ada di antaranya yang belum dibaca dan berminat, aku akan berikan ke pak Arya.

05/10/21 08.50 - Anita Syafitri Arif: jika ada di antaranya yang belum dibaca dan diminati, aku akan berikan ke pak Arya.

05/10/21 09.09 - Arya | Penerbit Nilacakra: Saya sudah baca yang "Small Great Things" Bu

05/10/21 09.09 - Arya | Penerbit Nilacakra: 😍terima kasih. Apa boleh?

05/10/21 09.10 - Anita Syafitri Arif: boleh dong... entar jika ke sini, ambil aja nggihh...

05/10/21 09.10 - Arya | Penerbit Nilacakra: Nggih Bu, terima kasih

05/10/21 09.10 - Anita Syafitri Arif: tyang suka buku, suka baca buku... tapi tyang gak mengoleksi banyak buku... tyang biasanya memang alirkan ke teman2 atau ke perpustakaan.

05/10/21 09.11 - Anita Syafitri Arif: mewali, pak Arya.




 









Dan karena menurut Arya, dirinya sangat gemar membaca, dan juga sarjana Bahasa Inggris, aku pikir, buku2 Aisya ini akan lebih bermanfaat jika kuberikan padanya. Maksud-ku sih, biar dia juga bisa melihat qualitas buku2 itu… cetakannya, proporsi tata-letak-nya, jilid-nya dll. Dia sih kelihatan senang banget menerima buku2 itu. Dan aku mecoba membangun hubungan kolaborasi yang baik, karena aku serius untuk menjadi penulis yang produktif.

 

ISBN buku Nujeongwon terbit. Ini diinformasikan oleh Arya via WA, sebagai berikut:

09/10/21 14.12 - Arya | Penerbit Nilacakra: ISBN bukunya sudah turun. Sekarang bukunya tinggal saya cetak

 

Jadi, ada 17 hari dari pengajuan ISBN, hingga diterbitkan oleh Perpusnas. Di awal dia katakan rata2 sepekan, namun di masa pandemi mungkin dua pekan. Berikut, aku harus masih ber-sabar menanti proses cetak buku2 Nujeongwon ini.

 

Akhirnya buku pertama-ku berjudul Nujeongwon terbit pada 26 Oktober 2021, dengan dua ISBN untuk dua versi, cetak dan digital. Alhamdulillah. Hari itu aku hanya terima dua eksemplar buku (hardcover) sebagai tanda terbit. Dua hari kemudian, 28 Oktober 2021, Arya datang lagi dengan membawa buku-buku cetak pesanan-ku: 2 exp. versi hardcover dan 28 exp. Versi paperback/softcover.

Ada “Surat Perjanjian Kerjasama Penerbitan Buku” antara Anita Syafitri Arif” dengan “Penerbit Nilacakra” nomor: 012/NLC-CT/XI/2021 untuk buku “Nujeongwon”.

Aku mengapresiasi dia dan usaha penerbitannya dengan menyebutnya dalam promosi tentang buku ini di media2 sosial-ku, termasuk di akun youtube-ku.

 

BUKU “WINDING RIVER VILLAGE”

 

Pada Akhir Oktober itu, aku ingat, bahwa Sayangku Sung-Kyun Kim pernah berniat menerbitkan versi digital bukunya, “Winding River Village ~ Poetics of a Korean Landscape”. Beliau juga pernah bilang akan mencetak buku ini dengan isi warna. Aku berpikir dan merenung…

 

Buku ini dicetak oleh ACLA Publisher, Korea pada 2016. Sejak meninggalnya Sayangku, 19 Juni 2020, ACLA seolah kehilangan pemimpin. Aku hanya menyelesaikan tugas sebagai sekretaris hingga akhir tahun 2020, yaitu dengan menyusun Laporan Tahunan, 2020, dan menyampaikannya kepada para anggota ACLA. Ada pajak tahunan yang perlu dibayar ACLA sebagai organisasi nirlaba, pembayaran pajak tahunan terakhir adalah pada November 2019. Untuk tahun 2020 belum dibayar hingga Sayangku meninggal dunia. Memang tidak ada kegiatan (pertemuan simposium/lokakarya ACLA), akibat pandemi covid sejak Februari 2020. Jadi, secara organisasi, ACLA sudah tidak berfungsi. Namun demikian, semangat ACLA yang tidak lain adalah semangat pendiri-nya juga, yaitu semangat Sayangku, Sung-Kyun Kim tetap hidup dalam Diri-ku ini.

 

Aku ingin mewujudkan keinginan Sayangku: menerbitkan versi digital, dan juga mencetak isi warna buku “Winding River Village ~ Poetics of a Korean Landscape”. Aku komunikasikan hal ini kepada CEO Penerbit yang menerbitkan buku pertama-ku. Katanya, “Bisa Bu, asalkan ada pernyataan pelepasan dari penerbit sebelumnya.” Aku ceritakan situasinya, dan mengusulkan untuk membuat surat pernyataan dari tiga anggota ACLA dan melegalisir-nya. Katanya, “Bisa Bu.” Akupun mengupayakan apa yang disyaratkan Penerbit Nilacakra.

 

Maka pada November 2021, aku menyerahkan naskah digital buku WRV ini, disertai biaya paket pengurusan ISBN ganda sejumlah Rp 440.000,- termasuk pajak. Ada invoice bertanggal 29 November 2021, dan aku transfer ke rek. BCA atas nama Ida Bagus Arya Lawa Manuaba pada 3 Desember 2021. Di invoice ini, malah dikatakan akan ada e-book yang bisa diakses via GooglePlay maupun KindleAmazon. Harga ini sudah termasuk dua buku cetakan sebagai tanda terbit. Hal ini memang bagian dari kewajiban Penerbit.

 

Setelah menunggu lebih lama daripada waktu penerbitan buku pertama, akhirnya aku terima kabar ISBN terbit, pada 26 Januari 2022.

26/01/22 11.15 - Arya | Penerbit Nilacakra: Baru turun pagi ini...

 

Aku masih perlu ber-sabar untuk proses pencetakan dua buku tanda jadi yang termasuk dalam paket pengurusan ISBN. Dan wow! Butuh waktu satu bulan lebih satu hari!

 

27 Februari 2022 sore, aku menerima dua buku cetak WRV (tanda terbit) yang dikirim via Go-send, dalam keadaan di-press plastik. Padahal, paginya aku datang juga ke rumahnya yang difungsikan juga sebagai alamat Penerbit Nilacakra. Tapi, pagi itu buku belum sampai di alamat tsb.


Pada tanggal itu juga, aku ingatkan untuk mengirimkan hak-ku berupa e-book dan piagam penulis (atas nama Kim Sung-Kyun). Dia jawab, “Ya Bu” disusul “O ya, akan saya kirimkan besok” (WA chat 27/02/22 20.48). Hak ini ada tercantum dalam “Surat Perjanjian Kerjasama Penerbitan Buku” antara Anita Syafitri Arif” dengan “Penerbit Nilacakra” nomor: 314/NLC-CT/1/2021 untuk buku “Winding River Village”.


Rupanya, setelah aku buka, lepaskan plastik presan-nya, aku dapati bahwa salah satu buku agak cacat pada jilidan bagian bawah.. lembar pertama-nya tidak terjilid sepanjang 3 cm. Tentu saja kekurangan ini tidak diketahui jika presan plastik belum dibuka. Ada sejarah obrol kami tentang hal ini:

 

05/03/22 12.34 - Anita Syafitri Arif: dan satu buku contoh yang tyang telah terima tolong diperbaiki... kurang 4 halaman terakhir... dan jilidan di bagian bawah kurang ok, Pak Arya... halaman i-nya agak lepas.

05/03/22 14.26 - Arya | Penerbit Nilacakra: Maaf Bu. Kemarin saya sudah periksa buku ini ketika datang, dan kerusakan ini tidak ada. Bahkan saya sempat review di FB saya

Ibu yakin kerusakan ini bukan karena bukunya jatuh atau kena air dsb?

05/03/22 14.28 - Anita Syafitri Arif: loh... ini gak pernah jatuh.. aku sangat hati2...

05/03/22 14.29 - Anita Syafitri Arif: sebelum aku buka plastiknya.. aku pilih yang kurang oke.. karena yang oke mau aku kirim ke temanku yg di Bandung.

05/03/22 14.46 - Anita Syafitri Arif: buku2 ini diplastikin di jogja atau di bali, Pak Arya?

05/03/22 15.51 - Arya | Penerbit Nilacakra: Justru itu yang saya perlukan untuk laporan Bu. Bagian yg rusak

05/03/22 15.53 - Anita Syafitri Arif: Ini kan bisa jadi laporan..

05/03/22 15.54 - Anita Syafitri Arif: Ini juga bukti ada bagian yg perlu diperbaiki..

05/03/22 16.29 - Anita Syafitri Arif: waktu periksa itu dalam keadaan buku terbungkus plastik???

 

Pemesanan Buku Cetak “WRV” Pertama

 

Aku memesan 3 buku cetak “WRV” dengan sampul ber-sayap, aku bayar lunas 11 Maret 2022 di rumahnya, yang juga jadi alamat Penerbit Nilacakra, diterima oleh Biyang-nya.

Setelah berkali-kali aku tanyakan, maka pada 30 Maret 2022 pk. 9:30, dia kabari, buku pesanan-ku sudah tiba. Aku minta tolong diantarkan ke rumah-ku sebelum pk. 17, karena aku mau kami sekalian serah terima (mengecek kondisi buku Bersama-sama), dan juga memaraf tiap lembar surat perjanjian. Selain itu, 1 buku yang ada cacat-nya juga mau ditukar. Katanya, “Boleh Bu”. Eh, tau2nya ada pesan WA-nya lagi, dia mau kirim buku2 itu via Go-send dan minta aku yang bayar ongkir-nya. Tentu aku bales dengan “JANGAN DONG..” dan aku usul “kalo gitu, biar besok pagi aku yang ambil di rumah Nilacakra, Pak Arya.”

Akhirnya, pada  31 Maret 2022, dia, Pak Arya, yang antar ke rumah-ku, pagi sebelum pk. 9.

 

Pemesanan Buku Cetak “WRV” Kedua

 

Pada tanggal 1 Mei 2022 pk. 15:59, aku kirim pesan WA ke Arya | Nilacakra, dengan teks: “Pak Arya... aku mau pesan 3 buku cetak *Winding River Village* bisakah..?” Belia jawab: “Bisa, setelah lebaran ya”. Pada hari itu juga aku sampaikan spesifikasi yang aku pesan, yaitu: tipe *hard cover* (plus jaket buku) dan empat halaman appendix (321 sd 324) dimasukkan juga. Dia baru bisa jawab harga satuannya pada tanggal 8 Mei 2022 pk. 19.45 dengan teks: “Bu, ini harganya naik menjadi 224.000/buku”. Aku oke-kan saja. Aku transfer pembayaran sejumlah Rp 675.000,- via atm di Indomaret Bajera, pada tanggal 10 Mei 2011 pk. 09:03.


Pada tanggal 20 Mei 2022 pk. 19:23, dia, Arya | Penerbit Nilacakra kirim teks di WA  bahwa buku pesananku sudah di Bali, alias di rumahnya. Berikut sejarah obrolan kami di WA:

20/05/22 19.23 - Anita Syafitri Arif: Astungkara...

20/05/22 19.24 - Anita Syafitri Arif: Pak Arya bisa tolong antarin ke rumah tyang..?

20/05/22 20.55 - Arya | Penerbit Nilacakra: Ok.

21/05/22 06.07 - Anita Syafitri Arif: 🙏🏼

21/05/22 14.23 - Anita Syafitri Arif: Kirakira bisanya kapan, Pak Arya...?

21/05/22 14.34 - Arya | Penerbit Nilacakra: Besok pagi ya Bu Anita...

21/05/22 14.37 - Anita Syafitri Arif: Oh nggihh, Pak Arya... suksma 🙏🏼

 

Kemudian… keesokan paginya, aku tanya perkiraan waktunya, karena aku juga harus mengatur waktu-ku. Karena aku perlu mempertimbangkan segala hal, termasuk kegiatan meditasi, jemur cucian dan jalan ke warung.

22/05/22 08.08 - Anita Syafitri Arif: Om swastiastu.. selamat pagi, Pak Arya..

22/05/22 08.09 - Anita Syafitri Arif: Kirakira tiba di rumah tyang jam berapa, Pak Arya..?

22/05/22 08.28 - Arya | Penerbit Nilacakra: Pagi Bu. Jam 10 an ya

22/05/22 08.30 - Anita Syafitri Arif: 👍🏼🙏🏼

 

Menjelang pk. 10, ada teks WA darinya, dan aku bales… ada sejarah obrolnya sebagai berikut:

22/05/22 09.57 - Arya | Penerbit Nilacakra: Bu, sorean ya... ongkir gojeknya mahal sekali

22/05/22 09.57 - Arya | Penerbit Nilacakra: Saya yg antar langsung. Pagi ini sy masih kerja

22/05/22 09.59 - Anita Syafitri Arif: Memang maksudku kita perlu ketemu... serah terima dan sama2 jadi saksi kondisi buku2 itu saat kita periksa...

22/05/22 09.59 - Anita Syafitri Arif: Oke deh.

22/05/22 09.59 - Anita Syafitri Arif: Kutunggu.

22/05/22 10.24 - Arya | Penerbit Nilacakra: Ya, tapi tempatnya lumayan jauh Bu😇

22/05/22 10.25 - Arya | Penerbit Nilacakra: Gojek saja biayanya 60.000

22/05/22 10.54 - Anita Syafitri Arif: Sama kok jaraknya dari rumah ini ke rumah Pak Arya... hehehe..

22/05/22 10.55 - Arya | Penerbit Nilacakra: Ya, makanya... seperti ke Batur

 

Dia masih ber-putar2 menghindari untuk mengantar sendiri buku2 itu ke rumah-ku. Jadi aku ingatkan:

22/05/22 12.52 - Anita Syafitri Arif: Pak Arya, poin terpentingnya adalah *kita perlu ketemu... serah terima dan sama2 jadi saksi kondisi buku2 itu saat kita periksa* bisa paham kah ?

 

Dia masih berkelit, dengan mengatakan: “Saya sudah videokan bukunya kok”. Yang di video-kan memperlihatkan kondisinya hanya satu buku, dan itu gak bisa jadi jaminan tiga buku pesanan-ku tidak ada cacat-nya. Maka kami memasuki obrolan kritis:

22/05/22 13.23 - Anita Syafitri Arif: Kita fokus aja pada poin penting-nya Pak Arya.

22/05/22 13.23 - Anita Syafitri Arif: aku gak mau ambil risiko lagi seperti kejadian yang lalu.

22/05/22 14.48 - Arya | Penerbit Nilacakra: Ibu tidak ambil risiko waktu itu. Saya yang ganti lho

22/05/22 14.50 - Anita Syafitri Arif: Pak Arya... mungkin Pak Arya belum mengambil pelajaran dari buku yang aku tanyakan semalam...

22/05/22 14.52 - Anita Syafitri Arif: Anda tidak melihat bahwa risiko di pihakku waktu itu adalah dicurigai sebagai pembohong. Memang aku tidak rugi secara materi... tapi reputasi diriku sebagai orang jujur tersinggung.

22/05/22 14.52 - Arya | Penerbit Nilacakra: Yap. Kalau begitu saya kirim Gojek sore ini.

22/05/22 14.52 - Arya | Penerbit Nilacakra: Terima kasih.

22/05/22 14.52 - Anita Syafitri Arif: JANGAN !

22/05/22 14.53 - Arya | Penerbit Nilacakra: Sorry about that, Ma'am.

22/05/22 14.53 - Anita Syafitri Arif: Jika Anda tidak bisa antar sendiri ke sini, Aku yang akan datang menemui Anda besok pagi... Bisa paham ?

22/05/22 14.53 - Arya | Penerbit Nilacakra: Besok saya ada kesibukan Bu

22/05/22 14.54 - Anita Syafitri Arif: Jika demikian, nanti saja... Pokoknya KITA BEDUA HARUS KETEMU.

22/05/22 14.55 - Arya | Penerbit Nilacakra: Saya sebenarnya banyak sekali pekerjaan... dan banyak klien Bu. Dan mereka semua dikirim barangnya pakai delivery. And they understand that. Itu hal yang normal.

Ibu memang klien saya, tapi please understand that you are not the only one ya Bu.

22/05/22 14.55 - Anita Syafitri Arif: Aku tetap pada pendirian ini.

22/05/22 14.56 - Arya | Penerbit Nilacakra: Sorry, I can't afford it

22/05/22 14.56 - Anita Syafitri Arif: Mengapa Anda bersikap pengecut ?

22/05/22 14.57 - Arya | Penerbit Nilacakra: Jam setengah 4 gojek jalan ya Bu.

22/05/22 14.57 - Anita Syafitri Arif: JANGAN !!!

22/05/22 14.58 - Anita Syafitri Arif: Anda takut bertemu aku ?

 

Jantungku berdebar kencang. Sesuatu di dalam ini seolah menggerakkan diriku. Aku matikan laptop, juga matikan hape yang agak lo-bat, dan ber-siap2. Aku berpakaian seadanya seperti biasa, aku bawa tas ransel yang berisi pakaian ganti dan beberapa botol kaca isi air minum. Aku sudah mengantisipasi, jika seandainya aku agak telat pulang, dan gak ada bus lagi, aku bisa jalankaki ke rumah teman yang tinggal di Ubung, untuk menginap di sana.

 

Aku bersiap keluar rumah, pergi menjemput buku2-ku. Dan seperti biasa, pintu rumah, depan maupun belakang tetap terbuka lebar, namun pintu pagar kayu rumah-ku aku tutup rapat dan rapih, karena aku gak mau ada anjing yang masuk. Pk. 15:30 aku jalankaki ke luar rumah. Aku naik bus biasa hingga ke Terminal Pesiapan dan lanjut dengan bus TMD. Aku perhatikan jam digital di bagian atas kabin pak sopir bus. Aku turun di halte Simpang Empat Dhamasaba pk. 16:15.

Bukannya tanpa deg2an.. justru alaminya diri-ku nih, gemetar jika menghadapi ketidakadilan atau ke-sewenang2an. Api dalam diri gue ber-kobar2. Bagusnya, aku biasa meditasi, jadi bisa kendalikan diri.. Apa lagi dengan senantiasa disertai oleh Sayangku...


Jadi, turun dari bus TMD di halte itu, aku jalankaki 2.4 km (kirakira 30 menit) sambil merapal mantra cinta #nitasung... dapatnya 44 kali saat tiba di depan pintu Griya tujuanku, yaitu alamat Penerbit Nilacakra. Sebelum melangkah masuk, aku diam berdiri dan baca al-Faatihah, narik fafas Panjang, tahan sebentar, lalu menghembuskan perlahan... aku sudah tenang. Aku melangkah masuk dan ucap salam, Om swastiastu...

Aku tidak melihat orang di bale bengong sebelah kiri, jadi aku coba lihat di sebelah kanan tembok jalan masuk. Aku lihat di bale yang agak di belakang itu ada Arya dan istri-nya, aku melangkah meniti jalan setapak batu-sikat dan mengulang ucap salam, Om swastiastu…

Arya berjalan menghampiri-ku, aku juga berjalan masuk dan berhenti di pojok bale tengah. Katanya, buku2-ku barusan sudah dikirim dengan Go-send. Aku bilang, “Anda ini tidak paham Bahasa ya?” Dia ngotot juga, katanya: “Kita perlu fleksibel, pesanan klien2 lain juga aku kirim, dengan JNT untuk yang jauh atau Go-send untuk yang tidak terlalu jauh, itu pun mereka yang bayar di tempat.” Aku jawab, “Aku juga fleksibel. Aku sudah bilang, jika Pak Arya gak bisa antar ke rumahku, aku yang datang ke rumah Pak Arya ini.”

Aku memang fleksibel dalam cara dan proses jika masih dalam batas kewajaran. Namun aku tegas untuk tujuan alias niat. Tujuan-ku adalah menghindarkan fitnah atau tuduhan atas kondisi buku yang (bisa jadi) ada cacatnya, jadi perlu serah-terima. Dia dan aku harus jadi saksi kondisi buku saat dilepaskan dari press plastik-nya.

Dia bicara lagi, “Cara begini, kirim dengan kurir, normal aja kok, Bu”. Aku bales. “Aku memang gak normal. Dan jangan samakan aku dengan klien2 Anda lainnya. Aku punya visi dan misi, dan aku serius. Pokok-nya buku pesananku mesti aku terima dari Anda secara langsung.”

Dia nyahut lagi: “Sudah kok, Bu… diantar ke rumah Ibu.” Aku bilang, “Rumah-ku kosong, aku ada di sini untuk mengambil buku2-ku itu, jadi, batalkan pengiriman itu dan aku tunggu di sini, kita serah-terima buku2 itu di sini.”

Arya lalu ngomong begini: Pulang saja, Bu. Biar ada yang terima buku itu, nanti tukang Gojek-nya hubungi di hape. Aku hanya jawab: “Hape-ku mati, lagi lo-bat. Dan aku tunggu di sini. Hingga kiamat jika perlu.

Arya masih bicara dengan nada mengusir dan mimik (atau sinar mata) agak mengancam: “Bu, ini rumah-ku”. Aku bilang. “Ini Bumi, dan aku warga Bumi yang punya hak untuk berada di sini.”

Ibunda Arya menghampiri-ku, datang membawa nampan dengan dua botol plastik berisi air minum. Beliau menaruhnya di bale dekat-ku. Aku bilang, “Tyang tidak minum air dari plastik, Biyang. Terimakasih.”

Aku lalu duduk di pojok bale dengan posisi punggung tegak, dengan tas ransel tetap bergantung di punggung-ku. Aku diam dan menyimak serta mengamati segala kejadian di sekitarku. Di bale belakang itu aku lihat istri-nya membuka hape. Aku tahu, dia sedang memantau perjalanan si Gojek. Aku dengar si istri mengatakan “di Meliling”. Namun Arya, mengatakan, “Biarkan saja, Lanjut”. Dia lalu bertanya padaku, “Bu, ada tetangga-nya ‘kan?” aku menjawab singkat, “nggak ada”.

Aku memperhatikan juga suasana langit dan burung2… Ada banyak burung dalam sangkar dan kurungan, aku bisa merasakan kesedihan mereka… ada juga burung2 yang merdeka, terbang dan hinggap di atap bangunan yang difungskan sebagai MCK Griya di pojok kanan, aku dengar kicau2 mereka, aku juga dapat merasakan kebahagiaan mereka... Aku tetap memasang pendengaran-ku. Aku dengar Arya bicara dengan tukang Gojek. “rumah-nya kosong, gak ada orang”… “taruh aja kiriman itu di rumah-nya”.

Arya lalu menghampiri-ku dan mengatakan, “Aman Bu, buku2-nya sudah tiba di rumah.” Aku bilang, jika hilang atau rusak aku gak tanggung risiko ya… Anda harus ganti… yang jelas, buku2 itu belum sampai di tangan-ku… Aku tunggu di sini.”

Ibunda-nya, alias Biyang-nya nimbrung. “Kok barang kiriman sudah sampai, mau dikembalikan lagi ke sini? Ini namanya cari masalah.”

Aku diam, dan mengeluarkan gunting kuku dari laci tas ransel. Aku gunting kuku2 jari tangan-ku dan merapikan potongannya. Tak satu pun potongannya kubiarkan jatuh ke lantai atau ke Bumi. Semua potongan kuku-ku kumasukkan ke laci depan tas selempang-ku.

Langit mulai jingga… kemudian suasana mulai gelap. Arya menghampiri-ku lagi dan mengatakan bahwa pintu Griya akan ditutup. Kata beliau, jika aku gak mau pulang, silakan berada di luar Griya. Aku gak begeming. Dia lalu mengatakan bahwa dia akan lapor dan panggil polisi jika aku gak mau keluar. Aku menjawab santai. “Silakan”.

Dia pun menelpon ke aparat Bhabinkamtibmas, aku dengarin... "… Pak, ini ada orang asing di griya kami, sudah dari tadi, dan tidak mau pulang, tidak mau keluar..." Aku nimbrung, bilang “Jika mau datang, ingatin bawa borgol ya.”

 

Suasana mulai remang-remang. Aku mulai pegal, jadi aku berdiri dan ber-olahraga, merilekskan otot2 dan persendian2-ku. Seseorang lelaki, mungkin adik Arya, keluar dari arah bangunan MCK, berjalan melintasi taman tengah di hadapanku. Dia berhenti tepat di hadapan-ku dan berkata: “Bu, kenapa tetap di sini, ini sudah mau malam, ini jadi gak enak, bukan hanya Pak Arya yang tinggal di sini, banyak orang, Bu.” Aku hanya menatap matanya tanpa kedip dan tanpa berucap, kecuali: “Aku punya hak di sini.” Dia masih bicara, “Hak apa? Kan besok bisa datang lagi..” Aku lalu mencueki-nya.

 

Beberapa saat kemudian, Arya juga mengatakan padaku, “Lebih baik, keluar saja sekarang, sebelum petugas keamanan datang, Bu.” Aku diam aja, kembali duduk di pojok bale tengah dengan punggung tegak dan memandang ke langit sambil meng-ayun2-kan kedua tungkai-ku.

 

Beberapa menit berikutnya, muncullah dua orang aparat keamanan. Mereka berjalan menghampiri kami di bale tengah. Aku beri salam, “Om swastiastu, Pak”, sambil menatap wajah mereka bergantian. Aku tanya nama mereka. Pak Ngurah dari Bhabinkamtibmas, dan Pak Made, Pecalang Desa. Lalu aku diam. Yang banyak bicara si Arya...

Kemudian, Pak Ngurah bertanya padaku, Ibu kenapa ada di sini? Aku bilang, “Untuk mengambil hak-ku, Pak.”

Pak Bhabin tanya lagi, “Hak apa itu Bu?” Aku jawab, “Ada tiga sih, Pak.. pertama, buku2 cetak pesanan tyang.. kedua dan ketiga, eBook dan piagam penulis yang seharusnya aku terima beberapa bulan lalu.”

Si Arya angkat bicara, “Pak, buku2nya sudah tyang kirim pake Gojek.. sudah sampai di rumah ibu ini..”

Pak Bhabin hadap aku lagi, "katanya, bukunya sudah diberikan, Bu.." Aku bilang, “Mana? belum sampai di tangan tyang, Pak... mana buktinya dia telah berikan buku2 itu pada tyang..?”

Si Arya tunjukin foto yang dikirim kurir Go-send di hape-nya kepada Pak Bhabin. Aku juga lihat, tas isi buku itu ada di dalam rumah-ku... Maka aku juga angkat bicara, “Nah, itu! Siapa yang masuk ke rumah tyang tanpa izin? Ini pelanggaran hukum pidana. Ada pasalnya di KUHP.”

Aku melihat ekspresisi Arya, agak tersentak, dan dia bilang, “Tadi aku hanya bilang ke tukang Gojek-nya, taruh depan pintu, Pak.”

Aku lanjut, “Begini aja, Pak Ngurah… biar jelas duduk perkaranya, lebih baik bapak baca History Chat kami di hape Pak Arya ini”... di situ jelas... bagaimana dia janji mau datang antar buku, tapi dia ulur2 terus.. ini bikin kacau aturan waktu-ku, Pak.. tyang juga sibuk.. jika sedang meditasi, gak mau ada gangguan.. jadi tadi pagi tyang tunda, jadwal tyang jadi kacau.. karena menunggu Pak Arya datang... trus gak bisa, tunda lagi.. gak bisa lagi.. lalu dia usul mau kirim pake Go-send, aku bilang JANGAN!”

Pak Bhabin maupun Pak Pecalang terlihat lebih serius mendengarkan. Aku lanjut, “Poin penting-nya, kami harus ketemu, agar sama2 jadi saksi kondisi buku pesanan-ku, Pak”. Mereka manggut2. Aku lanjut lagi, “Harus dengan serah terima secara langsung. Jika Pak Arya gak bisa datang ke rumah tyang... Tyang yang datang ke rumah Pak Arya..”

Pak Bhabinsa-nya jadi paham... Dia lalu usulkan agar Pak Arya antar aku pulang, agar kami bisa serah terima buku itu di rumah tyang...

Aku langsung mengapresiasi sikap dan usulan Pak Bhabin, “Nah! Pak Ngurah ini cerdas! Jernih cara berpikir-nya”, aku sambil angkat jempol-ku pada-nya.

Ibunda si Arya ikut nimbrung, "Gak boleh. Tyang gak bolehin anak tyang pergi berdua saja dengan perempuan ini."

Pak Bhabin meminta KTP-ku untuk dia foto. Beliau juga mencatat data2-ku di hape-nya. Hal yang sama dia lakukan terhadap Arya. Aku bertanya, “Foto2 KTP dan data2 kami untuk apa, Pak Ngurah? Untuk bikin Berita Acara kah?” Jawabnya, “Ngiih, Bu.” Aku beri jempol lagi sambil berucap, “Bagus, Pak!”

Pak Bhabin beri usul lain, “Bagaimana jika Pak Arya sendiri yang ambil buku itu, Bu Anita menunggu di sini, dan serah terima buku2 itu di sini?” Aku beri semangat lagi, “Wah! Pak Ngurah ini memang pemimpin yang bijak.”

Pak Made beri usul juga, “Atau, bisa juga tukang Gojek yang tadi antar, diminta untuk ambil buku itu dan membawa Kembali ke sini.” Aku juga mengapresiasi Pak Pecalang dengan mengatakan, “Nah, itu solusi bagus juga, Pak Made.” Dalam hati, aku tertawa ngakak! Rasain Lu! Gue bilang juga apa tadi... sekarang rugi Lu jadi dobel!

Akhirnya, Arya menghubungi tukang Gojek yang tadi.

Pak Ngurah minta kami berempat difoto. Ajik Arya yang foto kami dengan hape Pak Bhabin. Setelah kami berempat di foto, aku bilang ke Pak Bhabin, “Pak Ngurah, boleh bagi foto-nya nanti via WA? Boleh bagi no. WA bapak?” Beliau memberikan no. HP/WA-nya, +62 812-4607-6011 berupa catatan di secarik kertas yang aku keluarkan dari tas selempang-ku.

Pak Made lalu mengatakan padaku, “Tunggu saja bu di sini.. buku2-nya sedang diambil. Nanti serah-terima-nya di sini.” Aku bales, sekalian menghaturkan terimakasih-ku kepada kedua aparat keamanan tsb, “Matur suksma untuk waktu-nya nggih, Pak Ngurah dan Pak Made.” Mereka pun pulang.

Sambil menunggu buku2 pesanan-ku, aku tetap duduk pada tempat yang sama dengan posisi yang sama. Arya juga duduk di bale itu kira-kira dua meter dari-ku.

Arya bertanya, “Bu, kenapa memilih hidup sendiri?” Tanpa menoleh, aku jawab, “Jawabannya ada dalam buku yang semalam aku tanyakan, dan kata Anda, sudah Anda baca selama satu semester.” Masih ada beberapa pertanyaannya. Ada juga yang saat aku jawab, aku melihat di ujung mataku dia sedang main hape dan bergumam baca berita. Aku lalu katakan, “Anda ini bertanya, tapi saat aku menjawab, Anda malah memperhatikan yang lain, benar2 tidak etis!”

Dia lalu mengatakan bahwa dia gak mau lagi ada hubungan Kerjasama denganku. Dia akan membuatkan surat pernyataan berakhirnya kedua surat perjanjian kami. Aku protes. “Gak bisa begitu. Aku yang rugi jika harus urus ISBN lagi. Kedua surat perjanjian itu berlaku lima tahun. Kita sama-sama sudah tanda-tangan di atas materai dan juga ada paraf di setiap halamannya.”

Dia lanjutkan, “Tapi saya tidak mau lagi mencetakkan buku2 ibu. Silakan cari percetakan sendiri. Nanti saya kirimkan file buku2-nya yang siap untuk dicetak.”

Aku tegaskan, “Benar nih? Boleh aku cetak sendiri di percetakan lain?” Dia bilang, “Nggih, silakan, Bu.” Aku masih kurang yakin karena dia tipe orang yang suka lupa atau tidak sesuai dengan perkataannya. “Siapa nih saksinya bahwa Anda mengatakan hal ini..? Tolong tegaskan secara tertulis di WA ya.” Katanya, “Ya, saya akan kirimkan file2-nya, Bu.” Aku ingatkan juga dua hutangnya: eBook WRV dan Piagam Penulis yang seharusnya aku terima pada 28 Februari 2022. Sejak kenal dia, ku-hitung2 dia ini banyak ingkar... mungkin dari setiap 10 perkataannya, ada 6 yang tidak benar, dia pungkiri atau dia ingkari.

 

Akhirnya, buku2-ku tiba diantar tukang Gojek. Kami lalu pindah ke bale yang di kiri karena cahaya lampunya lebih terang. Aku membuka satu per satu presan plastik masing2 buku dengan sangat hati-hati menggunakan alat perapih kuku. Pandangan Arya tetap pada hape-nya, kemudian ngobrol di hape-nya. Kelihatannya dia gak mau lihat apa yang sedang aku kerjakan.

Dari ketiga buku itu ada satu yang jilidannya kurang sempurnya, terlihat ada sedikit celah di bagian bawahnya. Aku perlihatkan padanya, namun segera aku susul dengan perkataan, “Tapi, gakpapa. Yang penting Anda tahu dan menyaksikan bahwa kondisi ini begini dari sono-nya.”

 

Aku baru tinggalkan tempat itu pk. 21:30. Berjalankaki, aku kembali ke jalan raya provinsi, jalur bus TMD. Dan sudah pasti bus publik ini gak lewat lagi, sudah terlalu malam.

Aku berjalankaki dari griya itu ke simpang empat, jalan raya provinsi... tidak ada rasa takut sama sekali... yang ada hanya rasa lelah, lapar dan ngantuk jadi satu... Hahaha. Pukul 22 aku hidupkan hape untuk mengirim pesan WA pada temanku yang tinggal di Ubung, aku juga coba menghubungi dengan WA call. Sepertinya sudah tidur. Lama juga aku berdiri di pinggir jalan menunggu kendaraan yang bersedia kutumpangi. Aku coba mencegat truk, mobil pikup dan bus. 

Akhirnya ada mobil van yang mau berhenti. Hanya ada sopir di dalam. Aku bilang, “Pak aku numpang sampai Desa Megati ya, aku punya uang tapi hanya 25 ribu. Boleh?” Katanya, “Silakan masuk, Bu.” Aku buka pintu mobil di kabin tengah. Aku duduk di belakangnya. Rupanya, si sopir ini tadi pagi mengantar tamu dari Banyuwangi ke Benoa, Denpasar Selatan. Dan, saat aku cegat, dalam perjalanan pulang ke Banyuwangi. Alhamdulillah solusi yang keren. Terimakasih, Semesta.

 

Aku tiba di rumah pk. 23:27. Pintu pagar tidak tertutup dengan benar, ada bukaan yang bisa dilalui anjing, tapi kedua daun pintu depan tertutup rapat bahkan terkunci dengan anak kunci tetap di lubang kunci. Ini pasti ulah si tukang Gojek.

Kusempatkan memasak untuk makan malam alias #vegan #onemealaday ... eh, waktu sudah lewat tengah malam, artinya di tgl 23 Mei 2022 pk. 01:15 aku baru siap mulai meditasi (hanya 30 mnt) sebelum menyantap hidangan yang sangat sederhana.

 

Dua hari eh satu setengah hari kemudian, aku hubungi Arya via WA, ada sejarah obrolnya sebagai berikut:

24/05/22 11.38 - Anita Syafitri Arif: Om swastiastu, Pak Arya.. selamat siang.

24/05/22 11.40 - Anita Syafitri Arif: Sebagaimana yang Anda katakana pada Ahad 22 Mei 2022 di Griya/rumah Anda, maka aku sekarang meminta tindak lanjut perkataan Anda itu.

Anda katakan bahwa Anda mengizinkan aku untuk mencetak sendiri buku2-ku yang telah diterbitkan oleh Penerbit Nilacakra.. bahwa Anda akan mengirimkan aku file kedua buku tsb yang formatnya siap untuk dicetak.

Aku tunggu ya.

24/05/22 13.04 - Arya | Penerbit Nilacakra: Saya download di alam semesta dulu ya Bu

24/05/22 13.09 - Arya | Penerbit Nilacakra: File-nya cukup besar dan perlu beberapa lama untuk mengunduh dari semesta

24/05/22 13.11 - Anita Syafitri Arif: Kok bisa dikirim ke percetakan di Yogya?

24/05/22 13.12 - Anita Syafitri Arif: Anda mau berkelit lagi ya.. mau ingkar janji lagi ya, Pak Arya???

24/05/22 13.13 - Arya | Penerbit Nilacakra: Saya lagi sibuk minggu ini Bu

24/05/22 13.14 - Arya | Penerbit Nilacakra: kan saya sudah bilang kemarin. Kalau hari minggu kemarin nggak dikirim bukunya, saya nggak bakalan sempat lagi minggu ini

24/05/22 13.14 - Anita Syafitri Arif: Oke.. minggu depan aja.

 

Aku lalu mengalihkan perhatianku dari hape. Dan, baru sempat buka WA lagi saat jeda dari membaca e-book di laptop, aku lihat ada WA dari Arya. Rupanya dia masih mau mengeluh… dia lanjutin di WA:

24/05/22 13.15 - Arya | Penerbit Nilacakra: Makanya kemarin saya kirim bukunya biar cepat.

24/05/22 13.17 - Arya | Penerbit Nilacakra: So you see... that was my position.

Saya harus melayani banyak sekali klien... di samping keterlambatan skala nasional yang terjadi pada perpusnas dan saya harus memperbaiki banyak sistem di penerbit agar sesuai standar terbaru Perpusnas.... a lot of things to do, Bu Anita.

So, it's not just about you

24/05/22 13.24 - Arya | Penerbit Nilacakra: And I was so disappointed with your immature attitude in my *own* house. That means you brought personal problems to my old parents and in-laws. That was really impolite and rude. I was irked by that.

Thank you very much for that.

 

Aku membalasnya sebagai berikut:

24/05/22 14.11 - Anita Syafitri Arif: Anda melihat Diri Anda yg sebenarnya... aku memang sedang memberi pelajaran bagi Anda.

Semoga bisa ambil pelajarannya... jika belum juga, mungkin perlu gue hajar lagi...?

 

Aku kembali ke laptop, melanjutkan bacaanku… Ketika jeda pada pk 16.50, aku lihat ada pesan WA dari dia lagi… Wow! Ada 9 pesan! 

24/05/22 14.14 - Arya | Penerbit Nilacakra: Arrogant person

24/05/22 14.15 - Arya | Penerbit Nilacakra: Mungkin karena Bu Anita hidup sendiri terlalu lama.

24/05/22 14.15 - Arya | Penerbit Nilacakra: We are done here.

24/05/22 14.16 - Arya | Penerbit Nilacakra: Tidak heran, makanya orang tidak suka bekerja bersama Bu Anita...

24/05/22 14.16 - Arya | Penerbit Nilacakra: Untuk file bukunya, mungkin tunggu Semesta saja.

24/05/22 14.18 - Arya | Penerbit Nilacakra: Choose another publisher next time.

24/05/22 14.19 - Arya | Penerbit Nilacakra: and... one more thing. If you want a perfect publisher and printer, why don't you live in Korea

24/05/22 14.28 - Arya | Penerbit Nilacakra: Ini tadi ada yang cetak buku lagi, dan saya kirim via JNT...

Biasa saja kok. Pakai plastik lagi....

Dia nerima di rumahnya, dengan senang hati. Tidak perlu lebay serah-terima... so complicated hehe

Karena kita ngerti sama-sama sibuk, jadi cukup delivery. Nah, itu namanya saling pengertian.

Mungkin Bu Anita perlu belajar itu... dan mungkin perlu bikin mobile banking hehe

24/05/22 14.29 - Arya | Penerbit Nilacakra: Kalau ibu mau sistem yang kayak di Korea, tinggal aja di Korea Bu. Jangan di Indo

 

Aku hanya bales dengan mengirim gambar berisi pasal KUHP yang telah dia langgar pada hari Ahad itu, sebagai berikut:

24/05/22 16.55 - Anita Syafitri Arif: <Media tidak disertakan>



 




Dan, aku lalu mengubah setelan komunikasi dengan mode terbang, aku siap2 beraksi di dapur, menyiapkan makan malam alias hidangan buka puasa kami #NitaSung. Malam, setelah makan, aku buka hape dan lihat ada 4 pesan lagi dari Arya:

24/05/22 17.02 - Arya | Penerbit Nilacakra: <Media tidak disertakan>

24/05/22 19.08 - Arya | Penerbit Nilacakra: <Media tidak disertakan>

24/05/22 19.11 - Arya | Penerbit Nilacakra: <Media tidak disertakan>

24/05/22 19.12 - Arya | Penerbit Nilacakra: Rusak, tinggal WA

 

Kasihan dia ini… Banyak baca buku tapi gak bisa baca Diri... Namun, karena dia sudah menjadi bagian dari sejarah perjalanan diriku sebagai penulis, aku tetap mendoakan dia, agar menjadi manusia yang lebih sadar, lebih mulia… Selanjutnya biarlah Semesta yang mengatur keadilan-Nya.

 

Oleh: Anita Syafitri Arif

Jumat. 10 Juni 2022 / 10 Dzulqaidah 1443 / 12 Mei 2022 (kalender lunar Cina/Korea) = hari Jia Wu, bulan Bing Wu, tahun Ren Yin (harimau).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar