Senin, 03 Februari 2025

DURI MAWAR MERAH

Senin sore, 27 Januari 2025, Aisya menangis setelah mendengar musik dari hape yang disambung ke ‘speaker’ tanpa kabel. Sudah biasa sih, dia menangis atau tertawa sendiri saat menikmati musik secara intens. Tapi, kali ini, dia menangis sambil menyebut-nyebut “Nenek”… Aku tanya, “Nenek kenapa, Sya..?” Dia tidak menjawab, seperti biasa. Aku tanya ke adikku, katanya, Nenek baik-baik saja.

Tidak lama kemudian, sekitar saat magrib, Aisya berlari keluar rumah, lewat pintu pagar yang dia buka secara serampangan, menuju jalan desa. Aku tidak mengejarnya, namun berjaga-jaga dengan memasang pendengaran. Ada bunyi anjing-anjing menggonggong, seperti biasa, tapi Aisya tidak pernah takut pada anjing, dan anjing2 tidak berani menyerangnya. Sebaliknya, anjing2 biasanya bisa langsung berteman dengan Aisya.

Aku duduk di kursi putar depan meja yang menghadap jendela dengan pemandangan pekarangan depan dan pagar bambu bikinanku sendiri. Tiba-tiba aku dengar ada suara teriakan, itu mirip suara Aisya, ada teriakan lagi, dan aku yakin itu dari Aisya.

Aku bergegas keluar, dan berpapasan dengan tetangga kami, seorang bapak, pensiunan polisi, pemilik warung di seberang kantor camat. Beliau mengatakan, “Bu, anaknya tuh…” Aku langsung bisa melihat Aisya sedang terbaring di trotoar depan warung milik Pak (pensiunan) Polisi. Aisya menangis seperti anak kecil, aku mendekatinya, langsung memungut hape yang tergeletak di sampingnya, sambil menegurnya, “Aisya…” Dia melihatku, duduk, dan langsung merampas hapenya dari tanganku. Si Bapak (pensiunan) Polisi, bicara pada Aisya, “Pulang, Nak… Tidak baik menangis di sini.” Aisya bangkit berdiri, dan berjalan setengah berlari ke arah rumah kami. Aku mengikuti tanpa terburu-buru, namun tetap mengawasinya. Ternyata dia tidak masuk ke pekarangan kami, tapi terus ke pekarangan tetangga sebelah. Di situ jarang ada orang, penghuninya adalah empat orang pekerja konstruksi yang biasanya pulang agak malam.

Aku masuk ke rumah, dan kembali duduk di kursi putar tadi, mengawasi pemandangan pintu pagar yang kubiarkan terbuka, sambil membaca mantra-mantra Cinta, Al-Faatihah, dan 3-Qul.

Beberapa saat berselang, aku melihat Aisya masuk melalui pagar, dia masuk rumah, langsung ke kamarnya. Aku tetap di posisiku, tetap merapal mantra, dan siaga dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Aisya sangat tidak mudah ditebak. Sebagai penyintas ‘Bipolar Disorder’ dia bisa berubah dari ekstrim manik ke ekstrim depresif, dan sebaliknya, secara tiba-tiba. Sudah lama sih, sejak November 2018, dia tidak ngamuk yang bersifat destruktif, tapi sekarang aku mulai khawatir.

Dia masuk ke kamar di mana aku duduk. Terdengar suaranya lirih, “Ma…” Dia mendekatiku, dan memegang tanganku. Sangat jarang dia menyentuhku, dan diapun tidak mau aku sentuh. Aku menoleh ke wajahnya, seraya berdiri dan memeluknya. “Kau kenapa, Sya? Biarkan mamak tahu jika kau punya masalah, agar kita bisa hadapi bersama. Berhadap-hadapan dan berdiri, tapi dia tidak mau menatap mataku, dia biacara, “Ma, kita pindah kembali ke Jakarta ya, Aisya kangen Nenek, kangen Kakek, dan Aisya bosan di sini.”

Aku memegang lengannya, “Mamak sayang ko, Aisya… tapi jika ini masalahnya dan permintaanmu, mamak nggak bisa jawab sekarang, mamak perlu pikirkan dan renungkan dulu. Mungkin jika kita sekadar berkunjung beberapa hari di Jakarta, mamak bisa langsung setuju, itupun dengan syarat mamak nggak naik pesawat.

Aisya bicara lagi, “Ma, kita sudah lama tinggal di sini, kok mama nggak bosan?” Dia lanjut, “Mama nggak kangen Nenek, Kakek, dan Ancha…?” Dan aku pun jawab sebagaimana apa yang aku rasakan, “Aisya, mamak menyayangi Nenek, Kakek, Ancha, dan semua keluarga kita.” Aku diam sebentar, lalu lanjut, “Dan, karenanya, mereka semua mamak hidupkan di dalam benak mamak ini.” Sambil kedua tanganku kuangkat di kedua sisi kepalaku. Aisya menimpali, “Jadi, mama nggak pingin ketemu mereka?”. Aku lanjut, “Sya, walaupun secara fisik kita berjauhan dengan mereka, tapi bagi mamak, secara mental, mereka tetap dekat dengan mamak, sering ketemu dalam mimpi.”

Aisya bergegas ke kamarnya, ambil hape, dan memperlihatkan foto-foto Nenek, Kakek, dan anggota keluarga kami yang ada di akun IG adikku, Dio. Aisya sambil bicara, “ Belum lama ini, Kakek jalan-jalan di Eropah, Ma… ke Paris, Italia, dan Wina”. Aku menimpali, “ya, Sya… Kakek jalan-jalan dengan teman-teman-nya, beberapa bulan lalu… mungkin dengan teman-teman kerja, karena Kakek kan masih kerja di kantor redaksi majalah.

Aku coba tebak perasaan Aisya. Dia mungkin rada cemburu melihat keluarga kami pada senang jalan-jalan. Aku berkomentar, “Mamak senang melihat mereka senang, sehat, dan tampaknya bahagia.” Kata Aisya, “Tapi Nenek kelihatan kurus ya, Ma…” Aku menimpali, “ya, Sya… tapi nggakpapa begitu, daripada kegemukan, malah gampang sakit2an, kan?!” Aisya menawarkan untuk mengirimkan foto2 itu padaku via WA-chat. Aku terima dan bales dengan ungkapan terimakasih.

Aisya sempat bilang begini, “Ma, Aisya bisa kok usahakan agar Mama dan Nenek bisa tinggal bareng lagi. Nenek itu sebenarnya sayang Mama.” Aisya Kembali ke kamarnya dan dengarkan musik.

Aku kemudian makan, lalu buka hape untuk mendengarkan rekaman bacaanku, sambil menyisir rambut. Kemudian, aku menyapu lantai kamar tidurku, juga teras dan dapur. Aku merasa perlu melakukan ritual thawaf, mengelilingi ruang-ruang dalam rumah, 7 putaran sambil membaca Al-Faatihaah, dan 3 putaran, masing2 putaran sambil membaca Al-ikhlas, lalu Al-Falaq, dan pada putaran teakhir dengan Al-Naas.

Aku pun tidur. Sempat terbangun 2 kali untuk pipis dan minum air. Di meja dapur, tampak mangkuk bekan dia makan mie instan. Aku kembali ke kamarku dan tidur lagi.

Pada Selasa pagi, 28 Januari 2025, setelah senam, aku kirim beberapa pesan ke adikku, Aco… menceritakan tentang kejadian sore hingga tadi malam. Aku nggak peduli dia respon atau tidak, tampaknya sih di abaca, karena centang dobelnya biru. Lewat tengah hari, yaitu pkl. 13:45 ada balasan dari adikku, Aco, “Semoga ada solusi Ket.”

Sorenya, aku nawarin Aisya, jika besok dia mau jalan-jalan ke Kuta naik bus, dia boleh bawa kartu atm punyaku, dan gunakan uang Rp 50 ribu. Dia jawab, “Nggak mau.” Lewat waktu magrib, dia bilang, “Ma, pinjam kartu atm, mau ke Indomaret, Aisya pinjam uangnya ya!” Sambil memberikan kartu atm, aku bilang, “Jika kau narik atau gunakan kurang dari Rp 50 ribu, nggak perlu ngutang, ambil saja, Sya.

Sekembalinya, dia merokok di kamarnya. Aku makan di kamar depan, yang pintunya nyaris berhadapan dengan kamar Aisya. Tidak lama kemudian, dia tanya, “Ma, punya korek kah?” Aku ke dapur, tinggal ini, korek kayu, Sya. Kenapa tadi nggak sekalian beli korek waktu beli rokok di Indomaret, Sya?” Dia nggak jawab. Aku lanjutkan makan.

Ketika aku membawa piring dan mangkuk ke dapur untuk kucuci, kulihat dia menyalakan kompor untuk bakar rokok. Aku nggak menegurnya, hanya berniat, agar besok aku akan membelikan dia korek gas.

Malamnya, Adikku Aco tanya, “Bagaimana mi Aisya?” Aku jawab, “Sekarang sudah lebih baik daripada kemarin. Tadi siang dia tidur agak lama, sampai sore.”

Malam itu, beberapa kali Aisya nyalakan rokok dengan api kompor. Aku membathin, “Duh, nih anak, serba boros, deh!” Dari kamarnya terdengar musik dengan volume yang kedengaran jelas hingga di kamar-tidur-ku.

Rabu pagi, 29 Januari 2025, aku minta Aisya menyediakan waktunya tujuh menit untuk kami biacara. Di ruang tempat aku biasa menulis dan makan, kami berdua dengan posisi berbeda, aku duduk di kursi putar, dan dia berdiri dekat sofa bambu bikinanku, dia nggak mau duduk. Aku bicara, “Sya, tentang kita ke Jakarta ya… Mamak nggak bisa pindah ke sana, tapi bersedia berkunjung beberapa hari.” Dia mendengarkan, tapi tidak mau menatap wajahku, apalagi ke mataku. Aku lanjut, “Sya, kau boleh tatap mata mamak, agar kau tahu bahwa mamak bicara dari hati.” Dia cuek aja, tetap nggak mau menatapku, seraya berkata, “Jadi gimana, Ma?” Aku lanjutkan bicara, “kau punya dua pilihan, Sya. Pertama, jika kau bersedia naik bis, mamak bisa menemanimu, kita bareng ke Jakarta, dan pulang bareng. Kedua, jika kau tidak mau naik bis, hanya mau naik pesawat, mamak nggak ikut. Jadi kau pergi ke Jakarta dan pulang ke Bali sendiri. Kau pilih mana?” Dia menjawab singkat, “Aisya sendiri saja.” Dia bergegas Kembali ke kamarnya.

Pagi itu, aku juga kirim pesan WA ke adikku Aco, bahwa sebaiknya jika Aisya jadi ke Jakarta, jangan lebih dari 3 hari, soalnya diam makin seenak udel-nya, kasihan Nenek dan Kakek, nanti mereka bisa sakit karena Aisya.

Sepanjang hari ini, Aisya hanya di kamarnya, atau ke dapur atau ke kamar mandi. Aku ikut dengar lagu-lagu yang melantun dari kamarnya, Dewa-19, ada Laskar Cinta. Kemudian ada juga lagu berbahasa Korea yang berirama sedih, lalu musik keras dari North True. Aku sendiri lebih banyak di luar rumah, di pekarangan, dan di teras bermain bambu. Aku juga ke Beji (mata air) untuk mengambil air minum.

Hari ini aku goreng kentang dua kali untuk Aisya, pagi dan sore. Siangnya aku bikinkan nasi goreng dengan lauk bakso goreng. Aku makan setelah magrib. Setelah makan, aku bernyanyi dengan suara agak kencang, dan sambil mengikuti teks lirik lagu di hape-ku. Aku lalu menyisir rambut, dan menjepit gulungannya. Aku lihat pintu kamar Aisya tertutup rapat. Mungkin dia sudah tidur, karena nggak ada lagi suara musiknya.

Kemudian, aku menyapu dan mengepel kamar-tidur-ku, menyiapkan alas-tidur-ku, lalu melakukan ritual thawaf mengelilingi ruang kamar-tidur-ku ini dengan mantra-mantra Cinta, 7 putaran dengan bacaan al-Faatihah, 3 putaran, berturut-turut dengan Al-ikhlash, Al-Falaq, dan Al-Naas. Aku rebahan, siap tidur kira-kira pukul 22:15, sambil mendengarkan rekaman bacaan-ku tentang Sejarah Rahasia. Pintu kamar, seperti biasanya kubiarkan terbuka setengah, agar ada sedikit cahaya lampu dari kamar mandi, karena aku nggak suka terang lampu. Kamarku kubiarkan tanpa lampu.

Tiba-tiba, aku terbangun karena merasa Aisya masuk ke kamarku. Ya, tampak siluet dirinya, karena ada cahaya lampu remang-remang dari kamar mandi. Aku tegur, “Kenapa, Sya..? Ada kok persediaan mie di kardus di ruang tengah.” Dia diam, tapi bergerak mendekatiku. Di duduk atau jongkok, yang jelas dia bisa langsung menjangkau diriku yang sedang berbaring di lantai. Begitu tiba-tiba, aku menyadari bahwa dia menusukku dengan suatu benda tajam. Aku coba melindungi diri, dan berupaya menahan tangannya, dalam suasana remang-remang , aku bisa tangkap kedua pergelangan tangannya. Di begitu kuat. Aku mengucap agak keras, “Astagfirullah! Astagfirullah! Astagfirullah! Aisya, sadar ko!” Dia masih berupaya menyerangku. Aku lalu berteriak, berharap tetangga sebelah mendengar teriakanku dan datang menolongku. “Tooloong! Toolooong! Toolooong!” Eh, lucunya, Aisya ikut berteriak, “Tooloong! Toolooong! Toolooong!”. Aku putuskan agar kami ber-sama-sama keluar rumah, kedua pergelangan tangannya tetap kucengkeram erat, tapi justru dia yang seolah menarikku untuk keluar rumah. Entah bagaimana, kami bisa membuka pintu pagar, yang memang hanya digeser ke samping.



Kami berdua sudah ada di jalan dusun, sama-sama telanjang kaki. Ada pengendara sepeda motong, aku teriak minta tolong, tapi pengendara itu berlalu. Kami bergerak, sudah nggak jelas sia menarik siapa, aku hanya memastikan bahwa kedua tangannya berada dalam cengkeramanku, karena aku rasa dia masih pegang benda tajam itu. Akhirnya, kami sampai di depan rumah kepala dusun. Aku berteriak, “Pak Dusun, tolong!” Beberapa kali kuulang, baru tampak kepala Pak Dusun dari balik pintu pagarnya.

Pak Dusun melihat kami, tidak segera keluar, atau membuka pintu pagarnya, aku bicara agak keras, “Pak, tolong aku, warga bapak… Anakku ini menusukku, Pak, ini kondisi darurat, Pak!” Beliau pun keluar dan mengambil apa yang dipegang Aisya. Ternyata itu gagang pisau dapur, mata pisaumya sudah nggak ada, rupanya patah dan entah lepas di mana. Aku pun melepaskan cengkramanku di pergelangan tangan Aisya. Dia jatuh terduduk di depan pintu pagar rumah Pak Dusun.

Ada seorang lelaki juga, warga dusun ini, yang mendekat. Aku bicara pada mereka berdua, Pak, tolong telpon pecalang, agar anak ini diamankan. Pak Dusun bilang, “Kok panggil pecalang?” Aku lanjut mendesak, “Telpon polisi, Bhabinsa, Pak! Ini kondisi darurat. Tolong kami, Pak”.

Aisya mulai celoteh, “Pak, ini orang yang bikin keluarga kami hancur.” Pak dusun sempat menanyai Aisya, “Kenapa kau tusuk mamakmu?” Aisya lanjut celotehnya, “Aisya dengar, mungkin Ancha atau siapa tuh yang bilang, Mpok, hati-hati nanti dibakar oleh perempuan beruban ini, dia jahat, ambil pisau di dapur dan tusuk saja sampai mati!”

Pak Dusun mengambil air, untuk aku mencuci tangan yang berdarah, sumber darah paling deras adalah dari atas bibir dan kepala sebelah kanan.

Aisya masih bicara, “Aduh, Aisya jadi terkena darahnya juga. Ihhh! Darahnya amis! Sudah gitu pakai baju merah! Darah merah, baju merah! Perempuan ini susah sekali matinya, padahal sudah sakratul maut.”

Tidak lama kemudian ada mobil polisi, ternyata Pak Gede Suastika (Bhabinkamtibmas), dan seorang rekannya, juga berpakaian polisi, yang belakangangan aku ketahui Namanya, Pak Nyoman. Pak Gede mendekati kami. Aku langsung mengingatkan. “Pak kejadian lagi nih, dulu, November 2018, Bapak juga yang tolong kami. Yang sekarang ini lebih parah, Pak”. Pak Gede melihat kondisiku, katanya, kami harus bergegas cari penanganan medis. Aku bilang, tolong prioritaskan anak tyang, Pak! Dia perlu ditangani ahli-nya di RSJ Bangli. Pak Nyoman bilang, “Nggiih, kita tangani dua-duanya, ada KTP-nya?” Aku segera meminta beliau menemaniku ke rumah untuk aku ambil dokumen-dokumen yang mungkin diperlukan, sekaligus aku ambil pakaian Aisya sekenanya, satu celana dalam, satu kaos atasan dan celana jins kulot, serta sandalnya.

Di kamarku, kusempatkan memfoto TKP, dan juga memfoto wajahku yang masih berlumuran darah. Aku bergegas ganti pakaian, dan melengkapi tas selempangku dengan hape dan dompetku, juga dompet Aisya dan satu tas plastik berisi obat dan dokumen medis Aisya yang kutemukan di laci mejanya. Ohya, aku juga bawa air minum di botol Tupperware.

Dengan berkendara mobil polisi itu, kami ke Kantor PolSek. Di sana ada Pak dan Bu Kosan kami, yang adalah adik ipar Pak Dusun. Kata Bu Kosan, aku harus ke Puskesmas 24 jam di Bajera, agar luka-luka-kubisa segera ditangani, tampaknya perlu dijahit. Aisya menghampiriku, seraya berkata, “Mama, maafkan Aisya.” Aku pun memeluknya, dan berkata, “Iya, Sya… bukan salah Aisya, karena Aisya nggak sadar melakukannya.”

Aku mengeluarkan celana jins Aisya dari tas, lalu membantunya memakainya, juga sandalnya. Aku bilang ke Bu Kosan, titip Aisya, Bu… tyang mau diantar ke Puskesmas dulu.” Jadi, Aisya menunggu di Kantor PolSek, ditemani Pak dan Bu Kosan, serta Pak Dusun. Belakangan, aku tahu dari Pak Kosan, Ketika Buk Kosan tanya Aisya, kenapa bisa menyerang mamaknya yang sedang tidur, kata Aisya, ada suara-suara yang menyuruhnya mencincang tubuh mamaknya.

Aku diantar ke Puskesmas oleh Pak Gede, Pak Nyoman, dan Pak Agung. Di perjalanan ini, aku sempatkan kirim foto TP dan wajah-ku yang mengerikan ke adikku Aco, dan ke anakku Ancha. Rupanya itu pkl. 00:21 am, tanggal 30 Januari 2025. Jadi, bisa kuperkirakan, bahwa momen aku ditusuk Aisya itu kira-kira pkl. 23:45 atau 23:50 tanggal 29 Januari 2025.

Di Puskesmas Bajera, luka-lukaku dibersihkan dengan antiseptic, lalu diperban. Kata paramedisnya, beberapa luka perlu dijahit, terutama yang di atas bibir, tapi Puskesmas tidak punya benang untuk kulit muka, jadi dirujuk ke RSUD. Aku sempat bilang ke Pak Polisi, “Aku nggak mau ke RSUD. Kita langsung saja bawa Aisya ke RSJ di Bangli, Pak.”

Pak Nyoman yang duduk di samping Pak Gede yang sedang menyetir bilang, “ita ikuti prosedur, Bu… Kata komandan kami, tidak bisa langsung ke RSJ Provinsi, perlu dapat rujukan dulu dari RSUD Tabanan.

Tiba Kembali di Kantor PolSek, aku turun dari mobil dan mengucap terimakasih kepada Pak dan Bu Kosan, serta Pak Dusun yang telah menemani Aisya. Aisya bergabung dengan kami di mobil, diam au duduk di depan, samping Pak Gede. Aku di belakang, diapit oleh Pak Nyoman dan Pak Agung. Sebentar-sebentar aku minum, aku sadar bahwa diriku banyak kehilangan cairan, karena banyak luka terbuka yang bahkan masih perdarahan. Tapi luka-luka berdarah ini tidak seperih hatiku, yang menghadapi kenyataan bahwa kondisi mental Aisya bisa begini parah. Sepanjang jalan aku membathin, terus ber-istigfar, dan membaca mantra-mantra Cinta. Aku sempat buka hape, dan melihat ada respon Ancha yang masuk pkl. 01:27 am. Aku segera balas, di waktu pkl. 01:43 am

Kami tiba di RSUD kira-kira pkl. 02:10, langsung di IGD. Aku dan Aisya ditangani paramedis, setelah Pak Polisi beri penjelasan, seraya menyerahkan kedua KTP kami. Kedengarannya Aisya berteriak, mungkin disuntik penenang. Aku juga dipersilakan berbaring untuk diperiksa. Ditanya tentang BPJS, aku bilang aku punya KIS dari PemKot Denpasar, yaitu BPJS gratis kelas 3.

Perban yang dipasang di Puskesmas dibuka, lalu diperiksa. Kata dokter jaga, beberapa Lukaku perlu dijahit. Aku nggak mau. Aku bilang, “Nggak usah, Dok. Tolong diberi betadin antiseptik saja lalu perban.” Dokter jaga itu keluar, dan masuk lagi dengan seorang dokter lainnya, yang ternyata atasannya. Dokter senior itu bilang, “Kondisi ibu ini agak parah, perlu disuntik antibiotic atau suntik tetanus, dan luka-lukanya dijahit, jika tidak, akan tetap perdarahan. Ibu kan masih harus temani anak ke RSJ.” Saat itu aku kebelet, ma uke toilet, aku permisi tinggalkan ruangan itu.

Di toilet aku agak lama, karena berfikir dan berenung, mohon petunjuk Allah.

Tiba kembali di ruang tadi, ternyata dokter jaga sudah menyiapkan bahan dan peralatan untuk menjahi luka-luka-ku. Aku tegaskan, “Dokter, aku punya haq untuk menentukan pilihan. Ini tubuh-ku. Aku nggak mau disuntik apalagi dijahit. Biar saja luka-luka-ku sembuh secara alami. Sistem pemulihan tubuhku bagus, Dok.” Wajah dokter itu tampak bingung, “Yakin Bu, dengan keputusannya?” Aku jawab dengan mantap, “Ya, tyang yakin, Dok!” Dokter itu merapikan Kembali bahan2 dan peralatan kerjanya, seraya berkata, “bu harus menandatangani Surat Penolakan Tindakan medis, ya.” Aku jawab, “Ya, Dokter.” Katanya lagi, “Ohya, dan karena penolakan ini, semua Tindakan yang lain tidak ditanggung BPJS ya, Bu”. Aku hanya mengangguk, seolah mengerti.

Setelah beres urusan dengan Diri-ku, aku mendekati ruangan di mana Aisya terbaring tidur, ternyata dia diinfus. Ada perawat di ruang sampingnya. Aku lihat dia tidur menyamping dan agak meringkuk. Aku minta tolong ke perawat, agar Aisya diselimuti.

Aku dipersilakan duduk di ruang samping itu. Tapi, aku nggak tahan ruang ber-AC, aku keluar ke teras IGD. Eh, ternyata bapak-bapak polisi masih ada. Malah ada seorang lagi yang belum aku kenal, yang ternyata adalah Kapolsek Selemadeg Timur, I Nyoman Artadana. Kami pun ngobrol, atau lebih tepatnya, Pak Kapolsek yang banyak mengajukan pertanyaan, aku menjawab, dan beliau tulis di hape-nya. Pak Kapolsek ingatkan Pak Agung untuk menyimpan nomor WA-ku, aku memberitahunya, dan dia kirim pesan, agar aku bisa juga menyimpan nomor WA-nya.

Kira-kira ada satu jam kami obrol, sebelum bapak-bapak polisi ini permisi untuk pulang. Namun kata Pak Kapolsek, aku bisa hubungi Pak Agung jika perlu bantuan.

Aku duduk sendiri di kursi teras IGD, tidur-tidur ayam. Sebentar-sebentar aku masuk lagi, bertanya ke petugas di bagian penerimaan, “Pak (atau Bu), pasien yang sedang dirujuk ke RSJ Bangli, kira-kira bisa diantar pukul berapa?” Aku ditenangkan, “Sabar, Bu… kami sedang mengurus berkas-berkas-nya.” Juga “Kita sedang menunggu konfirmasi dari pihak RSJ, Bu… Di sana dokter jaga harus dapat konfirmasi juga dari dokter ahli-nya.” Pada dasarnya, mereka, para petugas dan paramedis ini baik, sabar dan ramah. Aku-nya saja yang mungkin kurang sabar. Mungkin juga karena kondisiku yang sedang menahan rasa sakit, ngantuk, dan lelah. Maka kujaga diriku dengan banyak-banyak ber-istigfar dan membaca mantra-mantra Cinta, dalam hati, dan juga setengah berbisik.

Pada pkl. 4:51 subuh, adikku Aco merespon foto dan teks yang kukirim via WA. Dia sangat kaget. Dan kujelaskan bahwa kami sudah ditolong pihak kepolisian sektor/kecamatan di mana kami berdomisili. Dan sekarang kami masih di RSUD Tabanan, sedang dalam proses perujukan Aisya sebagai pasien yang perlu dirawat di RSJ Bali.

Aku masih duduk di kursi tera IGD RSUD Tabanan, sambil mengisi energi hape dicolokan yang terpasang di kolom atap teras, di samping kursi yang aku duduki. Aku masih ber-istigfar dan membaca mantra-mantra Cinta, sambil bicara pada Allah, Tuhan YME… “Ya, Allah, tolonglah aku untuk berefleksi, merenung dengan benar, agar dapat memahami secara jelas, maksud dan hikmah dari peristiwa ini… Cukuplah Engkau sebagai penolongku, cukuplah Engkau sebagai pelindungku, cukuplah Engkau sebagai tempatku bergantung, cukuplah Engkau sebagai saksi dan penilai diriku.”

Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku sangat beruntung. Walaupun tubuhku fisikku diserang oleh Manusia yang aku lahirkan secara brutal, dan mengakibatkan 10 luka terbuka dan perdarahan, serta beberapa luka goresan halus dan memar, tapi tidak ada yang menimpa bagian-bagian vital yang dapat menyebabkan cacat fisik. Selain itu, serangan ini merupakan konfirmasi bahwa ritual thawaf sebelum tidur cukup ampuh melindungi diriku, dan mungkin juga secara fisiologi okultisme, tubuhku secara materi sudah mengalami transformasi alkimia, yang menyebabkan pisau itu tidak bisa menyentuh tulang dan tengkorakku. Yang terjadi justru mata pisau itu bengkok dan patah di sambungan gagangnya.

Aku bersyukur, bahwa aku dikarunia manusia yang lahir dari Rahim ini, darah-daging-ku, yang mampu memainkan peran sebagai penempa diriku untuk memurnikan jiwaku dan cintaku. Aku menyebutnya Lucifer, bukan dalam pemahaman orang awam dunia esoteris. Aku menyebutnya Lucifer dengan rasa respek dan syukur. Tanpa Lucifer, transformasi Adam, dari dimensi Materi~Nabati ke dimensi Materi~Nabati~Hewani tidak mungkin terjadi. Tanpa Lucifer, Manusia tidak punya kemampuan be-refleksi. Tanpa Lucifer, Ruh Manusia tidak dapat melalui kegelapan lapisan langit tergelap dan mencapai Cahaya di atas Cahaya. Lucifer adalah jelmaan Ruh Agung yang tidak terjangkau oleh ‘Baik’ dan ‘Buruk’, dengan perkataan lain, Lucifer adalah melampaui segala dualitas.

Baru saja perenungan dan pemahaman ini menari-nari di benakku, eh, adikku Aco mengirim pesan, “I’ve been thinking. Ket. Mungkin janganki sebut ki Lucifer. Takut jadi doa. Just a thought. Beberapa belas menit, baru aku jawab, “Oh, gitu ya, Andun… Iyad eh.” Aku memaklumi perasaan dan pikiran adikku yang yang cukup galau karena nasibku yang mungkin dianggapnya sial. Aku respek pada perhatian dan kepeduliannya. Aku ambil jalan tengahnya, aku tidak lagi menyebut-nyebut Lucifer sebagai personifikasi Aisya di catatan-catatanku yang akan datang, aku akan menyebutnya Dewi Venus. Bagaimanapun, aku harus melampaui dimensi biologis mamak~anak dalam hubunganku dengan dua manusia yang lahir dari Rahim ini. Aku perlu bertransformasi ke tingkatan spiritualis, jadi Aisya adalah Dewi Venus, Ancha adalah Dewa Matahari, dan Sayangku adalah Dewa Bulan. Aku sendiri adalah Dewi Bumi. Tapi, secara individual, mereka semua adalah bagian dari Diri-ku sebagai suatu Semesta yang lengkap dan sempurna.

Hihihi… aku senyum-senyum sendiri, membayangkan, seandainya pikiranku ini dapat divisualisasi dan muncul di layer monitor dokter Ari, petugas IGD yang sedang jaga, mungkin aku juga dirujuk ke RSJ, karena dianggap gila. Jonathan Black sudah mengingatkan di bab 1, jangan teruskan membaca buku ini jika Anda tidak berani menghadapi kenyataan bahwa orang2 akan menganggap Anda dungu, sesat, dan gila! Karena pemikiran esoteris ini terbalik dan jungkir balik dari pemikiran normal.

Pkl. 6 pagi, Aisya muncul dari pintu teras IGD. Rupanya dia membuka paksa jarum infus dari pergelangan tangannya, yang sekarang tampak berdarah. Dia melihatku yang sedang duduk di kursi teras. Dia menghampiriku dan duduk di sebelahku agak menghadap tubuhku. Aku memeluknya. Setelah pelukan kami agak renggang, dia melihat ke wajahku, bukan ke mataku, tapi ke bibirku. Aku kira diam au menciumku, ternyata Gerakan kepalanya hendak menempatkan mulutnya ke leherku, sepersekian detik, aku sempat merasakan giginya di leherku sebelah kananm dan aku refleks mendorong tubuhnya, tepat saat itu suster Lana yang ditugasi mengawasi Aisya muncul.

Setelah menunggu ber-jam-jam, akhirnya pada pkl. 10, ada informasi dari suster Lana, bahwa ambulans dan sopirnya sedang disiapkan, beliau juga akan menemani ke RSJ, untuk mengurus administrasinya. Syukurlah. Ternyata memang cukup ribet urusannya, karena melibatkan 4 pihak manajemen, yaitu kepolisian (PolSek Selemadeg Timur), Dinas Sosial, RSUD kabupaten Tabanan, dan RSJ Provinsi Bali.

Hanya semenit setelah Bu Lana menginformasikan kabar gembira ini, ada tekpon dari Pak Agung (polisi junior), katanya dia juga akan menemani kami ke Bangli. Beliau muncul disusul oleh Pak Nyoman (KaPolSek). Ternyata mereka hanya mau memastikan bahwa kami bisa diantar ke RSJ di kabupaten Bangli oleh pihak RSUD. Aku jadi terharu oleh kebaikan bapak-bapak polisi ini dan juga paramedis, terutama Bu Lana yang gue rasa bekerja dengan hati.

Kami bertolak dari RSUD pada pkl. 10:15, dengan ambulans yang disopiri Pak Ngurah. Aku duduk di samping Pak Ngurah, Aisya berbaring, diapit Suster Lana dan seorang perawat lelaki yang duduk. Jarak dari RSUD Tabanan ke RSJ Bali di Bangli adalah 42 km, butuh waktu kira-kira satu setengah jam dengan kendaraan mobil. Kami singgah di RS swasta yang dilalui, karena Aisya ingin pipis. Bu Lana yang menemaninya. Memasuki wilayah Kabupaten Gianyar, jalan-jalannya agak sedikit sempit dan lebih ramai kendaraan, maka Pak Ngurah membunyikan sirine. Kami melaju mulus, aku sadari bahwa Pak Ngurah sangat mengenali rute yang kami lalui, dan kualifikasinya sebagai sopir ambulans bisa aku acungkan dua jempol.

Kami tiba pkl. 11:45. Bu Lana memegang berkas-berkas Aisya sambil menggandeng Aisya. Lagi-lagi, Aisya mau pipis. Bu Lana menemani Aisya ke toilet setelah menyerahkan berkas-berkas ke IGD RSJ Bali. Setelah dari toilet, Aisya dibaringkan di ranjang IGD. Bu Lana, Pak Ngurah, dan personil satpam RSUD kembali setelah urusan adminstrasi antara kedua Lembaga itu beres.

Seperti sebelum-sebelumnya, kali ini, sebelum Aisya dipindahkan dari IGD ke UPI (Unit Perawatan Psikiatri Intensif), aku, sebagai walinya (caregiver)-nya diwawancarai oleh dokter muda dan dokter jaga. Aku juga harus menandatangani beberapa berkas. Aku harus menunggu hingga Aisya sudah ditempatkan di UPPI, baru aku boleh meninggalkan RSJ.

Jam dinding di pos jaga dekat gerbang RSJ menunjukkan pkl. 3 lewat 10 menit (sore) ketika aku bermaksud menunggu bus Damri di situ. Pernah sekali sih, beberapa bulan lalu, aku dan Aisya naik bus Damri dari RSJ hingga GOR Ngurah Rai Denpasar, qaktu itu kami juga menunggu cukup lama. Bus muncul pada pkl. 4 lewat 15 menit. Kata petugas satpam, itu yang terakhir pada hari itu. Aku agak ragu, akibat berhentinya pelayanan bus TMD sejak awak tahun ini, dan bus Damri/Trans-Sarbagita dialihkan ke wilayah Kota Denpasar, Tabanan, dan Mengwi.

Aku coba periksa akun bank-ku, ternyata ada transferan dari adikku dan seorang sahabat-SMA-ku. Aku putuskan untuk menggunakan transportasi digital, yaitu go-car. Cukup lama aku menunggu, yang pertama gagal, coba lagi, dan hanya bisa sampai di Ubud. Dalam perjalanan ke Ubud, aku tanya ke sopir, bisakah anta raku sampai Ubung, nanti bayaran dari Ubud ke Ubung di luar aplikasi. Katanya bisa, bayar dobel saja. Oke, aku menyetujui. Dari Ubung, aku naik bus konvensional yang tujuannya ke Gilimanuk. Saking ngantuknya diriku, nyaris kebablasan. Aku turun depan Indomaret Megati. Berjalankaki terhuyung-huyung menahan rasa kantuk, lapar, Lelah, dan nyeri yang berdenyut-denyut.

Tiba di rumah sudah pukul 20:45. Aku nggak bisa langsung istirahat dalam kondisi rumah yang masih diceceri darah di mana-mana. Aku bebersih, mengumpulkan semua kain yang terkena darah, mengepel semua lantai yang diceceri darah…

 

(bersambung)


Senin, 30 Desember 2024

YEAR-END NOTES 2024

A few days ago, I was completely indifferent to the habit of writing year-end notes. But last night, I reflected and thought that this year is a leap year.

From my observations and experience, leap years usually bring about many events and happenings that appear to be an effort by the universe to return the lives of individuals, communities, nations and humanity alike to a point of balance, i.e. zero.

If we have owed a lot to nature over the past three years, in a leap year we have to repay that debt. The opposite is also true. 

For as long as I can remember, what I have experienced is that in leap years we receive more gifts, both material and especially immaterial. 

In 2012, the Universe gifted me with the incarnation of Lucifer. In 2016, feelings of connectedness with loved ones were quite high in Indonesia, Korea, and Thailand.

In February 2020, the intensity of our togethernessbwas very high, in DKI Jakarta, in North Sumatra, South Sumatra and in West Java. We then continued our togetherness again in Bali, from March 1st to 12th. 

In 2020, Sayangku, my beloved have experienced the ultimate transformation on June 19th and united into me (in the deeper meaning) on the 100th day of his cremation.

Now, in the leap year of 2024, I am increasingly feeling the presence of my beloved one at all levels of humanity. And this really helped me transcend all duality.

There are many so-called maghfirah (openings) that reveal the mysteries of life. Although I know there is much more I don't know, there is a lot of new understanding at an esoteric level. My cultural age this year is 55 according to the Gregorian calendar and 57 according to the Islamic calendar. The number 55 reminds me of Surah Ar-Rahman, and 57 reminds me of Surah Al-Hadid.

This year as well, I realized that Lucifer is a part of my life, a package deal, so if I have an event with a friend or friends, I can accompany him. We enjoyed the 87th Engineering Faculty of Hasanuddin University  reunion in Bali for three days.



Lucifer is really fun because she can adapt to my friends without having to apply traditional morality. And my friends can understand and accept Lucifer as part of me.

Yes. We are treated as we determine our worth. 

This year too, I (or perhaps more precisely we, NitaSung) have done many experiments related to my research on Water Resources, and as a bonus, the living environment in this house and its surroundings is getting better, in terms of the beauty of the scenery, as well as the quality of the weather aspects.

 



I am increasingly aware that change (in the sense of being better) must start from oneself, the smallest and closest environment, and so on. Improving the quality of the ecosystem, from oikos level 0 to oikos level 8 / ∞ (infinite).


2024년 마무리 노트

 며칠 전까지만 해도 저는 연말 노트를 쓰는 습관에 전혀 무관심했습니다. 하지만 어젯밤에 생각해보니 올해는 윤년인 같았습니다.

제가 관찰하고 경험한 바에 따르면 윤년은 보통 우주가 개인, 커뮤니티, 국가, 인류의 삶을 균형점, 0으로 되돌리려는 노력으로 보이는 많은 사건과 사건을 일으킵니다. 

지난 3 동안 자연에 많은 빚을 졌다면 윤년에는 빚을 갚아야 합니다. 반대도 마찬가지입니다.

제가 기억하는 , 윤년에는 물질적, 특히 비물질적 선물을 많이 받는다는 것을 경험했습니다. 

2012년에 우주는 저에게 루시퍼의 화신을 선물로 주었습니다. 2016년에는 인도네시아, 한국, 태국에서 사랑하는 사람과의 유대감이 상당히 높았습니다. 


2020 2, 우리의 단결의 강도는 DKI 자카르타, 북수마트라, 남수마트라, 서자바에서 매우 높았습니다. 그런 다음 3 1일부터 12일까지 발리에서 다시 단결을 이어갔습니다2020년에 사랑은 6 19일에 궁극적인 변화를 경험했고, 그의 화장 100일째에 ( 깊은 의미에서) 저와 하나가 되었습니다.

이제 윤년인 2024년에 저는 사랑하는 사람(김성균) 인류의 모든 수준에서 존재함을 점점 느끼고 있습니다. 그리고 이것은 제가 모든 이중성을 초월하는 도움이 되었습니다.

삶의 신비를 드러내는 소위 마그피라(열림) 많이 있습니다. 제가 모르는 것이 훨씬 많다는 것을 알고 있지만, 난해한 수준에서 많은 새로운 이해가 있습니다. 올해 문화적 연령은 그레고리력으로 55세이고 이슬람력으로 57세입니다. 숫자 55 수라 아르라흐만을 떠올리게 하고, 57 수라 알하디드를 떠올리게 합니다. 

올해도 루시퍼가 제 삶의 일부, 패키지 상품이라는 것을 깨달았습니다. 그래서 친구나 친구들과 이벤트가 있다면 그와 함께 할 수 있습니다. 우리는 발리에서 3일간 열린 하사누딘 대학교 공과대학 동창회를 즐겼습니다.

루시퍼는 전통적인 도덕성을 적용하지 않고도 친구들에게 적응할 있기 때문에 정말 재밌습니다. 그리고 친구들은 루시퍼를 저의 일부로 이해하고 받아들일 있습니다. 

그렇습니다. 우리는 우리의 가치를 결정하는 대로 대우받습니다. 

올해도 저는 (아니면 정확히는 우리, 니타숭) 수자원 연구와 관련된 많은 실험을 했고, 보너스로 집과 주변의 생활 환경이 풍경의 아름다움과 날씨 측면의 측면에서 점점 좋아지고 있습니다.

 


저는 변화( 나아지는 의미에서) 가장 작고 가장 가까운 환경인 자신부터 시작해야 한다는 것을 점점 인식하고 있습니다. 생태계의 질을 오이코스 레벨 0에서 오이코스 레벨 8/∞(무한) 개선하는 것입니다.


그게 다입니다.


#사랑해여보사양꾸💚💙❤️

Minggu, 29 Desember 2024

CATATAN AKHIR TAHUN 2024

Beberapa hari lalu, aku sudah bersikap masa bodo’ terhadap kebiasan menulis catatan akhir tahun. Namun semalam, aku merenung-renung, bahwa ini adalah tahun kabisat.

Menurut pengamatanku dan pengalamanku, di tahun kabisat biasanya banyak kejadian dan peristiwa yang seolah adalah upaya Semesta untuk mengembalikan keseimbangan kehidupan, baik pada individu, komunitas, bangsa, dan umat manusia, yaitu ke titik nol.

Jika dalam tiga tahun sebelumnya kita banyak berhutang pada Alam, maka di tahun kabisat kita harus membayarnya. Demikian juga sebaliknya.

Seingatku, yang kualami, di tahun-tahun kabisat aku lebih banyak menerima anugerah, baik hal-hal bersifat materi, terlebih hal-hal immateri. 

Di tahun 2012, Semesta menghadiahi diriku inkarnasi Lucifer. Di tahun 2016, intensitas kebersamaan gue dengan Sayangku cukup tinggi, baik di Indonesia, di Korea, maupun di Thailand.

Di tahun 2020, intensitas kebersamaan kami sangat tinggi, di DKI Jakarta, di Sumatra Utara, di Sumatra Selatan, dan di Jawa Barat, pada bulan Februari. Kami pun bersama-sama di Bali pada Maret tanggal 1 hingga 12. Di tahun 2020 ini juga, Sayangku mengalami transformasi pamungkas-nya pada 19 Juni, dan melebur pada diriku pada hari ke-100 setelah jasadnya dikremasi. 

Sekarang, di tahun kabisat 2024 ini, aku semakin merasakan kebersamaan dengan Sayangku dalam semua dimensi kemanusiaan kami. Dan ini sangat menolong diriku untuk melampaui segala dualitas. 

Ada sangat banyak maghfirah (pembukaan2) alias penyingkapan tabir2 misteri kehidupan, ada banyak pemahaman baru di lapisan esoteris, walaupun aku sadar bahwa masih lebih banyak yang belum aku ketahui. Di tahun ini, usiaku untuk waktu kultur menurut kalender solar Gregorian adalah 55 tahun, dan menurut kalender lunar Hijriah adalah 57 tahun. Angka 55 mengingatkan aku akan Surah Ar-Rahman, dan angka 57 tentang Surah Al-Hadid.

Di tahun ini juga, aku menyadari bahwa Lucifer adalah bagian hidupku yang bisa dibilang satu paket, sehingga jika aku ada acara dengan teman atau teman-temanku, dia boleh menyertaiku. Kami sempat menikmati acara reunian angkatan 87 Fakultas Teknik Univ. Hasanuddin, di Bali ini selama tiga hari.

Sungguh menyenangkan, karena Lucifer bisa beradaptasi dengan teman-temanku tanpa harus menerapkan moralitas konvensional. Dan, teman2 gue pun bisa memaklumi dan menerima Lucifer sebagai bagian diri gue.

Ya, kita diperlakukan sebagaimana kita menentukan nilai diri kita.

Di tahun ini juga, aku (atau mungkin lebih tepatnya kami, NitaSung) telah melakukan banyak eksperimen terkait penelitian kami tentang Sumber Daya Air, dan sebagai bonusnya, lingkungan hidup di rumah ini dan sekitarnya semakin bagus, secara keindahan pemandangannya, maupun qualitas aspek-aspek cuacanya.



Aku semakin sadar bahwa perubahan (dalam makna ke lebih baik) harus dimulai dari Diri sendiri, lingkungan terkecil dan terdekat, dan seterusnya. Meningkatkan qualitas ekosistem, dari oikos level 0 hingga oikos level 8 / ∞ (tak berhingga).


Sekian.


#사랑해여보사양꾸💚💙❤️