![]() |
Portable Architecture Solusi Antara Peremajaan Kampung by Prof. Triatno Yudo Harjoko |
Dari hasil mengamati pola bermukim, membahas dan mencari solusi bagi masalah-masalah perumahan dan permukiman, khususnya bagi MBR di kawasan perkotaan (bersama teman-teman pemerhati dan pemeduli permukiman), dan membaca berbagai referensi, saya coba menuliskan masalah permukiman yang paling menyolok, khususnya di Jakarta, Daerah Khusus Ibukota.
Fakta :
1) Lebih dari setengah populasi dunia berada di kawasan perkotaan. (UN Habitat).
2) Jumlah pekerja (sektor) informal lebih banyak daripada pekerja (sektor) formal. Hanya 27% dari jumlah angkatan kerja di Indonesia termasuk dalam pekerja (sektor) formal, selebihnya adalah informal, kerja musiman (setengah menganggur) atau masih menganggur. (Asean Secretariat)
3) Kepala keluarga atau anggota keluarga yang mencari nafkah bagi keluarga (terutama dari golongan menengah ke bawah, namun juga golongan menengah ke atas juga ada, misalnya tenaga ahli atau ekspatriat) banyak yang memilih tinggal dekat tempat kerja daripada tinggal dengan keluarga yang membutuhkan kondisi fasilitas sosial yang lebih mapan, misalnya sekolah bagi anak-anak, organisasi kewanitaan bagi ibu-ibu.
4) Banyak mahasiswa yang berasal dari daerah memerlukan tempat tinggal. Beberapa universitas atau perguruan tinggi menyedikan asrama dalam jumlah yang sangat terbatas.
Mengapa orang menyewa tempat tinggal ?
Bagi banyak orang, keputusan menyewa rumah merupakan pilihan yang tepat. Bukan karena mereka tak mampu membeli rumah, namun :
1) Sewa membuat orang mudah bergerak dan berpindah saat pekerjaan lebih baik menanti di tempat lain, tanpa terikat dengan pembanyaran perumahan yang tetap.
2) Sewa memberikan fleksibilitas pengelolaan anggaran rumah tangga, dengan pindah ke perumahan yang murah saat keadaan sulit dan baik saat pendapatan meningkat, atau kebebasan menyisihkan pendapatan bagi hal-hal yang lebih penting, (makanan, pendidikan, layanan kesehatan, atau kondisi darurat)
3) Sewa mengakomodasi masyarakat yang berada pada masa transisi, saat mereka tak siap untuk menetap di satu tempat.
4) Sewa mengakomodasi masyarakat yang tak ingin menjalani ikatan keuangan jangka panjang yang menyertai pembelian rumah, atau menghadapi jangka panjang untuk perbaikan dan pemeliharaan rumah sendiri.
5) Sewa memungkinkan masyarakat mengirimkan pendapatan ke tempat asal mereka atau keluarga mereka, atau berinvestasi membeli lahan atau membangun rumah di desa.
Statistik perumahan atau hunian sewa perkotaan tidaklah mudah diperoleh. Pola perumahan sewa cenderung lebih tinggi di perkotaan dibandingkan di pedesaan, dan juga bisa jauh berbeda antar kota di negara yang sama. Misalnya, proporsi nasional penyewa di India hanya 11%, namun di Kota Bangalore 55%. Jerman 60%, namun Kota Berlin 89%. AS 34%, namun Kota New York 55%. Mesir 22%, namun Kota Cairo 63%. (data dari UN-Habitat & UN-ESCAP). Data untuk Indonesia dan Kota DKI Jakarta...?
Dari Bu Nani (Forkim): Menurut Statistik Perumahan dan Permukiman tahun 2007, presentase Rumah Tangga dengan status kontrak di seluruh Indonesia 4,06%, status sewa 4,24%, bebas sewa (numpang) 1,92%. Sedangkan untuk DKI Jakarta Rumah Tangga dengan status kontrak 15,10%, sewa 20,61%, bebas sewa 2,67%. Jumlah Rumah Tangga dengan status Milik sendiri cukup tinggi, Seluruh Indonesia 78,22%, tapi di DKI Jakarta hanya 45,80%.
Kalau mengamati secara langsung (pengalaman bertinggal di beberapa kota) pola perumahan sewa ataupun kamar sewa (kos-kosan) di empat kota (Makassar, Cirebon, Bandung, dan Jakarta), urutan tingkat prosentase tertinggi sampai terendah adalah : Jakarta, Bandung, Makassar kemudian Cirebon). Sepertinya fenomena ini berkaitan erat dengan dinamika aktifitas populasinya terutama dalam mencari nafkah (bekerja) dan mencari ilmu (belajar).
Hunian Sewa : Formal, Swadaya, Squatter yang Diorganisir
Di bidang perumahan formal ada rusunawa (rumah susun sederhana sewa) dan apartemen sewa, atau kompleks perumahan yang disediakan oleh perusahaan/instansi formal dengan potongan gaji, yang mana lebih mudah terhitung dan terukur.
Namun di bidang perumahan swadaya agak sulit, dan diwarnai dengan squatter. Ada kelompok rumah petakan yang diusahakan/dikelola oleh Pak Haji atau tuan tanah di area kampung kota, ada kamar-kamar yag disewakan di rumah penduduk, biasanya di lantai dua, dan/atau di lantai tiga. Disewakan dari 250rb sd 1,2 juta, bergantung kondisi, fasilitasnya dan kestrategisan lokasinya.
Dalam suatu perjalan dengan bis-kota dari rumah ke suatu pertemuan di Ged. Dinas Perumahan DKI, saya menemukan kasus permukiman yang cukup kompleks masalahnya. Biasa… aku coba membuka percakapan dengan Sang Supir ketika kondisi lalu lintas agak tersendat karena macet.
Di Pancoran di belakang Kompleks AURI, di lahan sengketa antara PT. Pertamina dan PT. Intirub, terbentuk suatu komunitas (ada ketua RT) yang semuanya adalah penyewa dari kamar-kamar gedung tua yang tidak difungsikan lagi sebagai kantor, disewakan oleh pengelola dari MahMil dan organisasi Pemuda Pancasila. Tarif 400rb/bulan dengan luas kamar 3mx3m. Rata-rata mereka adalah pekerja informal seperti supir dan kenek bus kota, pengusaha warung tenda, petugas SPBU, mereka patungan 3 atau 4 orang sekamar, ada fasilitas listrik dan kamar mandi bersama. Di sekitar gedung tua itu ada juga lapak2 pemulung yang disewakan, dan ada juga gelandangan yang tidak mampu membayar sewa kamar, maupun sewa lapak. Informasi ini diperoleh pada 4 Februari 2010 dari Bp. Wandi, pekerjaan: supir bus metromini 640 (Ps. Minggu – Tanah Abang). Tinggal di lahan sengketa itu sejak 2001, keluarganya tinggal di kampung (Kudus, Jawa Tengah). Beliau memberi no. Hp dan mengundang untuk melihat langsung kondisi permukiman itu. Ohya, si Bapak Supir ini sempat nyeletuk, “kelihatannya, untuk jaminan tempat tinggal lebih baik di negara2 komunis yaa… Lebih adil. Lahan milik Negara dimanfaatkan benar2 untuk kepentingan rakyat banyak…Katanya saja komunis itu tidak beragama, padahal di sana banyak juga tempat peribadatan…” Saya sempat tertegun mendengar perkataan Bapak Supir ini dan membatin, “Ehh… si Bapak ini punya wawasan dan pemikiran yang lumayan juga yaa…”
Seorang teman di forum ini adalah lulusan Arsitektur ITB dan juga Melbourne University di bidang keilmuan Urban Planning. Beliau begitu peduli dengan permasalah squatter, sebagaimana ditunjukkan dengan desertasi doktoralnya : Community Struggles for Land in Jakarta. Penekanan dalam thesis ini adalah "security of tenure", yang maknanya kira2 ‘keamanan hak bermukim’, belum ada definisi yang pas dalam bahasa Indonesia.
Lana Winayanti adalah salah seorang pemerhati dan pemeduli permukiman perkotaan yang tergabung dalam Forkim. Saya menemukan salah satu tulisannya di media intern Kemenpera, yaitu opini dalam newsletter Perumahan Swadaya edisi Januari-Februari 2008, dengan judul Konsep Housing Career. Beliau mengizinkan saya menuliskan kembali, dan menshare ke siapa saja yang peduli masalah permukiman. Inilah oleh2 nya:
Housing Career merupakan perkembangan perumahan yang dialami seseorang sepanjang hidupnya.
Misalnya, seseorang yang berasal dari keluarga menengah, biasanya tinggal di rumah keluarganya hingga lulus SMU. Tahapan pertama dalam karir rumah dimulai ketika si anak mulai kuliah di kota lain, di mana ia tinggal di asrama mahasiswa atau kost. Tahap kedua dialami setelah lulus dan bekerja sebagai karyawan. Sang anak bisa tinggal kembali dengan orangtuanya (‘menumpang’), atau sewa kamar dekat lokasi kerjanya. Tahap ketiga terjadi setelah berumahtangga. Pada tahapan ini, pasangan muda bisa memilih tinggal di rumah mertua atau ngontrak kamar/rumah kecil tidak jauh dari lokasi kerja. Tahapan keempat terjadi setelah pasangan itu memiliki anak dan lebih mapan ekonominya. Pada tahap ini, keluarga muda sudah mampu mencicil sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Demkian seterusnya sejalan dengan perkembangan karir, kemampuan ekonomi, aspirasi dan pertumbuhan keluarga, sebuah keluarga bisa menjual rumah yang telah selesai dicicil itu dan membeli sebuah rumah yang lebih besar (bisa juga apartemen ya, Bu Lana?) dan lebih dekat di kota atau lokasi kerja. Pada saat anak2 sudah besar, sudah bekerja, dan suami-istri sudah pension, mereka dapat menjual rumah yang besar (atau mengelihkan kepemilikan apartemennya) untuk mencari dan membeli rumah yang lebih kecil di lokasi yang lebih tenang di pinggiran kota.
Demikian pula seorang pendatang (migrant) yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah akan mengalami housing career yang berbeda. Seorang supir taksi sebutlah Jefri, berbagi pengalaman mengenai perjalanan karir rumahnya sebagai berikut :
Jefri pertama kali menginjakkan kakinya di Jakarta thn 1984 selepas SMU. Awalnya dia tinggal di rumah pamannya di Bojong. Ia berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai pesuruh di sebuah kantor di kawasan Thamrin. Karena terlalu jauh, Jefri mencari kamar sewa di Kampung Kemanggisan. Di kantor tersebut, Jefri berteman dengan para supir. Di hari libur ia mencoba belajar menyetir, dan akhirnya berhasil mendapat SIM. Lewat para supir ia mendapat nfo bahwa istri salah satu direktur mencari supir. Akhirnya Jefri melamar dan diterima. Tahap berikutnya dalam housing career-nya adalah tinggal di rumah majikannya.
Selama bertahun-tahun tinggal di rumah majikan itusampai akhirnya ia menikah di tahun 1990. Karena istrinya juga bekerja sebagai pramuniaga di sebuah pertokoan di daerah Slipi, maka Jefri mencoba melamar sebagai supir di perusahaan lamanya dan diterima. Tahap ketiga dalam housing career Jefri (dan istrinya) adalah menyewa rumah petak di Kampung Kemanggisan. Dengan bertambahnya anggota keluarga, mereka menyewa rumah petak yang lebih besar. Tahun 2000 Jefri diterima kerja di sebuah perusahaan taksi yang cukup besar. Jefri masih menyewa rumah petak. Sejalan dengan kebutuhan pendidikan anak, rejeki yang mereka kumpulkan juga meningkat, selain sebagai pramuniaga, istrinya juga berdagang kecil-kecilan. Mulanya hanya berdagang barang-barang yang dititipkan oleh teman Jefri yang berdagang pakaian wanita di Tanah Abang, namun kemudian berkembang dengan bekerjasama dengan tetangganya untuk membuka warung di rumah kontrakan mereka dan menjaga warung tersebut secara bergantian.
Dari beberpa pekerjaan yang mereka geluti sehari-hari, tabungan pun meningkat. Jefri yang masih nyupir taksi 4 hari dalam seminggu, juga masih melayani panggilan bekas bosnya yrng mempercayainya untuk mengantar surat-surat penting atau menjadi supir cadangan untuk kebutuhan rumah tangga tsb. Bonus-bonus ini ditabung juga secara tekun, tanpa mengorbankan kebutuhan anak yang sekarang sdh menginjak kelas 3 SD. Harapan memiliki rumah sendiri akhirnya tiba juga. Dengan memberanikan diri, Jefri mengumpulkan tabungan mereka berdua untuk uang muka pemilikan sebuah rumah sederhana di Bekasi. Jefri mengakhiri ceritanya bahwa perusahaan tempatnya bekerja telah membantunya untuk perumahan karyawan. Gaji Jefri sudah dipotong sebesar 20% setiap bulan untuk cicilan rumahnya.
Implikasi Konsep Housing Career dalam Kebijakan dan Pengembangan Perumahan
Dari kisah di atas, ada beberapa faktor yang mempengaruhi housing career seseorang, antara lain :
1. Pilihan bentuk tenure yang diinginkan (sewa, milik, stratatitle); Bentuk rumah tangga (pasangan suami-istri, keluarga kecil, keluarga besar), harapan masa depan;
2. Perubahan gaya hidup dari bujangan, menikah, keluarga kecil, dan kepada keluarga lengkap yang mempengaruhi kemauan seseorang untuk melangkah lebih jauh dalam housing career-nya.
3. Pasar perumahan yang tersedia (harga rumah, harga sewa kamar/rumah, ketersediaan stok hunian, transportasi dari hunian ke tempat kerja);
4. Pengaruh ekonomi (gaji/upah dan penghasilan tambahan);
5. Pola menabung dan berinvestasi;
6. Ketersediaan bantuan teknis/keuangan dalam perumahan (misalnya tabungan/kredit perumahan karyawan yang disediakan perusahaan).
Kajian mengenai housing career banyak dilakukan di Eropah dan Australia, yang hasilnya digunakan sebagai masukan dalam menentukan kebijakan dan program dukungan perumahan bagi masyarakat.
Bagaimana dengan kota-kota besar di Indonesia ?
Ditulis dan dikirim ke milis Forkim : Awal Maret 2010
Dipublish di fb : Akhir Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar