Senin, 29 Desember 2025

Catatan Akhir Tahun 2025

Menjelang pergantian tahun, setahun lalu, gue pernah merenungkan secara numerologi, bahwa tahun 2025 ini berjumlah akhir 9, angka urutan surah at-Tawbah, yang mengkodekan bahwa akan banyak kejadian dan peristiwa yang membuat kita umat manusia untuk berpulang, atau ber-tobat, atau makin menjadi zombie, zombie yang terkunci mati Qalbu-nya.

Tepat pada awal irisan tahun solar 2025 dengan tahun lunar ular-kayu, yaitu pada 29 Januari, gue mengalami tragedi berdarah, yang pelakunya adalah putri gue sendiri. Atau, mungkin lebih tepatnya oleh Ruh Agung Lucifer yang menggunakan jazad putri gue. Di awal peristiwa itu, gue kaget campur kecewa, sedih, bahkan frustasi. Namun, tidak lama, hanya beberapa jam sesudahnya, sambil menunggu kesiapan ambulans di RSUD Tabanan, gue merenung… Putri gue di ruang UGD, telah disuntik penenang, dan tertidur. Gue hanya duduk di bangku teras UGD, menahan rasa nyeri di sepuluh luka, pada bibir, kepala lengan, dan paha, ada rasa lapar juga, dan gue sendirian, dari lewat tengah malam hingga pagi.

Gue sudah memiliki dasar yang kuat, yaitu bahwa gue senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Apapun yang telah dan sedang terjadi di hidup gue, adalah pelajaran2 untuk gue menjadi lebih menyadari Cinta Allah, dan untuk lebih mencintai Allah. Jadi, gue mengevaluasi diri gue, terutama sikap gue terhadap putri gue. Memang sih, beberapa bulan terakhir sebelum tragedi berdarah ini, gue agak men-cueki-nya, gue tidak memperhatikan apakah dia benar2 meminum obat-nya, gue bahkan biasa bersikap seolah mau meninju dan menendang-nya di belakang-nya, saking gue jengkel dengan sikap seenak udel-nya. Gue mengalami krisis ar-Rahïm, sifat ke-ibu-an gue menipis terhadap putri gue.

Dari renungan panjang dan dalam di bangku teras RSUD itu, gue pun menyadari kesalahan dan kelalaian gue. Gue harus lebih menjaga kesadaran Diri gue, agar ar-Rahmãn, ar-Rahïm, dan al-Mãlik di Diri gue hidup dan harmonis, berfungsi secara proporsional.

Pada akhir Juni di tahun ini, kami bersiap untuk pindah kosan, karena beberapa faktor, eksternal maupun internal keluarga kami. Faktor utama-nya sih, karena pihak pemilik kosan tampaknya sudah tidak menginginkan kami tetap tinggal di rumah yang berlokasi di Dusun Megati Kelod, Desa Megati, Tabanan, Bali Barat. Selama 5 tahun lebih tinggal di rumah tersebut, gue sudah mengubah kondisi lingkungan hidup, baik di dalam gedung rumah, di pekarangan, maupun di jalan masuk dari jalan aspal desa hingga ke pintu pagar kami. Perubahannya, dari kering gersang, dan panas, menjadi hijau, sejuk, dan indah alami, karena ada banyak vegetasi, beranekaragam. Mungkin, rasa-rasa gue sih, pemilik rumah dan beberapa tetangga tidak menyukai perubahan yang gue upayakan. Hal ini dari beberapa komentar mereka yang gue ingat2. Maklumlah, masyarakat kita sedang dilanda ketidaksadaran kolektif, yaitu anti-ekologis. 

Dan gue lebih yaqin lagi, karena gue menemukan fakta yang agak mengerikan dan menyedihkan. Lima hari setelah kami hengkang, gue kembali untuk mengambil beberapa pot isi tumbuhan yang tertinggal. Tampaklah bahwa kondisi lingkungan hidup bekas kosan kami itu jadi 'gundul'. Seluruh vegetasi yang tadinya tumbuh di sepanjang jalan masuk, maupun di pekarangan rumah, telah dibantai! Hiks!

.

.

.

Singkat cerita, melalui upaya yang tidak mudah, akhirnya gue menemukan tempat tinggal baru. Lokasi tempat tinggal kami yang baru ini adalah di Desa Mengwitani, Badung. Kondisi tempat tinggal kami pada awalnya sangat tidak memadai, namun gue melihat potensi2 yang bisa gue upayak untuk meningkatkan qualitas ekologis-nya. Kami menempati rumah kecil ini sejak 3 Juli 2025. Gue mulai lagi menata dan menumbuhkan berbagai vegetasi. Kondisinya lebih sulit, karena hampir seluruh pekararangan kompleks kos-kosan diplester semen. Hal yang sama gue saksikan di hampir semua kompleks kos-kosan yang gue datangi sewaktu mencari tempat baru, selama hampir sepekan, di Tabanan, Badung, terlebih di Denpasar.

Pada tanggal 10 hingga 11 Oktober, hampir seluruh Bali dilanda hujan tampa henti selama 36 jam. Hal ini mengakibatkan banjir parah di mana-mana, termasuk di lingkungan kami. Rumah kepala lingkungan/dusun kami tergenang air hujan hingga sedada orang dewasa, hingga mencapai kap mobil beliau. Anehnya, persil kos-kosan kami hanya digenangi air hujan beberapa sentimeter saja, tidak mencapai permukaan teras, korbannya hanya sebelah sandal tetangga kami yang hanyut keluar pagar, hilang dibawa arus air genangan.



Di penghujung November 2025, terjadi peristiwa bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh, yang meninggalkan jejak kehancuran luar biasa, dengan korban maut lebih 1000 orang. Aku tidak heran lagi akan kejadian ini. Karena, bahkan sebelum pandemi covid-19, beberapa kali terjadi kebakaran hutan, atau lebih tepatnya pembakaran hutan untuk lahan perkebunan sawit, di Sumatra. Eksploitasi alam berlangsung gila-gila-an dalam 11 tahun terakhir ini, di seluruh Indonesia, ternasuk Bali, dan terutama di Sumatra dan Kalimantan.

Sekarang, tinggal 2 hari lagi, kurang dari 48 jam, kita akan memasuki tahun 2026, yang secara numerologi, berjumlah 10 atau 1, gue merujukkan ke pesan-pesan utama dalam surah al-Fãtihah dan surah Yunus.

 

Mengwitani, Bali, Selasa, 10 Rajab 1447 / 30 Desember 2025


#nitasung

#refleksi

#perenungan

#iqra

#iqrakitaabaka

 


Kamis, 25 Desember 2025

HIJÃB, KHIMÃR, dan JILBÃB

Sebelum menyelami, menganalisis dan mensintesis makna ketiga kata berikut ini, yakni: HIJÃB (حِجَاب), KHIMÃR (خِمار), dan JILBÃB (جِلْبَاب) yang secara tradisi merujuk pada pakaian tubuh fisik perempuan, secara reflektif dan Qur'ani, maka kita perlu pijakan dan pegangan yang kuat di benak kita akan fungsi al-Qur'an ini sendiri, yaitu sebagai Hudallinnãs dan sebagai Syifã'ulinnãs.

Al-Qur'an adalah hudan li an-nãs; Artinya, al-Qur'an adalah petunjuk bagi semua dan setiap insãn, petunjuk bagi setiap individu, sebagaimana 'manual' bagi penggunaan dan pemeliharaan Diri kita masing-masing; Artinya, setiap kata, setiap frasa, setiap kalimat, bahkan setiap huruf dan tanda baca dimaksudkan sebagai 'cermin' diri kita sendiri.

Jika suatu ayat al-Qur'an menyebutkan kata 'an-nisã' apakah ayat itu berlaku bagi pembaca-nya yang laki-laki? Jika tidak, artinya hal ini membatalkan fungsi al-Qur'an sebagai Hudallinnãs.

Dan yang paling menentukan kesehatan holistik kita sebagai Manusia adalah keadaan JIWA kita. Jadi, jika Al-Qur'an adalah Syifã'ulinnãs, alias penyehat bagi manusia, maka pesan dalam setiap ayat al-Qur'an terutama ditujukan bagi jiwa kita. Jiwa kita, bathin kita, tidak memiliki jender atau jenis kelamin.

Dengan mem-fungsi-kan qalbu, yakni sebagai penjaga konteks, dan, konteks pemikiran dan perasaan adalah muatan haqiqat ayat2 al-Fãtihah, maka kita senantiasa dapat kembali ke kesadaran ilahiah, yang adalah juga kesadaran ekologis, sebagaimana frasa 'Rabb-al-ãlamin', yaitu Pemelihara alam.

Secara tradisi, hijãb, khimãr, dan jilbãb ini, adalah tentang 'pemisahan' atau 'pembatasan' antara perempuan dan lelaki, yang bukan muhrim.

Nah! Dengan konteks tersebut di atas, yakni al- Fãtihah, maka secara reflektif, lelaki pada Diri kita, pada Diri setiap insãn adalah ar-Rahmãn, dan perempuan adalah ar-Rãhïm. Sekarang jadi lebih mudah mengidentifikasi haqiqat hijãb, khimãr, dan jilbãb, sehingga makna mereka bersifat universal, inklusif, dan aplikatif, serta tentu saja, ekologis.


Sejauh ini, aku menemukan ada 6 ayat yang memuat kata hijãb (حِجَاب), ada 1 ayat yang memuat kata  khimãr (خِمار), dan 1 ayat yang memuat kata jilbãb (جِلْبَاب). Mereka adalah sebagai berikut:






Salah satu sifat dan nama Al-Qur'an adalah Al-MubĨn, artinya antara ayat-ayat yang memuat kata atau frasa yang sama, ada hubungan saling menjelaskan. Jika demikian, mungkin kita perlu mengkaji kedelapan ayat tersebut, dan melihat hubungan saling menjelaskan yang terjalin di antara mereka. Tentu saja kita perlu tetap mengingat, berpijak, dan berpegang pada konteks al-Fãtihah.


1.      QS. Al-A’Rãf/7:46

وَبَيۡنَهُمَا حِجَابٌ​ۚ وَعَلَى الۡاَعۡرَافِ رِجَالٌ يَّعۡرِفُوۡنَ كُلًّاۢ بِسِيۡمٰٮهُمۡ​ ۚ وَنَادَوۡا اَصۡحٰبَ الۡجَـنَّةِ اَنۡ سَلٰمٌ عَلَيۡكُمۡ​ لَمۡ يَدۡخُلُوۡهَا وَهُمۡ يَطۡمَعُوۡنَ

Dan di antara keduanya (penghuni surga dan nereka) ada tabir dan di atas A'rāf (tempat yang tertinggi) ada orang-orang yang saling mengenal, masing-masing dengan tanda-tandanya. Mereka menyeru penghuni surga, "Salāmun 'alaikum" (salam sejahtera bagimu). Mereka belum dapat masuk, tetapi mereka ingin segera (masuk).

Makna reflektif-nya:

Tempat tertinggi pada Diri kita adalah Qalbu, yang terletak di tengah-tengah Shudur (otak besar). Posisi Qalbu dalam susunan cakra, alias tubuh vegetative kita, adalah cakra ke-enam, yaitu cakra mata ketiga. Sedangkan yang membatasi antara penghuni surga dan neraka adalah cakra ke-lima, yaitu cakra tenggorokan. Ucapan “Salamun ‘alaikum” mengkodekan terjalinnya hubungan vertical dan hubungan horizontal dalam kehidupan kita.

Jadi, makna kata ‘hijãb’ di sini adalah cakra tenggorokan. Jika cakra tenggorokan kita tidak berfungsi, maka kita adalah penghuni neraka, sebaliknya, jika cakra tenggorokan kita berfungsi, maka kita adalah penghuni surga.

 

 

2.      QS. Al-Isra’/17:45

وَاِذَا قَرَاۡتَ الۡقُرۡاٰنَ جَعَلۡنَا بَيۡنَكَ وَبَيۡنَ الَّذِيۡنَ لَا يُؤۡمِنُوۡنَ بِالۡاٰخِرَةِ حِجَابًا مَّسۡتُوۡرًا

Dan apabila engkau (Muhammad) membaca Al-Qur`an, Kami adakan suatu dinding/penghalang yang tidak terlihat antara engkau dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat…

Makna reflektif-nya:

Ke-muhammad-an kita adalah kemampuan untuk mempersepsikan Qalam Allah yang tersebar di Alam, dengan mem-fungsi-kan indera2, terutama pendengaran dan penglihatan, yaitu dengan persepsi yang dipimpin oleh Qalbu. Mereka yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, adalah mereka yang tidak mampu mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an, dalam makna mendengarkan dengan diikuti perenungan. Artinya, cakra ke-lima alias cakra tenggorokan mereka tidak berfungsi.

Jadi, makna kata ‘hijãb’ di sini adalah cakra tenggorokan. Mereka dengan cakra tenggorokan yang tidak berfungsi, tidak akan beriman kepada kehidupan akhirat.

 

3.      QS. Maryam/19:17

فَٱتَّخَذَتْ مِن دُونِهِمْ حِجَابًا فَأَرْسَلْنَآ إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا

… lalu dia memasang tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, maka dia menampakan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna.

Makna reflektif-nya:

Maryam pada Diri kita adalah keseimbangan antara maskulinitas dan femininitas kita. Keluarga kita, terutama adalah orangtua (yang memperanakkan) dan anak (yang diperanakkan). Orangtua pada diri Kita adalah pikiran, adat-istiadat, dan tradisi. Sedangkan anak adalah perasaan, keinginan, gagasan, dan perbuatan. Orangtua adalah masa lalu, dan anak adalah masa depan. Ketika keluarga di-nol-kan, atau dengan perkataan lain, jika pikiran dan perasaan kita seimbang, maka yang ada adalah kesadaran. Ruh Allah atau Jibril adalah kesadaran tertinggi kita. Pikiran kita bersumber pada kepala (cakra ke-6), sedangkan perasaan kita bersumber pada jantung~hati (cakra ke-4), maka titik nol, alias titik antara-nya adalah pada cakra tenggorokan (cakra ke-5).

Jadi, makna kata ‘hijãb’ di sini adalah cakra tenggorokan. Maryam memasang tabir yang melindunginya dari keluarga-nya, dari pikiran dan perasaannya, sehingga kesadarannya terjaga dan mencapai tempat tertinggi, Ruh Allah. 

 

4.      QS. Al-Ahzãb/33:53

وَاِذَا سَاَ لۡتُمُوۡهُنَّ مَتَاعًا فَسۡـَٔـــلُوۡهُنَّ مِنۡ وَّرَآءِ حِجَابٍ ؕ ذٰ لِكُمۡ اَطۡهَرُ لِقُلُوۡبِكُمۡ وَقُلُوۡبِهِنَّ ؕ وَمَا كَانَ لَـكُمۡ اَنۡ تُؤۡذُوۡا رَسُوۡلَ اللّٰهِ وَلَاۤ اَنۡ تَـنۡكِحُوۡۤا اَزۡوَاجَهٗ مِنۡۢ بَعۡدِهٖۤ اَبَدًا ؕ اِنَّ ذٰ لِكُمۡ كَانَ عِنۡدَ اللّٰهِ عَظِيۡمًا

... Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari balik tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelahnya (Nabi wafat). Sungguh, yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi Allah.

Makna reflektif-nya:

Nabi pada Diri kita adalah kemampuan ber-nubuat, yaitu mengungkapkan prediksi atau visi/penglihatan dengan bicara (secara lisan maupun tulisan), prediksi yang muncul dari hasil pengamatan, atau membaca fenomena alam dan fenomena sosial. Jadi, istri-stri Nabi, adalah aspek feminin atau kerahiman yang menyertai nubuatan. Sedangkan ‘orang-orang yang meminta sesuatu’ adalah hasrat-hasrat duniawi yang ada di benak kita. Bagaimana ‘meminta kepada istri2 Nabi dari balik tabir?’ Nah, ini memerlukan perenungan mendalam, ber-monolog, dan seolah kita keluar dari Diri kita sendiri dan melihat ‘makhluq2’ di dalam Diri kita yang sedang ber-dialog dan ber-lakon. Sampai di sini, kita bisa melihat bahwa…

… yang dimaksud sebagai tabir adalah nilai-nilai yang dapat menjaga keharmonisan hubungan vertikal Langit dan Bumi, sekaligus keharmonisan hubungan horizontal dengan sesama makhluq ciptaan Allah. Dan, simpul antara hubungan vertikal dan hubungan horizontal adalah pada leher, atau lebih tepatnya pada cakra tenggorokan kita.

 

5.      QS. Shad/38:32

فَقَالَ إِنِّىٓ أَحْبَبْتُ حُبَّ ٱلْخَيْرِ عَن ذِكْرِ رَبِّى حَتَّىٰ تَوَارَتْ بِٱلْحِجَاب

… maka dia berkata, “Sesungguhnya aku menyukai segala yang baik (kuda), yang membuat aku ingat akan (kebesaran) Tuhanku, sampai matahari terbenam.”

Makna reflektif-nya:

Sulaiman adalah simbol teknologi. Ke-sulaiman-an pada Diri kita adalah kecendrungan kita untuk menyukai dan mencintai teknologi. Kuda adalah kendaraan berkaki empat, sekarang beroda empat. Kendaraan kita yang sesungguhnya adalah kedua tungkai kita. Kata ‘hijãb’ di ayat ini merujuk pada ‘terbenamnya matahari’… Sulaiman harus berhenti mengagumi kuda2-nya untuk beribadah maghrib. Pada ayat selanjutnya, Sulaiman kembali mengagumi kuda2-nya sambil mengelus tungkai2 dan leher-nya. Pada ayat berikutnya lagi, dikatakan bahwa Allah menguji Sulaiman, dan Sulaiman dibuat terjatuh pada kursinya karena tubuh yang lemah, dan kemudian dia bertobat.

Kecintaan kita pada teknologi kendaraan harus dibatasi oleh kesadaran kita akan kendaraan kita yang sesungguhnya, yaitu kedua tungkai kita untuk berjalankaki. Di saat kita berjalankaki, tubuh kita tegap, susunan tegak, dari ujung tulang ekor (cakra terendah) hingga di atas ujung kepala (cakra mahkota) menjadi aktif dan berfungsi.

Jadi, refleksi kata ‘hijãb’ di ayat ini adalah ketujuh cakra, susunan tegak, alias kesadaran Jiwa.

 

6.      QS. Fushshilat/41:5

وَقَالُوۡا قُلُوۡبُنَا فِىۡۤ اَكِنَّةٍ مِّمَّا تَدۡعُوۡنَاۤ اِلَيۡهِ وَفِىۡۤ اٰذَانِنَا وَقۡرٌ وَّمِنۡۢ بَيۡنِنَا وَبَيۡنِكَ حِجَابٌ فَاعۡمَلۡ اِنَّنَا عٰمِلُوۡنَ

Dan mereka berkata, "Hati kami sudah tertutup dari apa yang engkau seru kami kepadanya dan telinga kami sudah tersumbat, dan di antara kami dan engkau ada dinding, karena itu lakukanlah (sesuai kehendakmu), sesungguhnya kami akan melakukan (sesuai kehendak kami)."

Makna reflektif-nya:

Makna ‘hati kami’ adalah ‘Qalbu’ yang ada di posisi kepala, tepatnya di tengah otak besar alias gudang data/informasi. Qalbu adalah penjaga konteks. Hati yang tertutup artinya Qalbu yang tidak berfungsi sebagai penjaga konteks. Frasa ‘telinga yang tersumbat’ menunjukkan secara jelas, bahwa fungsi cakra tenggorokan tidak berfungsi, sehingga seolah ada dinding pemisah antara penyeru (Allah, rasul, nabi) dengan mereka ini.

Jadi, makna kata ‘hijãb’ pada ayat ini adalah kondisi cakra tenggorokan yang tidak berfungsi.

 

7.      QS. Al-Nur/24:31

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ

"Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan jangan menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya..."

Makna reflektif-nya:

Jika ayat tersebut merujukkan kata خُمُر sebagai kain penutup, khususnya kepala, leher, dan dada perempuan, agar tidak menampakkan perhiasan, menjaga pandangan, dan memelihara kemaluan… maka hal ini mengimplikasikan tentang menjaga fungsi tiga cakra, yaitu cakra ke-6 (cakra mata ketiga), cakra ke-5 (cakra tenggorokan), dan cakra ke-4 (cakra jantung hati).

Kata ‘perhiasan’ yang dimaksud adalah manfaat lain dari leher, yaitu sebagai tempat kalung emas atau kalung mutiara. Makna-nya, bahwa bicara kita, harusnya bernilai emas dan/atau mutiara.=, yaitu yang mengajak ke kebaikan yang haq, sesuai konteks yang dijaga oleh Qalbu, yaitu Rabb-al-Ãlamin (Pemelihara Alam).

Dengan berfungsi-nya ketiga cakra tersebut, maka dengan sendirinya, cakra terendah, yaitu cakra ke-1 (cakra seks) juga terpelihara.

Jadi, Jadi, makna kata ‘khumur’ (bentuk jamak dari ‘khimãr’) pada ayat ini adalah berfungsinya ketiga cakra, yaitu cakra mata ketiga, cakra tenggorokan, dan cakra jantung hati.

 

8.      QS. Al-Ahzab/33:59

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

"Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Makna reflektif-nya:

"Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Makna reflektif-nya:

Istri2 dan anak2 perempuan Nabi, maupun istri2 orang beriman pada Diri kita, adalah aspek femininitas yang bersifat Rahim, yaitu yang memelihara dan menumbuhkan.

Sedangkan frasa ‘kain penutup seluruh tubuh perempuan’ adalah konteks Rabb-al-Ãlamin (Pemelihara Alam) yang menjadi benang merah pemersatu sekaligus penegak dari seluruh cakra yang posisinya bersesuaian dengan tubuh fisik, yaitu cakra ke-1 (cakra sex) hingga cakra ke-6 (cakra mata ketiga), sehingga dengan tegaknya susunan keenam cakra ini, maka tersambunglah ke cakra ke-7, yaitu cakra mahkota yang berada di atas kepala.

Kondisi tegaknya alias berfungsinya susunan cakra ini, membuat pihak-pihak yang akan menyerang dengan kebathilan, akan merasakan bahwa mereka harus mundur, tidak boleh dan tidak bisa mengganggu.

Dan Allah ‘ghafϋr’ dan ‘rahïm’, maknanya adalah bahwa dengan menghidupkan Allah, yaitu memfungsikan Qalbu, maka Allah akan memberi ‘maghfirah2’ alias bukaan2 atau penyingkapan tabir2 rahasia dan misteri kehidupan, dan dengan ‘maghfirah2’ ini, kita dapat menjalani kehidupan kita sesuai fithrah Allah, dan Bahagia.

Jadi, kata ‘jalabïb’ (bentuk jamak dari ‘jilbãb’) bermakna susunan tegak ketujuh cakra yang tegak dan berfungsi. Inilah Jiwa yang hidup.


Demikianlah makna-makna reflektif dari ‘hijãb’ (حِجَاب), ‘khimãr’ (خِمار), dan ‘jilbãb’ (جِلْبَاب) yang muncul dari proses berfikir alias bertafakkur, dan berenung. Teman-teman pembaca tidak harus mengikuti hasil perenungan ini, karena kalian juga mampu merenungkan sendiri kebenaran ayat2 suci al-Qur'an. Potensi ini ada pada setiap Diri insãn. Insya'Allah. 

 

Al-Haqqu min Rabb.

 

Mengwitani, Bali, Senin, 9 Rajab 1447 / 29 Desember 2025

 

#nitasung

#refleksi

#perenungan

#iqra

#iqrakitaabaka

 

Sabtu, 18 Oktober 2025

AHL-AL-BAYT

Aku setuju, bahwa “Ada dua pusaka Muhammad Rasulullah, yaitu Kitabullah dan Ahlulbaiti”; selanjutnya, Kitabullah akan aku tuliskan sebagai al-Qur’an, dan Ahlulbaiti, juga akan aku tuliskan sesuai bunyi tekstualnya dalam al-Qur’an, yaitu Ahl-al-Bayt. Ini disebut juga Hadits Tsaqalain (Dua Pusaka).

Namun, sebelum masuk ke pembahasan, kita perlu menyadari suatu hal penting, yaitu:

Pernyataan di atas adalah apa yang disebut sebagai 'hadits shahih', diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari kalangan Syi’ah maupun Sunni. Jadi bukan termuat dalam al-Qur’an, apalagi secara eksplisit.

Sejak November 2000, setelah menjalani Pendidikan dan pelatihan Tauhid, rujukan aku dalam penerimaan hal-hal yang haq, adalah pertama al-Qur’an, kedua al-Qur’an, dan ketiga juga al-Qur’an. Artinya, bukan ‘hadits’ yang menjelaskan al-Qur;an, tapi sebaliknya. Aku hanya menerima suatu ‘hadits’ itu shahih jika dan hanya jika dapat dijelaskan oleh salah satu atau beberapa ayat al-Qur’an.

Dari sikap ini, aku tentu saja tidak sulit menerima bahwa al-Qur’an adalah pusaka Muhammad Rasulullah yang utama. Bagaimana dengan pusaka kedua, yakni Ahl-al-Bayt ?

Setelah aku renungkan beberapa kali, pemaknaan 'hadits shahih' ini oleh pada umumnya umat Islam, baik Sunni maupun Syi'ah, kurang tepat, karena tidak terpusat pada diri tiap individu.

Menurut kalangan Islam Sunni, Ahl-al-Bayt adalah sebutan kemuliaan bagi Nabi Muhammad dan keluarga, yaitu Nabi Muhammad, semua istrinya, Fatimah, Ali bin Abi Thalib, Hasan, Husein, dan serta seluruh keturunannya dalam garis darah (nasab), dan seluruh keturunan Bani Hasyim.

Menurut golongan Islam Syi’ah, Ahl-al-Bayt adalah sebutan kemuliaan bagi Nabi Muhammad, Fatimah, Ali bin Abi Thalib, Hasan, Husein, dan para imam Syi’ah yang merupakan keturunan mereka dalam garis darah (nasab).

Sebelum membahas makna pusaka kedua ini, kita perlu menegaskan dulu makna pusaka pertama.


Pusaka Pertama : Al-Qur’an


Jika kita mengamalkan pusaka pertama dan utama, yaitu al-Qur'an, maka dapat berpegang pada dasarnya, disebutkan dalam al-Qur’an bahwa al-Qur'an sebagai Kitabullah adalah 'Hudallinnãs'.

Nah, makna 'Hudallinnãs' ini kunci untuk berpedoman pada al-Qur'an secara reflektif, terpusat pada diri individu yang membacanya.

Dalam Al-Qur'an, frasa "Hudallinnãs" yang berarti "petunjuk bagi manusia" disebutkan pada Surah Al-Baqarah/2:185 dan Surah Ali-Imran/3:3-4. Kedua ayat ini menegaskan fungsi Al-Quran sebagai pedoman hidup yang universal dan inklusif bagi seluruh umat manusia, bagi setiap individu, untuk mencapai kebaikan dan kebenaran di dunia dan akhirat.

QS. Al-Baqarah/2:185

مشَهۡرُ رَمَضَانَ الَّذِىۡٓ اُنۡزِلَ فِيۡهِ الۡقُرۡاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَ بَيِّنٰتٍ مِّنَ الۡهُدٰى وَالۡفُرۡقَانِۚ فَمَنۡ شَهِدَ مِنۡكُمُ الشَّهۡرَ فَلۡيَـصُمۡهُ ؕ وَمَنۡ کَانَ مَرِيۡضًا اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ اَيَّامٍ اُخَرَؕ يُرِيۡدُ اللّٰهُ بِکُمُ الۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيۡدُ بِکُمُ الۡعُسۡرَ وَلِتُکۡمِلُوا الۡعِدَّةَ وَلِتُکَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰٮكُمۡ وَلَعَلَّکُمۡ تَشۡكُرُوۡنَ

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai Petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.

QS. Ali Imran/3:3-4

نَزَّلَ عَلَيۡكَ الۡـكِتٰبَ بِالۡحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ وَاَنۡزَلَ التَّوۡرٰٮةَ وَالۡاِنۡجِيۡلَۙ‏

مِنۡ قَبۡلُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَاَنۡزَلَ الۡفُرۡقَانَ  ؕ‌ اِنَّ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا بِاٰيٰتِ اللّٰهِ لَهُمۡ عَذَابٌ شَدِيۡدٌ  ‌ؕ وَاللّٰهُ عَزِيۡزٌ ذُو انۡتِقَامٍؕ

Dia menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) yang mengandung kebenaran, membenarkan (kitab-kitab) sebelumnya, dan menurunkan Taurat dan Injil,

Sebelumnya, sebagai Petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al-Furqan. Sungguh, orang-orang yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh azab yang berat. Allah Mahaperkasa lagi mempunyai hukuman.


Secara morfologi, frasa "Hudallinnãs" (هُدًى لِّلنَّاسِ) merupakan gabungan dari kata 'huda' atau 'hudan' (petunjuk), kata 'li' (bagi), dan kata 'an-nãs' (manusia).

Al-Qur'an berfungsi sebagai 'Hudallinnãs' karena memberikan petunjuk dan pedoman mengenai segala aspek kehidupan manusia. Ini termasuk petunjuk dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan.

Al-Qur'an adalah petunjuk yang bersifat universal dan inklusif. Konsep ini menekankan sifat Al-Quran yang tidak hanya ditujukan untuk kelompok tertentu, melainkan untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Dan karenanya, perlu direfleksikan ke diri sendiri, ke diri yang membacanya.

Dengan perkataan lain, bahwa setiap kata, setiap frasa, setiap kalimat, setiap ayat al-Qur'an adalah tentang diri kita sendiri, yaitu tentang hal-hal yang ada dan inheren di diri kita dan dalam kehidupan kita sendiri saat ini,


Pusaka Kedua : Ahl-al-Bayt


Secara etimologis, frasa 'Ahl-al-Bayt' berasal dari bahasa al-Qur'an yang berarti ahli rumah atau keluarga se-rumah.

Adapun kata 'bayt' yang berdiri sendiri, merujuk pada 'bayt-Allah' (Baitullah) yaitu Ka'bah, dan 'bayt-al-Maqdis' (Baitul-Maqdis), yaitu Masjidil-Aqsa. Ada dua ayat al-Qur'an yang masing-masing memuat kata 'bayt' (بَيۡتِىَ) sebanyak 2 kali, yaitu:

Al-Baqarah/2:125

وَاِذۡ جَعَلۡنَا الۡبَيۡت مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَاَمۡن  وَاتَّخِذُوۡا مِنۡ مَّقَامِ اِبۡرٰهٖمَ مُصَلًّى‌ ؕ وَعَهِدۡنَآ اِلٰٓى اِبۡرٰهٖمَ وَاِسۡمٰعِيۡلَ اَنۡ طَهِّرَا بَيۡتِىَ لِلطَّآٮِٕفِيۡنَ وَالۡعٰكِفِيۡنَ وَالرُّکَّعِ السُّجُوۡدِ

Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah maqam Ibrahim itu tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, orang yang i'tikaf, orang yang rukuk dan orang yang sujud!"

Al-Hajj/22:26

وَاِذۡ بَوَّاۡنَا لِاِبۡرٰهِيۡمَ مَكَانَ الۡبَيۡتِ اَنۡ لَّا تُشۡرِكۡ بِىۡ شَيۡـًٔـا وَّطَهِّرۡ بَيۡتِىَ لِلطَّآٮِٕفِيۡنَ وَالۡقَآٮِٕمِيۡنَ وَ الرُّكَّعِ السُّجُوۡدِ

Dan (ingatlah), ketika Kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), "Janganlah engkau mempersekutukan Aku dengan apa pun dan sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang thawaf, dan orang yang beribadah dan orang yang rukuk dan sujud.


Bahkan ada 3 ayat al-Qur’an yang secara eksplisit memuat frasa ‘Ahl-al-Bayt’, yaitu:


Hud/11:73

قَالُوۡۤا اَتَعۡجَبِيۡنَ مِنۡ اَمۡرِ اللّٰهِ‌ رَحۡمَتُ اللّٰهِ وَبَرَكٰتُهٗ عَلَيۡكُمۡ اَهۡلَ الۡبَيۡتِ‌ؕ اِنَّهٗ حَمِيۡدٌ مَّجِيۡدٌ

Mereka (para malaikat) berkata, "Mengapa engkau merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat dan berkah Allah, dicurahkan kepada kamu, wahai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji, Maha Pengasih."

Di dua ayat sebelumnya, berbunyi:

وَامۡرَاَ تُهٗ قَآٮِٕمَةٌ فَضَحِكَتۡ فَبَشَّرۡنٰهَا بِاِسۡحٰقَ ۙ وَمِنۡ وَّرَآءِ اِسۡحٰقَ يَعۡقُوۡبَ‏

Dan istrinya berdiri lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan setelah Ishaq (akan lahir) Yakub.

قَالَتۡ يٰوَيۡلَتٰٓى ءَاَلِدُ وَاَنَا عَجُوۡزٌ وَّهٰذَا بَعۡلِىۡ شَيۡخًا ​ؕ اِنَّ هٰذَا لَشَىۡءٌ عَجِيۡبٌ‏

Dia (istrinya) berkata, "Sungguh ajaib, mungkinkah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua, dan suamiku ini sudah sangat tua? Ini benar-benar sesuatu yang ajaib."

 

Al-Qashash/28:12

وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ الْمَرَاضِعَ مِنْ قَبْلُ فَقَالَتْ هَلْ اَدُلُّكُمْ عَلٰٓى اَهْلِ بَيْتٍ يَّكْفُلُوْنَهٗ لَكُمْ وَهُمْ لَهٗ نٰصِحُوْنَ

Kami mencegah-nya (Musa) menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(-nya/Musa) sebelum kembali (ke pangkuan ibunya). Berkatalah dia (saudara perempuan Musa), “Maukah aku tunjukkan kepadamu keluarga yang akan memelihara-nya (Musa) untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?”

 

Al-Ahzab/33:33

وَقَرۡنَ فِىۡ بُيُوۡتِكُنَّ وَلَا تَبَـرَّجۡنَ تَبَرُّجَ الۡجَاهِلِيَّةِ الۡاُوۡلٰى وَاَقِمۡنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيۡنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعۡنَ اللّٰهَ وَرَسُوۡلَهٗ ؕ اِنَّمَا يُرِيۡدُ اللّٰهُ لِيُذۡهِبَ عَنۡكُمُ الرِّجۡسَ اَهۡلَ الۡبَيۡتِ وَيُطَهِّرَكُمۡ تَطۡهِيۡرً

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

Ada dua ayat sebelumnya merujuk pada istri-istri Nabi (Muhammad), yaitu sebagai berikut:

يٰنِسَآءَ النَّبِىِّ مَنۡ يَّاۡتِ مِنۡكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ يُّضٰعَفۡ لَهَا الۡعَذَابُ ضِعۡفَيۡنِ ​ؕ وَكَانَ ذٰ لِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيۡرًا‏

Wahai istri-istri Nabi! Barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya. Dan yang demikian itu, mudah bagi Allah.

وَمَنۡ يَّقۡنُتۡ مِنۡكُنَّ لِلّٰهِ وَرَسُوۡلِهٖ وَتَعۡمَلۡ صَالِحًـا نُّؤۡتِهَـآ اَجۡرَهَا مَرَّتَيۡنِۙ وَاَعۡتَدۡنَا لَهَا رِزۡقًا كَرِيۡمًا‏

Dan barangsiapa di antara kalian (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan kebajikan, niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki yang mulia baginya.


Dari ketiga ayat yang memuat frasa ‘ahl-al-bayt’ ini, bukan hanya tentang Nabi Muhammad dan keluarga (karena hubungan darah dan pernikahan), namun juga tentang Nabi Ibrahim dgn istrinya (ibunda Ishaq), Ishaq, dan Ya’qub, juga tentang Nabi Musa dan ibu susuannya, yang tidak lain adalah juga ibu kandungnya.

Dan, agar tidak hanya terpaku pada sejarah dan masa lalu, maka ayat-ayat tersebut perlu diproyeksikan atau direfleksikan pada diri kita sendiri, yang membaca ayat-ayat ini. Jika kata dan frasa ini direfleksikan pada diri kita sendiri, dan jika diselami hingga ke akar-spiritual-nya, maka makna universal dan inklusif-nya adalah...

Bahwa setiap insãn, setiap individu, yang di Qalbu-nya bersemayam Allah, maka dia adalah seorang Ahl-al-Bayt. Karena, Allah hanya bersemayam di Qalbu insãn yang masih berfungsi, yaitu Qalbu yang menjaga konteks berfikir dan berenung.

Dalam al-Qur'an, ada 6 kata sinonim utama dari fungsi aqal yang terpimpin oleh Qalbu, yang dapat digambarkan sebagai berikut:





Ilustrasi di atas, yang berbentuk heksagonal atau segi enam, bersesuaian dengan bentuk dasar unit sarang lebah, dan juga menyerupai isometrik dari Ka'bah alias Baitullah. Dan ini bisa juga disesuaikan dengan simbol ahlulbait versi syi'ah yang pentagonal (segi lima), dengan menambahkan Khadijah, sehingga genap 6 sudut, yaitu Muhammad, Khadijah, Fatimah, Ali, Hasan, dan Husain. Dalam hal ini, Khadijah mewakili 'istri-istri' Nabi yang disebutkan dalam surat Al-Ahzab/33:33.

Dalam nama mereka berenam, juga ada makna kemampuan dan fungsi dari sinergi aqal dan qalbu, yang tentunya, potensinya juga ada pada setiap individu manusia.


Ada suatu hadits qudsi (Imam Abu Dawud) yang berbunyi sebagai: “Tidak dapat memuat zat-Ku di bumi dan di langit, kecuali qalbu hamba-Ku yang beriman, lunak dan tenang.”

Hadits tsb. bisa didukung kebenarannya dengan memahami makna surat Qaf/50:16, sebagai berikut:

وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهٖ نَفۡسُهٗ ۖۚ وَنَحۡنُ اَقۡرَبُ اِلَيۡهِ مِنۡ حَبۡلِ الۡوَرِيۡدِ

Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh kesadaran-nya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.

Ayat di atas juga memberi petunjuk tentang letak qalbu pada diri seorang insan. Dan lebih ditegaskan lagi dengan ayat pada Al-Hajj/22:46, sebagai berikut:

اَفَلَمۡ يَسِيۡرُوۡا فِى الۡاَرۡضِ فَتَكُوۡنَ لَهُمۡ قُلُوۡبٌ يَّعۡقِلُوۡنَ بِهَاۤ اَوۡ اٰذَانٌ يَّسۡمَعُوۡنَ بِهَا‌ ۚ فَاِنَّهَا لَا تَعۡمَى الۡاَبۡصَارُ وَلٰـكِنۡ تَعۡمَى الۡـقُلُوۡبُ الَّتِىۡ فِى الصُّدُوۡرِِ

Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati (qalbu) yang di dalam shudur.

Qalbu berada di dalam shudur, di tengah-tengah shudur, dan shudur adalah fungsi otak besar sebagai gudang memori, data dan informasi. Qalbu juga merupakan portal antara dunia fisik dan dunia spiritual. Jadi Qalbu bukanlah sesuatu berwujud fisik sebagaimana organ jantung atau organ hati. Qalbu adalah sesuatu di dimensi metafisik, terletak pada puncak tubuh nabati kita, atau lebih sering disebut jiwa.

Qalbu memimpin Aqal untuk menerjemahkan persepsi inderawi ke persepsi spiritual, sehingga insãn tersebut dapat meng-hamdu-kan Diri-nya, mewakili Allah untuk berperan sebagai Rabb-al-Alamin (pemelihara alam). Qalbu memimpin Aqal dalam meng-iqra’ fenomena-fenomena alam maupun fenomena-fenomena social yang sebenarnya bisa juga disebut sebagai ‘qalamullah’ atau Qalam Allah, yaitu ayat-ayat Allah yang bertebaran di kehidupan ini dan dapat dicerap oleh panca indera kita.

Dari renungan demi renungan, aku sampai pada kesadaran bahwa nama 'muhammad' perlu dimaknai secara universal dan inklusif, yaitu tingkat qualitas seorang insãn, yakni orang yang meng-hamdu-kan Diri-nya, untuk berperan sebagai Rabb-al-Alamin. Dari makna setiap huruf dalam nama tersebut: mim pertama bermakna ‘manusia ya’, ha bermakna ‘pendengaran yang melihat’, mim kedua bermakna ‘penglihatan yang mendengar’, dan huruf dal bermakna ‘dabbaru’ yaitu fungsi Qalbu. 

Jadi, secara universal dan inklusif, nama Muhammad menunjukkan tingkat qualitas seorang insãn, yakni orang yang meng-hamdu-kan Diri-nya.

Untuk meng-iqra’ Qalam Allah inilah maka peran dan qualitas muhammad perlu dihidupkan pada diri kita, setiap individu manusia, setiap insan.

 

Pemaknaan Ahl-al-Bayt yang mem-Bumi.

 

Bisa jadi, 'ahl-al-bayt' juga bermakna 'ahli-ekologi' atau orang yang memahami dan menjalankan sistem kehidupannya secara natural dan supra-natural. Pemikiran ini muncul berdasarkan kesesuaian makna ‘bayt’ dan ‘oikos’.

Bukankah 'eko' alias 'oikos' bermakna 'rumah' atau habitat ?

Bukankah 'bayt' juga berarti 'rumah' dan 'baitullah' atau 'baytAllah' adalah 'tempat bersemayamnya Allah' yaitu 'Qalbu' ?

Bukankah rumah yang ekologis bisa menjadi habitat bagi beragam makhluq, baik vegetasi maupun satwa..? Mereka semua makhluq2 ciptaan Allah bahagia berada di rumah yang ekologis.

Ada benarnya slogan 'Home is where the Heart is'.

Jadi, 'ahl-al-bayt' adalah setiap insan yang berperan sebagai 'rabb-al-ãlamin'.


Catatan:

Tulisan ini masih akan diperbaikin sana-sini.


Senin, 03 Februari 2025

DURI MAWAR MERAH

Senin sore, 27 Januari 2025, Aisya menangis setelah mendengar musik dari hape yang disambung ke ‘speaker’ tanpa kabel. Sudah biasa sih, dia menangis atau tertawa sendiri saat menikmati musik secara intens. Tapi, kali ini, dia menangis sambil menyebut-nyebut “Nenek”… Aku tanya, “Nenek kenapa, Sya..?” Dia tidak menjawab, seperti biasa. Aku tanya ke adikku, katanya, Nenek baik-baik saja.

Tidak lama kemudian, sekitar saat magrib, Aisya berlari keluar rumah, lewat pintu pagar yang dia buka secara serampangan, menuju jalan desa. Aku tidak mengejarnya, namun berjaga-jaga dengan memasang pendengaran. Ada bunyi anjing-anjing menggonggong, seperti biasa, tapi Aisya tidak pernah takut pada anjing, dan anjing2 tidak berani menyerangnya. Sebaliknya, anjing2 biasanya bisa langsung berteman dengan Aisya.

Aku duduk di kursi putar depan meja yang menghadap jendela dengan pemandangan pekarangan depan dan pagar bambu bikinanku sendiri. Tiba-tiba aku dengar ada suara teriakan, itu mirip suara Aisya, ada teriakan lagi, dan aku yakin itu dari Aisya.

Aku bergegas keluar, dan berpapasan dengan tetangga kami, seorang bapak, pensiunan polisi, pemilik warung di seberang kantor camat. Beliau mengatakan, “Bu, anaknya tuh…” Aku langsung bisa melihat Aisya sedang terbaring di trotoar depan warung milik Pak (pensiunan) Polisi. Aisya menangis seperti anak kecil, aku mendekatinya, langsung memungut hape yang tergeletak di sampingnya, sambil menegurnya, “Aisya…” Dia melihatku, duduk, dan langsung merampas hapenya dari tanganku. Si Bapak (pensiunan) Polisi, bicara pada Aisya, “Pulang, Nak… Tidak baik menangis di sini.” Aisya bangkit berdiri, dan berjalan setengah berlari ke arah rumah kami. Aku mengikuti tanpa terburu-buru, namun tetap mengawasinya. Ternyata dia tidak masuk ke pekarangan kami, tapi terus ke pekarangan tetangga sebelah. Di situ jarang ada orang, penghuninya adalah empat orang pekerja konstruksi yang biasanya pulang agak malam.

Aku masuk ke rumah, dan kembali duduk di kursi putar tadi, mengawasi pemandangan pintu pagar yang kubiarkan terbuka, sambil membaca mantra-mantra Cinta, Al-Faatihah, dan 3-Qul.

Beberapa saat berselang, aku melihat Aisya masuk melalui pagar, dia masuk rumah, langsung ke kamarnya. Aku tetap di posisiku, tetap merapal mantra, dan siaga dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Aisya sangat tidak mudah ditebak. Sebagai penyintas ‘Bipolar Disorder’ dia bisa berubah dari ekstrim manik ke ekstrim depresif, dan sebaliknya, secara tiba-tiba. Sudah lama sih, sejak November 2018, dia tidak ngamuk yang bersifat destruktif, tapi sekarang aku mulai khawatir.

Dia masuk ke kamar di mana aku duduk. Terdengar suaranya lirih, “Ma…” Dia mendekatiku, dan memegang tanganku. Sangat jarang dia menyentuhku, dan diapun tidak mau aku sentuh. Aku menoleh ke wajahnya, seraya berdiri dan memeluknya. “Kau kenapa, Sya? Biarkan mamak tahu jika kau punya masalah, agar kita bisa hadapi bersama. Berhadap-hadapan dan berdiri, tapi dia tidak mau menatap mataku, dia biacara, “Ma, kita pindah kembali ke Jakarta ya, Aisya kangen Nenek, kangen Kakek, dan Aisya bosan di sini.”

Aku memegang lengannya, “Mamak sayang ko, Aisya… tapi jika ini masalahnya dan permintaanmu, mamak nggak bisa jawab sekarang, mamak perlu pikirkan dan renungkan dulu. Mungkin jika kita sekadar berkunjung beberapa hari di Jakarta, mamak bisa langsung setuju, itupun dengan syarat mamak nggak naik pesawat.

Aisya bicara lagi, “Ma, kita sudah lama tinggal di sini, kok mama nggak bosan?” Dia lanjut, “Mama nggak kangen Nenek, Kakek, dan Ancha…?” Dan aku pun jawab sebagaimana apa yang aku rasakan, “Aisya, mamak menyayangi Nenek, Kakek, Ancha, dan semua keluarga kita.” Aku diam sebentar, lalu lanjut, “Dan, karenanya, mereka semua mamak hidupkan di dalam benak mamak ini.” Sambil kedua tanganku kuangkat di kedua sisi kepalaku. Aisya menimpali, “Jadi, mama nggak pingin ketemu mereka?”. Aku lanjut, “Sya, walaupun secara fisik kita berjauhan dengan mereka, tapi bagi mamak, secara mental, mereka tetap dekat dengan mamak, sering ketemu dalam mimpi.”

Aisya bergegas ke kamarnya, ambil hape, dan memperlihatkan foto-foto Nenek, Kakek, dan anggota keluarga kami yang ada di akun IG adikku, Dio. Aisya sambil bicara, “ Belum lama ini, Kakek jalan-jalan di Eropah, Ma… ke Paris, Italia, dan Wina”. Aku menimpali, “ya, Sya… Kakek jalan-jalan dengan teman-teman-nya, beberapa bulan lalu… mungkin dengan teman-teman kerja, karena Kakek kan masih kerja di kantor redaksi majalah.

Aku coba tebak perasaan Aisya. Dia mungkin rada cemburu melihat keluarga kami pada senang jalan-jalan. Aku berkomentar, “Mamak senang melihat mereka senang, sehat, dan tampaknya bahagia.” Kata Aisya, “Tapi Nenek kelihatan kurus ya, Ma…” Aku menimpali, “ya, Sya… tapi nggakpapa begitu, daripada kegemukan, malah gampang sakit2an, kan?!” Aisya menawarkan untuk mengirimkan foto2 itu padaku via WA-chat. Aku terima dan bales dengan ungkapan terimakasih.

Aisya sempat bilang begini, “Ma, Aisya bisa kok usahakan agar Mama dan Nenek bisa tinggal bareng lagi. Nenek itu sebenarnya sayang Mama.” Aisya Kembali ke kamarnya dan dengarkan musik.

Aku kemudian makan, lalu buka hape untuk mendengarkan rekaman bacaanku, sambil menyisir rambut. Kemudian, aku menyapu lantai kamar tidurku, juga teras dan dapur. Aku merasa perlu melakukan ritual thawaf, mengelilingi ruang-ruang dalam rumah, 7 putaran sambil membaca Al-Faatihaah, dan 3 putaran, masing2 putaran sambil membaca Al-ikhlas, lalu Al-Falaq, dan pada putaran teakhir dengan Al-Naas.

Aku pun tidur. Sempat terbangun 2 kali untuk pipis dan minum air. Di meja dapur, tampak mangkuk bekan dia makan mie instan. Aku kembali ke kamarku dan tidur lagi.

Pada Selasa pagi, 28 Januari 2025, setelah senam, aku kirim beberapa pesan ke adikku, Aco… menceritakan tentang kejadian sore hingga tadi malam. Aku nggak peduli dia respon atau tidak, tampaknya sih di abaca, karena centang dobelnya biru. Lewat tengah hari, yaitu pkl. 13:45 ada balasan dari adikku, Aco, “Semoga ada solusi Ket.”

Sorenya, aku nawarin Aisya, jika besok dia mau jalan-jalan ke Kuta naik bus, dia boleh bawa kartu atm punyaku, dan gunakan uang Rp 50 ribu. Dia jawab, “Nggak mau.” Lewat waktu magrib, dia bilang, “Ma, pinjam kartu atm, mau ke Indomaret, Aisya pinjam uangnya ya!” Sambil memberikan kartu atm, aku bilang, “Jika kau narik atau gunakan kurang dari Rp 50 ribu, nggak perlu ngutang, ambil saja, Sya.

Sekembalinya, dia merokok di kamarnya. Aku makan di kamar depan, yang pintunya nyaris berhadapan dengan kamar Aisya. Tidak lama kemudian, dia tanya, “Ma, punya korek kah?” Aku ke dapur, tinggal ini, korek kayu, Sya. Kenapa tadi nggak sekalian beli korek waktu beli rokok di Indomaret, Sya?” Dia nggak jawab. Aku lanjutkan makan.

Ketika aku membawa piring dan mangkuk ke dapur untuk kucuci, kulihat dia menyalakan kompor untuk bakar rokok. Aku nggak menegurnya, hanya berniat, agar besok aku akan membelikan dia korek gas.

Malamnya, Adikku Aco tanya, “Bagaimana mi Aisya?” Aku jawab, “Sekarang sudah lebih baik daripada kemarin. Tadi siang dia tidur agak lama, sampai sore.”

Malam itu, beberapa kali Aisya nyalakan rokok dengan api kompor. Aku membathin, “Duh, nih anak, serba boros, deh!” Dari kamarnya terdengar musik dengan volume yang kedengaran jelas hingga di kamar-tidur-ku.

Rabu pagi, 29 Januari 2025, aku minta Aisya menyediakan waktunya tujuh menit untuk kami biacara. Di ruang tempat aku biasa menulis dan makan, kami berdua dengan posisi berbeda, aku duduk di kursi putar, dan dia berdiri dekat sofa bambu bikinanku, dia nggak mau duduk. Aku bicara, “Sya, tentang kita ke Jakarta ya… Mamak nggak bisa pindah ke sana, tapi bersedia berkunjung beberapa hari.” Dia mendengarkan, tapi tidak mau menatap wajahku, apalagi ke mataku. Aku lanjut, “Sya, kau boleh tatap mata mamak, agar kau tahu bahwa mamak bicara dari hati.” Dia cuek aja, tetap nggak mau menatapku, seraya berkata, “Jadi gimana, Ma?” Aku lanjutkan bicara, “kau punya dua pilihan, Sya. Pertama, jika kau bersedia naik bis, mamak bisa menemanimu, kita bareng ke Jakarta, dan pulang bareng. Kedua, jika kau tidak mau naik bis, hanya mau naik pesawat, mamak nggak ikut. Jadi kau pergi ke Jakarta dan pulang ke Bali sendiri. Kau pilih mana?” Dia menjawab singkat, “Aisya sendiri saja.” Dia bergegas Kembali ke kamarnya.

Pagi itu, aku juga kirim pesan WA ke adikku Aco, bahwa sebaiknya jika Aisya jadi ke Jakarta, jangan lebih dari 3 hari, soalnya diam makin seenak udel-nya, kasihan Nenek dan Kakek, nanti mereka bisa sakit karena Aisya.

Sepanjang hari ini, Aisya hanya di kamarnya, atau ke dapur atau ke kamar mandi. Aku ikut dengar lagu-lagu yang melantun dari kamarnya, Dewa-19, ada Laskar Cinta. Kemudian ada juga lagu berbahasa Korea yang berirama sedih, lalu musik keras dari North True. Aku sendiri lebih banyak di luar rumah, di pekarangan, dan di teras bermain bambu. Aku juga ke Beji (mata air) untuk mengambil air minum.

Hari ini aku goreng kentang dua kali untuk Aisya, pagi dan sore. Siangnya aku bikinkan nasi goreng dengan lauk bakso goreng. Aku makan setelah magrib. Setelah makan, aku bernyanyi dengan suara agak kencang, dan sambil mengikuti teks lirik lagu di hape-ku. Aku lalu menyisir rambut, dan menjepit gulungannya. Aku lihat pintu kamar Aisya tertutup rapat. Mungkin dia sudah tidur, karena nggak ada lagi suara musiknya.

Kemudian, aku menyapu dan mengepel kamar-tidur-ku, menyiapkan alas-tidur-ku, lalu melakukan ritual thawaf mengelilingi ruang kamar-tidur-ku ini dengan mantra-mantra Cinta, 7 putaran dengan bacaan al-Faatihah, 3 putaran, berturut-turut dengan Al-ikhlash, Al-Falaq, dan Al-Naas. Aku rebahan, siap tidur kira-kira pukul 22:15, sambil mendengarkan rekaman bacaan-ku tentang Sejarah Rahasia. Pintu kamar, seperti biasanya kubiarkan terbuka setengah, agar ada sedikit cahaya lampu dari kamar mandi, karena aku nggak suka terang lampu. Kamarku kubiarkan tanpa lampu.

Tiba-tiba, aku terbangun karena merasa Aisya masuk ke kamarku. Ya, tampak siluet dirinya, karena ada cahaya lampu remang-remang dari kamar mandi. Aku tegur, “Kenapa, Sya..? Ada kok persediaan mie di kardus di ruang tengah.” Dia diam, tapi bergerak mendekatiku. Di duduk atau jongkok, yang jelas dia bisa langsung menjangkau diriku yang sedang berbaring di lantai. Begitu tiba-tiba, aku menyadari bahwa dia menusukku dengan suatu benda tajam. Aku coba melindungi diri, dan berupaya menahan tangannya, dalam suasana remang-remang , aku bisa tangkap kedua pergelangan tangannya. Di begitu kuat. Aku mengucap agak keras, “Astagfirullah! Astagfirullah! Astagfirullah! Aisya, sadar ko!” Dia masih berupaya menyerangku. Aku lalu berteriak, berharap tetangga sebelah mendengar teriakanku dan datang menolongku. “Tooloong! Toolooong! Toolooong!” Eh, lucunya, Aisya ikut berteriak, “Tooloong! Toolooong! Toolooong!”. Aku putuskan agar kami ber-sama-sama keluar rumah, kedua pergelangan tangannya tetap kucengkeram erat, tapi justru dia yang seolah menarikku untuk keluar rumah. Entah bagaimana, kami bisa membuka pintu pagar, yang memang hanya digeser ke samping.



Kami berdua sudah ada di jalan dusun, sama-sama telanjang kaki. Ada pengendara sepeda motong, aku teriak minta tolong, tapi pengendara itu berlalu. Kami bergerak, sudah nggak jelas sia menarik siapa, aku hanya memastikan bahwa kedua tangannya berada dalam cengkeramanku, karena aku rasa dia masih pegang benda tajam itu. Akhirnya, kami sampai di depan rumah kepala dusun. Aku berteriak, “Pak Dusun, tolong!” Beberapa kali kuulang, baru tampak kepala Pak Dusun dari balik pintu pagarnya.

Pak Dusun melihat kami, tidak segera keluar, atau membuka pintu pagarnya, aku bicara agak keras, “Pak, tolong aku, warga bapak… Anakku ini menusukku, Pak, ini kondisi darurat, Pak!” Beliau pun keluar dan mengambil apa yang dipegang Aisya. Ternyata itu gagang pisau dapur, mata pisaumya sudah nggak ada, rupanya patah dan entah lepas di mana. Aku pun melepaskan cengkramanku di pergelangan tangan Aisya. Dia jatuh terduduk di depan pintu pagar rumah Pak Dusun.

Ada seorang lelaki juga, warga dusun ini, yang mendekat. Aku bicara pada mereka berdua, Pak, tolong telpon pecalang, agar anak ini diamankan. Pak Dusun bilang, “Kok panggil pecalang?” Aku lanjut mendesak, “Telpon polisi, Bhabinsa, Pak! Ini kondisi darurat. Tolong kami, Pak”.

Aisya mulai celoteh, “Pak, ini orang yang bikin keluarga kami hancur.” Pak dusun sempat menanyai Aisya, “Kenapa kau tusuk mamakmu?” Aisya lanjut celotehnya, “Aisya dengar, mungkin Ancha atau siapa tuh yang bilang, Mpok, hati-hati nanti dibakar oleh perempuan beruban ini, dia jahat, ambil pisau di dapur dan tusuk saja sampai mati!”

Pak Dusun mengambil air, untuk aku mencuci tangan yang berdarah, sumber darah paling deras adalah dari atas bibir dan kepala sebelah kanan.

Aisya masih bicara, “Aduh, Aisya jadi terkena darahnya juga. Ihhh! Darahnya amis! Sudah gitu pakai baju merah! Darah merah, baju merah! Perempuan ini susah sekali matinya, padahal sudah sakratul maut.”

Tidak lama kemudian ada mobil polisi, ternyata Pak Gede Suastika (Bhabinkamtibmas), dan seorang rekannya, juga berpakaian polisi, yang belakangangan aku ketahui Namanya, Pak Nyoman. Pak Gede mendekati kami. Aku langsung mengingatkan. “Pak kejadian lagi nih, dulu, November 2018, Bapak juga yang tolong kami. Yang sekarang ini lebih parah, Pak”. Pak Gede melihat kondisiku, katanya, kami harus bergegas cari penanganan medis. Aku bilang, tolong prioritaskan anak tyang, Pak! Dia perlu ditangani ahli-nya di RSJ Bangli. Pak Nyoman bilang, “Nggiih, kita tangani dua-duanya, ada KTP-nya?” Aku segera meminta beliau menemaniku ke rumah untuk aku ambil dokumen-dokumen yang mungkin diperlukan, sekaligus aku ambil pakaian Aisya sekenanya, satu celana dalam, satu kaos atasan dan celana jins kulot, serta sandalnya.

Di kamarku, kusempatkan memfoto TKP, dan juga memfoto wajahku yang masih berlumuran darah. Aku bergegas ganti pakaian, dan melengkapi tas selempangku dengan hape dan dompetku, juga dompet Aisya dan satu tas plastik berisi obat dan dokumen medis Aisya yang kutemukan di laci mejanya. Ohya, aku juga bawa air minum di botol Tupperware.

Dengan berkendara mobil polisi itu, kami ke Kantor PolSek. Di sana ada Pak dan Bu Kosan kami, yang adalah adik ipar Pak Dusun. Kata Bu Kosan, aku harus ke Puskesmas 24 jam di Bajera, agar luka-luka-kubisa segera ditangani, tampaknya perlu dijahit. Aisya menghampiriku, seraya berkata, “Mama, maafkan Aisya.” Aku pun memeluknya, dan berkata, “Iya, Sya… bukan salah Aisya, karena Aisya nggak sadar melakukannya.”

Aku mengeluarkan celana jins Aisya dari tas, lalu membantunya memakainya, juga sandalnya. Aku bilang ke Bu Kosan, titip Aisya, Bu… tyang mau diantar ke Puskesmas dulu.” Jadi, Aisya menunggu di Kantor PolSek, ditemani Pak dan Bu Kosan, serta Pak Dusun. Belakangan, aku tahu dari Pak Kosan, Ketika Buk Kosan tanya Aisya, kenapa bisa menyerang mamaknya yang sedang tidur, kata Aisya, ada suara-suara yang menyuruhnya mencincang tubuh mamaknya.

Aku diantar ke Puskesmas oleh Pak Gede, Pak Nyoman, dan Pak Agung. Di perjalanan ini, aku sempatkan kirim foto TP dan wajah-ku yang mengerikan ke adikku Aco, dan ke anakku Ancha. Rupanya itu pkl. 00:21 am, tanggal 30 Januari 2025. Jadi, bisa kuperkirakan, bahwa momen aku ditusuk Aisya itu kira-kira pkl. 23:45 atau 23:50 tanggal 29 Januari 2025.

Di Puskesmas Bajera, luka-lukaku dibersihkan dengan antiseptic, lalu diperban. Kata paramedisnya, beberapa luka perlu dijahit, terutama yang di atas bibir, tapi Puskesmas tidak punya benang untuk kulit muka, jadi dirujuk ke RSUD. Aku sempat bilang ke Pak Polisi, “Aku nggak mau ke RSUD. Kita langsung saja bawa Aisya ke RSJ di Bangli, Pak.”

Pak Nyoman yang duduk di samping Pak Gede yang sedang menyetir bilang, “ita ikuti prosedur, Bu… Kata komandan kami, tidak bisa langsung ke RSJ Provinsi, perlu dapat rujukan dulu dari RSUD Tabanan.

Tiba Kembali di Kantor PolSek, aku turun dari mobil dan mengucap terimakasih kepada Pak dan Bu Kosan, serta Pak Dusun yang telah menemani Aisya. Aisya bergabung dengan kami di mobil, diam au duduk di depan, samping Pak Gede. Aku di belakang, diapit oleh Pak Nyoman dan Pak Agung. Sebentar-sebentar aku minum, aku sadar bahwa diriku banyak kehilangan cairan, karena banyak luka terbuka yang bahkan masih perdarahan. Tapi luka-luka berdarah ini tidak seperih hatiku, yang menghadapi kenyataan bahwa kondisi mental Aisya bisa begini parah. Sepanjang jalan aku membathin, terus ber-istigfar, dan membaca mantra-mantra Cinta. Aku sempat buka hape, dan melihat ada respon Ancha yang masuk pkl. 01:27 am. Aku segera balas, di waktu pkl. 01:43 am

Kami tiba di RSUD kira-kira pkl. 02:10, langsung di IGD. Aku dan Aisya ditangani paramedis, setelah Pak Polisi beri penjelasan, seraya menyerahkan kedua KTP kami. Kedengarannya Aisya berteriak, mungkin disuntik penenang. Aku juga dipersilakan berbaring untuk diperiksa. Ditanya tentang BPJS, aku bilang aku punya KIS dari PemKot Denpasar, yaitu BPJS gratis kelas 3.

Perban yang dipasang di Puskesmas dibuka, lalu diperiksa. Kata dokter jaga, beberapa Lukaku perlu dijahit. Aku nggak mau. Aku bilang, “Nggak usah, Dok. Tolong diberi betadin antiseptik saja lalu perban.” Dokter jaga itu keluar, dan masuk lagi dengan seorang dokter lainnya, yang ternyata atasannya. Dokter senior itu bilang, “Kondisi ibu ini agak parah, perlu disuntik antibiotic atau suntik tetanus, dan luka-lukanya dijahit, jika tidak, akan tetap perdarahan. Ibu kan masih harus temani anak ke RSJ.” Saat itu aku kebelet, ma uke toilet, aku permisi tinggalkan ruangan itu.

Di toilet aku agak lama, karena berfikir dan berenung, mohon petunjuk Allah.

Tiba kembali di ruang tadi, ternyata dokter jaga sudah menyiapkan bahan dan peralatan untuk menjahi luka-luka-ku. Aku tegaskan, “Dokter, aku punya haq untuk menentukan pilihan. Ini tubuh-ku. Aku nggak mau disuntik apalagi dijahit. Biar saja luka-luka-ku sembuh secara alami. Sistem pemulihan tubuhku bagus, Dok.” Wajah dokter itu tampak bingung, “Yakin Bu, dengan keputusannya?” Aku jawab dengan mantap, “Ya, tyang yakin, Dok!” Dokter itu merapikan Kembali bahan2 dan peralatan kerjanya, seraya berkata, “bu harus menandatangani Surat Penolakan Tindakan medis, ya.” Aku jawab, “Ya, Dokter.” Katanya lagi, “Ohya, dan karena penolakan ini, semua Tindakan yang lain tidak ditanggung BPJS ya, Bu”. Aku hanya mengangguk, seolah mengerti.

Setelah beres urusan dengan Diri-ku, aku mendekati ruangan di mana Aisya terbaring tidur, ternyata dia diinfus. Ada perawat di ruang sampingnya. Aku lihat dia tidur menyamping dan agak meringkuk. Aku minta tolong ke perawat, agar Aisya diselimuti.

Aku dipersilakan duduk di ruang samping itu. Tapi, aku nggak tahan ruang ber-AC, aku keluar ke teras IGD. Eh, ternyata bapak-bapak polisi masih ada. Malah ada seorang lagi yang belum aku kenal, yang ternyata adalah Kapolsek Selemadeg Timur, I Nyoman Artadana. Kami pun ngobrol, atau lebih tepatnya, Pak Kapolsek yang banyak mengajukan pertanyaan, aku menjawab, dan beliau tulis di hape-nya. Pak Kapolsek ingatkan Pak Agung untuk menyimpan nomor WA-ku, aku memberitahunya, dan dia kirim pesan, agar aku bisa juga menyimpan nomor WA-nya.

Kira-kira ada satu jam kami obrol, sebelum bapak-bapak polisi ini permisi untuk pulang. Namun kata Pak Kapolsek, aku bisa hubungi Pak Agung jika perlu bantuan.

Aku duduk sendiri di kursi teras IGD, tidur-tidur ayam. Sebentar-sebentar aku masuk lagi, bertanya ke petugas di bagian penerimaan, “Pak (atau Bu), pasien yang sedang dirujuk ke RSJ Bangli, kira-kira bisa diantar pukul berapa?” Aku ditenangkan, “Sabar, Bu… kami sedang mengurus berkas-berkas-nya.” Juga “Kita sedang menunggu konfirmasi dari pihak RSJ, Bu… Di sana dokter jaga harus dapat konfirmasi juga dari dokter ahli-nya.” Pada dasarnya, mereka, para petugas dan paramedis ini baik, sabar dan ramah. Aku-nya saja yang mungkin kurang sabar. Mungkin juga karena kondisiku yang sedang menahan rasa sakit, ngantuk, dan lelah. Maka kujaga diriku dengan banyak-banyak ber-istigfar dan membaca mantra-mantra Cinta, dalam hati, dan juga setengah berbisik.

Pada pkl. 4:51 subuh, adikku Aco merespon foto dan teks yang kukirim via WA. Dia sangat kaget. Dan kujelaskan bahwa kami sudah ditolong pihak kepolisian sektor/kecamatan di mana kami berdomisili. Dan sekarang kami masih di RSUD Tabanan, sedang dalam proses perujukan Aisya sebagai pasien yang perlu dirawat di RSJ Bali.

Aku masih duduk di kursi tera IGD RSUD Tabanan, sambil mengisi energi hape dicolokan yang terpasang di kolom atap teras, di samping kursi yang aku duduki. Aku masih ber-istigfar dan membaca mantra-mantra Cinta, sambil bicara pada Allah, Tuhan YME… “Ya, Allah, tolonglah aku untuk berefleksi, merenung dengan benar, agar dapat memahami secara jelas, maksud dan hikmah dari peristiwa ini… Cukuplah Engkau sebagai penolongku, cukuplah Engkau sebagai pelindungku, cukuplah Engkau sebagai tempatku bergantung, cukuplah Engkau sebagai saksi dan penilai diriku.”

Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku sangat beruntung. Walaupun tubuhku fisikku diserang oleh Manusia yang aku lahirkan secara brutal, dan mengakibatkan 10 luka terbuka dan perdarahan, serta beberapa luka goresan halus dan memar, tapi tidak ada yang menimpa bagian-bagian vital yang dapat menyebabkan cacat fisik. Selain itu, serangan ini merupakan konfirmasi bahwa ritual thawaf sebelum tidur cukup ampuh melindungi diriku, dan mungkin juga secara fisiologi okultisme, tubuhku secara materi sudah mengalami transformasi alkimia, yang menyebabkan pisau itu tidak bisa menyentuh tulang dan tengkorakku. Yang terjadi justru mata pisau itu bengkok dan patah di sambungan gagangnya.

Aku bersyukur, bahwa aku dikarunia manusia yang lahir dari Rahim ini, darah-daging-ku, yang mampu memainkan peran sebagai penempa diriku untuk memurnikan jiwaku dan cintaku. Aku menyebutnya Lucifer, bukan dalam pemahaman orang awam dunia esoteris. Aku menyebutnya Lucifer dengan rasa respek dan syukur. Tanpa Lucifer, transformasi Adam, dari dimensi Materi~Nabati ke dimensi Materi~Nabati~Hewani tidak mungkin terjadi. Tanpa Lucifer, Manusia tidak punya kemampuan be-refleksi. Tanpa Lucifer, Ruh Manusia tidak dapat melalui kegelapan lapisan langit tergelap dan mencapai Cahaya di atas Cahaya. Lucifer adalah jelmaan Ruh Agung yang tidak terjangkau oleh ‘Baik’ dan ‘Buruk’, dengan perkataan lain, Lucifer adalah melampaui segala dualitas.

Baru saja perenungan dan pemahaman ini menari-nari di benakku, eh, adikku Aco mengirim pesan, “I’ve been thinking. Ket. Mungkin janganki sebut ki Lucifer. Takut jadi doa. Just a thought. Beberapa belas menit, baru aku jawab, “Oh, gitu ya, Andun… Iyad eh.” Aku memaklumi perasaan dan pikiran adikku yang yang cukup galau karena nasibku yang mungkin dianggapnya sial. Aku respek pada perhatian dan kepeduliannya. Aku ambil jalan tengahnya, aku tidak lagi menyebut-nyebut Lucifer sebagai personifikasi Aisya di catatan-catatanku yang akan datang, aku akan menyebutnya Dewi Venus. Bagaimanapun, aku harus melampaui dimensi biologis mamak~anak dalam hubunganku dengan dua manusia yang lahir dari Rahim ini. Aku perlu bertransformasi ke tingkatan spiritualis, jadi Aisya adalah Dewi Venus, Ancha adalah Dewa Matahari, dan Sayangku adalah Dewa Bulan. Aku sendiri adalah Dewi Bumi. Tapi, secara individual, mereka semua adalah bagian dari Diri-ku sebagai suatu Semesta yang lengkap dan sempurna.

Hihihi… aku senyum-senyum sendiri, membayangkan, seandainya pikiranku ini dapat divisualisasi dan muncul di layer monitor dokter Ari, petugas IGD yang sedang jaga, mungkin aku juga dirujuk ke RSJ, karena dianggap gila. Jonathan Black sudah mengingatkan di bab 1, jangan teruskan membaca buku ini jika Anda tidak berani menghadapi kenyataan bahwa orang2 akan menganggap Anda dungu, sesat, dan gila! Karena pemikiran esoteris ini terbalik dan jungkir balik dari pemikiran normal.

Pkl. 6 pagi, Aisya muncul dari pintu teras IGD. Rupanya dia membuka paksa jarum infus dari pergelangan tangannya, yang sekarang tampak berdarah. Dia melihatku yang sedang duduk di kursi teras. Dia menghampiriku dan duduk di sebelahku agak menghadap tubuhku. Aku memeluknya. Setelah pelukan kami agak renggang, dia melihat ke wajahku, bukan ke mataku, tapi ke bibirku. Aku kira diam au menciumku, ternyata Gerakan kepalanya hendak menempatkan mulutnya ke leherku, sepersekian detik, aku sempat merasakan giginya di leherku sebelah kananm dan aku refleks mendorong tubuhnya, tepat saat itu suster Lana yang ditugasi mengawasi Aisya muncul.

Setelah menunggu ber-jam-jam, akhirnya pada pkl. 10, ada informasi dari suster Lana, bahwa ambulans dan sopirnya sedang disiapkan, beliau juga akan menemani ke RSJ, untuk mengurus administrasinya. Syukurlah. Ternyata memang cukup ribet urusannya, karena melibatkan 4 pihak manajemen, yaitu kepolisian (PolSek Selemadeg Timur), Dinas Sosial, RSUD kabupaten Tabanan, dan RSJ Provinsi Bali.

Hanya semenit setelah Bu Lana menginformasikan kabar gembira ini, ada tekpon dari Pak Agung (polisi junior), katanya dia juga akan menemani kami ke Bangli. Beliau muncul disusul oleh Pak Nyoman (KaPolSek). Ternyata mereka hanya mau memastikan bahwa kami bisa diantar ke RSJ di kabupaten Bangli oleh pihak RSUD. Aku jadi terharu oleh kebaikan bapak-bapak polisi ini dan juga paramedis, terutama Bu Lana yang gue rasa bekerja dengan hati.

Kami bertolak dari RSUD pada pkl. 10:15, dengan ambulans yang disopiri Pak Ngurah. Aku duduk di samping Pak Ngurah, Aisya berbaring, diapit Suster Lana dan seorang perawat lelaki yang duduk. Jarak dari RSUD Tabanan ke RSJ Bali di Bangli adalah 42 km, butuh waktu kira-kira satu setengah jam dengan kendaraan mobil. Kami singgah di RS swasta yang dilalui, karena Aisya ingin pipis. Bu Lana yang menemaninya. Memasuki wilayah Kabupaten Gianyar, jalan-jalannya agak sedikit sempit dan lebih ramai kendaraan, maka Pak Ngurah membunyikan sirine. Kami melaju mulus, aku sadari bahwa Pak Ngurah sangat mengenali rute yang kami lalui, dan kualifikasinya sebagai sopir ambulans bisa aku acungkan dua jempol.

Kami tiba pkl. 11:45. Bu Lana memegang berkas-berkas Aisya sambil menggandeng Aisya. Lagi-lagi, Aisya mau pipis. Bu Lana menemani Aisya ke toilet setelah menyerahkan berkas-berkas ke IGD RSJ Bali. Setelah dari toilet, Aisya dibaringkan di ranjang IGD. Bu Lana, Pak Ngurah, dan personil satpam RSUD kembali setelah urusan adminstrasi antara kedua Lembaga itu beres.

Seperti sebelum-sebelumnya, kali ini, sebelum Aisya dipindahkan dari IGD ke UPI (Unit Perawatan Psikiatri Intensif), aku, sebagai walinya (caregiver)-nya diwawancarai oleh dokter muda dan dokter jaga. Aku juga harus menandatangani beberapa berkas. Aku harus menunggu hingga Aisya sudah ditempatkan di UPPI, baru aku boleh meninggalkan RSJ.

Jam dinding di pos jaga dekat gerbang RSJ menunjukkan pkl. 3 lewat 10 menit (sore) ketika aku bermaksud menunggu bus Damri di situ. Pernah sekali sih, beberapa bulan lalu, aku dan Aisya naik bus Damri dari RSJ hingga GOR Ngurah Rai Denpasar, qaktu itu kami juga menunggu cukup lama. Bus muncul pada pkl. 4 lewat 15 menit. Kata petugas satpam, itu yang terakhir pada hari itu. Aku agak ragu, akibat berhentinya pelayanan bus TMD sejak awak tahun ini, dan bus Damri/Trans-Sarbagita dialihkan ke wilayah Kota Denpasar, Tabanan, dan Mengwi.

Aku coba periksa akun bank-ku, ternyata ada transferan dari adikku dan seorang sahabat-SMA-ku. Aku putuskan untuk menggunakan transportasi digital, yaitu go-car. Cukup lama aku menunggu, yang pertama gagal, coba lagi, dan hanya bisa sampai di Ubud. Dalam perjalanan ke Ubud, aku tanya ke sopir, bisakah anta raku sampai Ubung, nanti bayaran dari Ubud ke Ubung di luar aplikasi. Katanya bisa, bayar dobel saja. Oke, aku menyetujui. Dari Ubung, aku naik bus konvensional yang tujuannya ke Gilimanuk. Saking ngantuknya diriku, nyaris kebablasan. Aku turun depan Indomaret Megati. Berjalankaki terhuyung-huyung menahan rasa kantuk, lapar, Lelah, dan nyeri yang berdenyut-denyut.

Tiba di rumah sudah pukul 20:45. Aku nggak bisa langsung istirahat dalam kondisi rumah yang masih diceceri darah di mana-mana. Aku bebersih, mengumpulkan semua kain yang terkena darah, mengepel semua lantai yang diceceri darah…

 

(bersambung)


Senin, 30 Desember 2024

YEAR-END NOTES 2024

A few days ago, I was completely indifferent to the habit of writing year-end notes. But last night, I reflected and thought that this year is a leap year.

From my observations and experience, leap years usually bring about many events and happenings that appear to be an effort by the universe to return the lives of individuals, communities, nations and humanity alike to a point of balance, i.e. zero.

If we have owed a lot to nature over the past three years, in a leap year we have to repay that debt. The opposite is also true. 

For as long as I can remember, what I have experienced is that in leap years we receive more gifts, both material and especially immaterial. 

In 2012, the Universe gifted me with the incarnation of Lucifer. In 2016, feelings of connectedness with loved ones were quite high in Indonesia, Korea, and Thailand.

In February 2020, the intensity of our togethernessbwas very high, in DKI Jakarta, in North Sumatra, South Sumatra and in West Java. We then continued our togetherness again in Bali, from March 1st to 12th. 

In 2020, Sayangku, my beloved have experienced the ultimate transformation on June 19th and united into me (in the deeper meaning) on the 100th day of his cremation.

Now, in the leap year of 2024, I am increasingly feeling the presence of my beloved one at all levels of humanity. And this really helped me transcend all duality.

There are many so-called maghfirah (openings) that reveal the mysteries of life. Although I know there is much more I don't know, there is a lot of new understanding at an esoteric level. My cultural age this year is 55 according to the Gregorian calendar and 57 according to the Islamic calendar. The number 55 reminds me of Surah Ar-Rahman, and 57 reminds me of Surah Al-Hadid.

This year as well, I realized that Lucifer is a part of my life, a package deal, so if I have an event with a friend or friends, I can accompany him. We enjoyed the 87th Engineering Faculty of Hasanuddin University  reunion in Bali for three days.



Lucifer is really fun because she can adapt to my friends without having to apply traditional morality. And my friends can understand and accept Lucifer as part of me.

Yes. We are treated as we determine our worth. 

This year too, I (or perhaps more precisely we, NitaSung) have done many experiments related to my research on Water Resources, and as a bonus, the living environment in this house and its surroundings is getting better, in terms of the beauty of the scenery, as well as the quality of the weather aspects.

 



I am increasingly aware that change (in the sense of being better) must start from oneself, the smallest and closest environment, and so on. Improving the quality of the ecosystem, from oikos level 0 to oikos level 8 / ∞ (infinite).