Senin sore, 27 Januari 2025, Aisya menangis setelah mendengar musik dari hape yang disambung ke ‘speaker’ tanpa kabel. Sudah biasa sih, dia menangis atau tertawa sendiri saat menikmati musik secara intens. Tapi, kali ini, dia menangis sambil menyebut-nyebut “Nenek”… Aku tanya, “Nenek kenapa, Sya..?” Dia tidak menjawab, seperti biasa. Aku tanya ke adikku, katanya, Nenek baik-baik saja.
Tidak lama kemudian, sekitar saat magrib,
Aisya berlari keluar rumah, lewat pintu pagar yang dia buka secara serampangan,
menuju jalan desa. Aku tidak mengejarnya, namun berjaga-jaga dengan memasang
pendengaran. Ada bunyi anjing-anjing menggonggong, seperti biasa, tapi Aisya
tidak pernah takut pada anjing, dan anjing2 tidak berani menyerangnya.
Sebaliknya, anjing2 biasanya bisa langsung berteman dengan Aisya.
Aku duduk di kursi putar depan meja yang
menghadap jendela dengan pemandangan pekarangan depan dan pagar bambu bikinanku
sendiri. Tiba-tiba aku dengar ada suara teriakan, itu mirip suara Aisya, ada
teriakan lagi, dan aku yakin itu dari Aisya.
Aku bergegas keluar, dan berpapasan dengan
tetangga kami, seorang bapak, pensiunan polisi, pemilik warung di seberang
kantor camat. Beliau mengatakan, “Bu, anaknya tuh…” Aku langsung bisa melihat
Aisya sedang terbaring di trotoar depan warung milik Pak (pensiunan) Polisi.
Aisya menangis seperti anak kecil, aku mendekatinya, langsung memungut hape
yang tergeletak di sampingnya, sambil menegurnya, “Aisya…” Dia melihatku,
duduk, dan langsung merampas hapenya dari tanganku. Si Bapak (pensiunan)
Polisi, bicara pada Aisya, “Pulang, Nak… Tidak baik menangis di sini.” Aisya
bangkit berdiri, dan berjalan setengah berlari ke arah rumah kami. Aku
mengikuti tanpa terburu-buru, namun tetap mengawasinya. Ternyata dia tidak
masuk ke pekarangan kami, tapi terus ke pekarangan tetangga sebelah. Di situ
jarang ada orang, penghuninya adalah empat orang pekerja konstruksi yang
biasanya pulang agak malam.
Aku masuk ke rumah, dan kembali duduk di
kursi putar tadi, mengawasi pemandangan pintu pagar yang kubiarkan terbuka,
sambil membaca mantra-mantra Cinta, Al-Faatihah, dan 3-Qul.
Beberapa saat berselang, aku melihat Aisya
masuk melalui pagar, dia masuk rumah, langsung ke kamarnya. Aku tetap di
posisiku, tetap merapal mantra, dan siaga dengan segala kemungkinan yang bisa
terjadi. Aisya sangat tidak mudah ditebak. Sebagai penyintas ‘Bipolar Disorder’
dia bisa berubah dari ekstrim manik ke ekstrim depresif, dan sebaliknya, secara
tiba-tiba. Sudah lama sih, sejak November 2018, dia tidak ngamuk yang bersifat
destruktif, tapi sekarang aku mulai khawatir.
Dia masuk ke kamar di mana aku duduk.
Terdengar suaranya lirih, “Ma…” Dia mendekatiku, dan memegang tanganku. Sangat
jarang dia menyentuhku, dan diapun tidak mau aku sentuh. Aku menoleh ke
wajahnya, seraya berdiri dan memeluknya. “Kau kenapa, Sya? Biarkan mamak tahu jika
kau punya masalah, agar kita bisa hadapi bersama. Berhadap-hadapan dan berdiri,
tapi dia tidak mau menatap mataku, dia biacara, “Ma, kita pindah kembali ke Jakarta
ya, Aisya kangen Nenek, kangen Kakek, dan Aisya bosan di sini.”
Aku memegang lengannya, “Mamak sayang ko,
Aisya… tapi jika ini masalahnya dan permintaanmu, mamak nggak bisa jawab
sekarang, mamak perlu pikirkan dan renungkan dulu. Mungkin jika kita sekadar
berkunjung beberapa hari di Jakarta, mamak bisa langsung setuju, itupun dengan
syarat mamak nggak naik pesawat.
Aisya bicara lagi, “Ma, kita sudah lama
tinggal di sini, kok mama nggak bosan?” Dia lanjut, “Mama nggak kangen Nenek, Kakek,
dan Ancha…?” Dan aku pun jawab sebagaimana apa yang aku rasakan, “Aisya, mamak
menyayangi Nenek, Kakek, Ancha, dan semua keluarga kita.” Aku diam sebentar,
lalu lanjut, “Dan, karenanya, mereka semua mamak hidupkan di dalam benak mamak
ini.” Sambil kedua tanganku kuangkat di kedua sisi kepalaku. Aisya menimpali,
“Jadi, mama nggak pingin ketemu mereka?”. Aku lanjut, “Sya, walaupun secara
fisik kita berjauhan dengan mereka, tapi bagi mamak, secara mental, mereka
tetap dekat dengan mamak, sering ketemu dalam mimpi.”
Aisya bergegas ke kamarnya, ambil hape, dan
memperlihatkan foto-foto Nenek, Kakek, dan anggota keluarga kami yang ada di
akun IG adikku, Dio. Aisya sambil bicara, “ Belum lama ini, Kakek jalan-jalan
di Eropah, Ma… ke Paris, Italia, dan Wina”. Aku menimpali, “ya, Sya… Kakek
jalan-jalan dengan teman-teman-nya, beberapa bulan lalu… mungkin dengan
teman-teman kerja, karena Kakek kan masih kerja di kantor redaksi majalah.
Aku coba tebak perasaan Aisya. Dia mungkin
rada cemburu melihat keluarga kami pada senang jalan-jalan. Aku berkomentar,
“Mamak senang melihat mereka senang, sehat, dan tampaknya bahagia.” Kata Aisya,
“Tapi Nenek kelihatan kurus ya, Ma…” Aku menimpali, “ya, Sya… tapi nggakpapa
begitu, daripada kegemukan, malah gampang sakit2an, kan?!” Aisya menawarkan untuk
mengirimkan foto2 itu padaku via WA-chat. Aku terima dan bales dengan ungkapan
terimakasih.
Aisya sempat bilang begini, “Ma, Aisya bisa
kok usahakan agar Mama dan Nenek bisa tinggal bareng lagi. Nenek itu sebenarnya
sayang Mama.” Aisya Kembali ke kamarnya dan dengarkan musik.
Aku kemudian makan, lalu buka hape untuk
mendengarkan rekaman bacaanku, sambil menyisir rambut. Kemudian, aku menyapu
lantai kamar tidurku, juga teras dan dapur. Aku merasa perlu melakukan ritual
thawaf, mengelilingi ruang-ruang dalam rumah, 7 putaran sambil membaca
Al-Faatihaah, dan 3 putaran, masing2 putaran sambil membaca Al-ikhlas, lalu
Al-Falaq, dan pada putaran teakhir dengan Al-Naas.
Aku pun tidur. Sempat terbangun 2 kali
untuk pipis dan minum air. Di meja dapur, tampak mangkuk bekan dia makan mie
instan. Aku kembali ke kamarku dan tidur lagi.
Pada Selasa pagi, 28 Januari 2025, setelah
senam, aku kirim beberapa pesan ke adikku, Aco… menceritakan tentang kejadian
sore hingga tadi malam. Aku nggak peduli dia respon atau tidak, tampaknya sih
di abaca, karena centang dobelnya biru. Lewat tengah hari, yaitu pkl. 13:45 ada
balasan dari adikku, Aco, “Semoga ada solusi Ket.”
Sorenya, aku nawarin Aisya, jika besok dia
mau jalan-jalan ke Kuta naik bus, dia boleh bawa kartu atm punyaku, dan gunakan
uang Rp 50 ribu. Dia jawab, “Nggak mau.” Lewat waktu magrib, dia bilang, “Ma,
pinjam kartu atm, mau ke Indomaret, Aisya pinjam uangnya ya!” Sambil memberikan
kartu atm, aku bilang, “Jika kau narik atau gunakan kurang dari Rp 50 ribu,
nggak perlu ngutang, ambil saja, Sya.
Sekembalinya, dia merokok di kamarnya. Aku
makan di kamar depan, yang pintunya nyaris berhadapan dengan kamar Aisya. Tidak
lama kemudian, dia tanya, “Ma, punya korek kah?” Aku ke dapur, tinggal ini,
korek kayu, Sya. Kenapa tadi nggak sekalian beli korek waktu beli rokok di Indomaret,
Sya?” Dia nggak jawab. Aku lanjutkan makan.
Ketika aku membawa piring dan mangkuk ke
dapur untuk kucuci, kulihat dia menyalakan kompor untuk bakar rokok. Aku nggak
menegurnya, hanya berniat, agar besok aku akan membelikan dia korek gas.
Malamnya, Adikku Aco tanya, “Bagaimana mi
Aisya?” Aku jawab, “Sekarang sudah lebih baik daripada kemarin. Tadi siang dia
tidur agak lama, sampai sore.”
Malam itu, beberapa kali Aisya nyalakan
rokok dengan api kompor. Aku membathin, “Duh, nih anak, serba boros, deh!” Dari
kamarnya terdengar musik dengan volume yang kedengaran jelas hingga di kamar-tidur-ku.
Rabu pagi, 29 Januari 2025, aku minta Aisya
menyediakan waktunya tujuh menit untuk kami biacara. Di ruang tempat aku biasa
menulis dan makan, kami berdua dengan posisi berbeda, aku duduk di kursi putar,
dan dia berdiri dekat sofa bambu bikinanku, dia nggak mau duduk. Aku bicara,
“Sya, tentang kita ke Jakarta ya… Mamak nggak bisa pindah ke sana, tapi bersedia
berkunjung beberapa hari.” Dia mendengarkan, tapi tidak mau menatap wajahku,
apalagi ke mataku. Aku lanjut, “Sya, kau boleh tatap mata mamak, agar kau tahu
bahwa mamak bicara dari hati.” Dia cuek aja, tetap nggak mau menatapku, seraya
berkata, “Jadi gimana, Ma?” Aku lanjutkan bicara, “kau punya dua pilihan, Sya. Pertama,
jika kau bersedia naik bis, mamak bisa menemanimu, kita bareng ke Jakarta, dan
pulang bareng. Kedua, jika kau tidak mau naik bis, hanya mau naik pesawat,
mamak nggak ikut. Jadi kau pergi ke Jakarta dan pulang ke Bali sendiri. Kau
pilih mana?” Dia menjawab singkat, “Aisya sendiri saja.” Dia bergegas Kembali
ke kamarnya.
Pagi itu, aku juga kirim pesan WA ke adikku
Aco, bahwa sebaiknya jika Aisya jadi ke Jakarta, jangan lebih dari 3 hari, soalnya
diam makin seenak udel-nya, kasihan Nenek dan Kakek, nanti mereka bisa sakit
karena Aisya.
Sepanjang hari ini, Aisya hanya di
kamarnya, atau ke dapur atau ke kamar mandi. Aku ikut dengar lagu-lagu yang
melantun dari kamarnya, Dewa-19, ada Laskar Cinta. Kemudian ada juga lagu
berbahasa Korea yang berirama sedih, lalu musik keras dari North True. Aku
sendiri lebih banyak di luar rumah, di pekarangan, dan di teras bermain bambu.
Aku juga ke Beji (mata air) untuk mengambil air minum.
Hari ini aku goreng kentang dua kali untuk
Aisya, pagi dan sore. Siangnya aku bikinkan nasi goreng dengan lauk bakso
goreng. Aku makan setelah magrib. Setelah makan, aku bernyanyi dengan suara
agak kencang, dan sambil mengikuti teks lirik lagu di hape-ku. Aku lalu
menyisir rambut, dan menjepit gulungannya. Aku lihat pintu kamar Aisya tertutup
rapat. Mungkin dia sudah tidur, karena nggak ada lagi suara musiknya.
Kemudian, aku menyapu dan mengepel
kamar-tidur-ku, menyiapkan alas-tidur-ku, lalu melakukan ritual thawaf
mengelilingi ruang kamar-tidur-ku ini dengan mantra-mantra Cinta, 7 putaran
dengan bacaan al-Faatihah, 3 putaran, berturut-turut dengan Al-ikhlash,
Al-Falaq, dan Al-Naas. Aku rebahan, siap tidur kira-kira pukul 22:15, sambil
mendengarkan rekaman bacaan-ku tentang Sejarah Rahasia. Pintu kamar, seperti
biasanya kubiarkan terbuka setengah, agar ada sedikit cahaya lampu dari kamar
mandi, karena aku nggak suka terang lampu. Kamarku kubiarkan tanpa lampu.
Tiba-tiba, aku terbangun karena merasa
Aisya masuk ke kamarku. Ya, tampak siluet dirinya, karena ada cahaya lampu
remang-remang dari kamar mandi. Aku tegur, “Kenapa, Sya..? Ada kok persediaan
mie di kardus di ruang tengah.” Dia diam, tapi bergerak mendekatiku. Di duduk
atau jongkok, yang jelas dia bisa langsung menjangkau diriku yang sedang
berbaring di lantai. Begitu tiba-tiba, aku menyadari bahwa dia menusukku dengan
suatu benda tajam. Aku coba melindungi diri, dan berupaya menahan tangannya,
dalam suasana remang-remang , aku bisa tangkap kedua pergelangan tangannya. Di
begitu kuat. Aku mengucap agak keras, “Astagfirullah! Astagfirullah!
Astagfirullah! Aisya, sadar ko!” Dia masih berupaya menyerangku. Aku lalu
berteriak, berharap tetangga sebelah mendengar teriakanku dan datang
menolongku. “Tooloong! Toolooong! Toolooong!” Eh,
lucunya, Aisya ikut berteriak, “Tooloong! Toolooong! Toolooong!”. Aku putuskan
agar kami ber-sama-sama keluar rumah, kedua pergelangan tangannya tetap
kucengkeram erat, tapi justru dia yang seolah menarikku untuk keluar rumah.
Entah bagaimana, kami bisa membuka pintu pagar, yang memang hanya digeser ke
samping.
Kami berdua sudah ada di jalan dusun,
sama-sama telanjang kaki. Ada pengendara sepeda motong, aku teriak minta
tolong, tapi pengendara itu berlalu. Kami bergerak, sudah nggak jelas sia
menarik siapa, aku hanya memastikan bahwa kedua tangannya berada dalam
cengkeramanku, karena aku rasa dia masih pegang benda tajam itu. Akhirnya, kami
sampai di depan rumah kepala dusun. Aku berteriak, “Pak Dusun, tolong!”
Beberapa kali kuulang, baru tampak kepala Pak Dusun dari balik pintu pagarnya.
Pak Dusun melihat kami, tidak segera
keluar, atau membuka pintu pagarnya, aku bicara agak keras, “Pak, tolong aku, warga
bapak… Anakku ini menusukku, Pak, ini kondisi darurat, Pak!” Beliau pun keluar
dan mengambil apa yang dipegang Aisya. Ternyata itu gagang pisau dapur, mata
pisaumya sudah nggak ada, rupanya patah dan entah lepas di mana. Aku pun
melepaskan cengkramanku di pergelangan tangan Aisya. Dia jatuh terduduk di
depan pintu pagar rumah Pak Dusun.
Ada seorang lelaki juga, warga dusun ini,
yang mendekat. Aku bicara pada mereka berdua, Pak, tolong telpon pecalang, agar
anak ini diamankan. Pak Dusun bilang, “Kok panggil pecalang?” Aku lanjut
mendesak, “Telpon polisi, Bhabinsa, Pak! Ini kondisi darurat. Tolong kami, Pak”.
Aisya mulai celoteh, “Pak, ini orang yang
bikin keluarga kami hancur.” Pak dusun sempat menanyai Aisya, “Kenapa kau tusuk
mamakmu?” Aisya lanjut celotehnya, “Aisya dengar, mungkin Ancha atau siapa tuh
yang bilang, Mpok, hati-hati nanti dibakar oleh perempuan beruban ini, dia
jahat, ambil pisau di dapur dan tusuk saja sampai mati!”
Pak Dusun mengambil air, untuk aku mencuci
tangan yang berdarah, sumber darah paling deras adalah dari atas bibir dan
kepala sebelah kanan.
Aisya masih bicara, “Aduh, Aisya jadi
terkena darahnya juga. Ihhh! Darahnya amis! Sudah gitu pakai baju merah! Darah
merah, baju merah! Perempuan ini susah sekali matinya, padahal sudah sakratul
maut.”
Tidak lama kemudian ada mobil polisi,
ternyata Pak Gede Suastika (Bhabinkamtibmas), dan seorang rekannya, juga
berpakaian polisi, yang belakangangan aku ketahui Namanya, Pak Nyoman. Pak Gede
mendekati kami. Aku langsung mengingatkan. “Pak kejadian lagi nih, dulu,
November 2018, Bapak juga yang tolong kami. Yang sekarang ini lebih parah, Pak”.
Pak Gede melihat kondisiku, katanya, kami harus bergegas cari penanganan medis.
Aku bilang, tolong prioritaskan anak tyang, Pak! Dia perlu ditangani ahli-nya
di RSJ Bangli. Pak Nyoman bilang, “Nggiih, kita tangani dua-duanya, ada
KTP-nya?” Aku segera meminta beliau menemaniku ke rumah untuk aku ambil
dokumen-dokumen yang mungkin diperlukan, sekaligus aku ambil pakaian Aisya
sekenanya, satu celana dalam, satu kaos atasan dan celana jins kulot, serta
sandalnya.
Di kamarku, kusempatkan memfoto TKP, dan
juga memfoto wajahku yang masih berlumuran darah. Aku bergegas ganti pakaian,
dan melengkapi tas selempangku dengan hape dan dompetku, juga dompet Aisya dan
satu tas plastik berisi obat dan dokumen medis Aisya yang kutemukan di laci
mejanya. Ohya, aku juga bawa air minum di botol Tupperware.
Dengan berkendara mobil polisi itu, kami ke
Kantor PolSek. Di sana ada Pak dan Bu Kosan kami, yang adalah adik ipar Pak
Dusun. Kata Bu Kosan, aku harus ke Puskesmas 24 jam di Bajera, agar luka-luka-kubisa
segera ditangani, tampaknya perlu dijahit. Aisya menghampiriku, seraya berkata,
“Mama, maafkan Aisya.” Aku pun memeluknya, dan berkata, “Iya, Sya… bukan salah
Aisya, karena Aisya nggak sadar melakukannya.”
Aku mengeluarkan celana jins Aisya dari
tas, lalu membantunya memakainya, juga sandalnya. Aku bilang ke Bu Kosan, titip
Aisya, Bu… tyang mau diantar ke Puskesmas dulu.” Jadi, Aisya menunggu di Kantor
PolSek, ditemani Pak dan Bu Kosan, serta Pak Dusun. Belakangan, aku tahu dari
Pak Kosan, Ketika Buk Kosan tanya Aisya, kenapa bisa menyerang mamaknya yang
sedang tidur, kata Aisya, ada suara-suara yang menyuruhnya mencincang tubuh
mamaknya.
Aku diantar ke Puskesmas oleh Pak Gede, Pak
Nyoman, dan Pak Agung. Di perjalanan ini, aku sempatkan kirim foto TP dan
wajah-ku yang mengerikan ke adikku Aco, dan ke anakku Ancha. Rupanya itu pkl.
00:21 am, tanggal 30 Januari 2025. Jadi, bisa kuperkirakan, bahwa momen aku
ditusuk Aisya itu kira-kira pkl. 23:45 atau 23:50 tanggal 29 Januari 2025.
Di Puskesmas Bajera, luka-lukaku
dibersihkan dengan antiseptic, lalu diperban. Kata paramedisnya, beberapa luka
perlu dijahit, terutama yang di atas bibir, tapi Puskesmas tidak punya benang
untuk kulit muka, jadi dirujuk ke RSUD. Aku sempat bilang ke Pak Polisi, “Aku
nggak mau ke RSUD. Kita langsung saja bawa Aisya ke RSJ di Bangli, Pak.”
Pak Nyoman yang duduk di samping Pak Gede
yang sedang menyetir bilang, “ita ikuti prosedur, Bu… Kata komandan kami, tidak
bisa langsung ke RSJ Provinsi, perlu dapat rujukan dulu dari RSUD Tabanan.
Tiba Kembali di Kantor PolSek, aku turun
dari mobil dan mengucap terimakasih kepada Pak dan Bu Kosan, serta Pak Dusun
yang telah menemani Aisya. Aisya bergabung dengan kami di mobil, diam au duduk
di depan, samping Pak Gede. Aku di belakang, diapit oleh Pak Nyoman dan Pak
Agung. Sebentar-sebentar aku minum, aku sadar bahwa diriku banyak kehilangan
cairan, karena banyak luka terbuka yang bahkan masih perdarahan. Tapi luka-luka
berdarah ini tidak seperih hatiku, yang menghadapi kenyataan bahwa kondisi
mental Aisya bisa begini parah. Sepanjang jalan aku membathin, terus
ber-istigfar, dan membaca mantra-mantra Cinta. Aku sempat buka hape, dan
melihat ada respon Ancha yang masuk pkl. 01:27 am. Aku segera balas, di waktu
pkl. 01:43 am
Kami tiba di RSUD kira-kira pkl. 02:10,
langsung di IGD. Aku dan Aisya ditangani paramedis, setelah Pak Polisi beri
penjelasan, seraya menyerahkan kedua KTP kami. Kedengarannya Aisya berteriak,
mungkin disuntik penenang. Aku juga dipersilakan berbaring untuk diperiksa. Ditanya
tentang BPJS, aku bilang aku punya KIS dari PemKot Denpasar, yaitu BPJS gratis
kelas 3.
Perban yang dipasang di Puskesmas dibuka,
lalu diperiksa. Kata dokter jaga, beberapa Lukaku perlu dijahit. Aku nggak mau.
Aku bilang, “Nggak usah, Dok. Tolong diberi betadin antiseptik saja lalu
perban.” Dokter jaga itu keluar, dan masuk lagi dengan seorang dokter lainnya,
yang ternyata atasannya. Dokter senior itu bilang, “Kondisi ibu ini agak parah,
perlu disuntik antibiotic atau suntik tetanus, dan luka-lukanya dijahit, jika
tidak, akan tetap perdarahan. Ibu kan masih harus temani anak ke RSJ.” Saat itu
aku kebelet, ma uke toilet, aku permisi tinggalkan ruangan itu.
Di toilet aku agak lama, karena berfikir
dan berenung, mohon petunjuk Allah.
Tiba kembali di ruang tadi, ternyata dokter
jaga sudah menyiapkan bahan dan peralatan untuk menjahi luka-luka-ku. Aku
tegaskan, “Dokter, aku punya haq untuk menentukan pilihan. Ini tubuh-ku. Aku
nggak mau disuntik apalagi dijahit. Biar saja luka-luka-ku sembuh secara alami.
Sistem pemulihan tubuhku bagus, Dok.” Wajah dokter itu tampak bingung, “Yakin
Bu, dengan keputusannya?” Aku jawab dengan mantap, “Ya, tyang yakin, Dok!”
Dokter itu merapikan Kembali bahan2 dan peralatan kerjanya, seraya berkata, “bu
harus menandatangani Surat Penolakan Tindakan medis, ya.” Aku jawab, “Ya,
Dokter.” Katanya lagi, “Ohya, dan karena penolakan ini, semua Tindakan yang
lain tidak ditanggung BPJS ya, Bu”. Aku hanya mengangguk, seolah mengerti.
Setelah beres urusan dengan Diri-ku, aku
mendekati ruangan di mana Aisya terbaring tidur, ternyata dia diinfus. Ada
perawat di ruang sampingnya. Aku lihat dia tidur menyamping dan agak meringkuk.
Aku minta tolong ke perawat, agar Aisya diselimuti.
Aku dipersilakan duduk di ruang samping
itu. Tapi, aku nggak tahan ruang ber-AC, aku keluar ke teras IGD. Eh, ternyata
bapak-bapak polisi masih ada. Malah ada seorang lagi yang belum aku kenal, yang
ternyata adalah Kapolsek Selemadeg Timur, I Nyoman Artadana. Kami pun ngobrol, atau
lebih tepatnya, Pak Kapolsek yang banyak mengajukan pertanyaan, aku menjawab,
dan beliau tulis di hape-nya. Pak Kapolsek ingatkan Pak Agung untuk menyimpan
nomor WA-ku, aku memberitahunya, dan dia kirim pesan, agar aku bisa juga
menyimpan nomor WA-nya.
Kira-kira ada satu jam kami obrol, sebelum
bapak-bapak polisi ini permisi untuk pulang. Namun kata Pak Kapolsek, aku bisa
hubungi Pak Agung jika perlu bantuan.
Aku duduk sendiri di kursi teras IGD,
tidur-tidur ayam. Sebentar-sebentar aku masuk lagi, bertanya ke petugas di
bagian penerimaan, “Pak (atau Bu), pasien yang sedang dirujuk ke RSJ Bangli,
kira-kira bisa diantar pukul berapa?” Aku ditenangkan, “Sabar, Bu… kami sedang
mengurus berkas-berkas-nya.” Juga “Kita sedang menunggu konfirmasi dari pihak
RSJ, Bu… Di sana dokter jaga harus dapat konfirmasi juga dari dokter ahli-nya.”
Pada dasarnya, mereka, para petugas dan paramedis ini baik, sabar dan ramah.
Aku-nya saja yang mungkin kurang sabar. Mungkin juga karena kondisiku yang
sedang menahan rasa sakit, ngantuk, dan lelah. Maka kujaga diriku dengan
banyak-banyak ber-istigfar dan membaca mantra-mantra Cinta, dalam hati, dan
juga setengah berbisik.
Pada pkl. 4:51 subuh, adikku Aco merespon
foto dan teks yang kukirim via WA. Dia sangat kaget. Dan kujelaskan bahwa kami
sudah ditolong pihak kepolisian sektor/kecamatan di mana kami berdomisili. Dan
sekarang kami masih di RSUD Tabanan, sedang dalam proses perujukan Aisya
sebagai pasien yang perlu dirawat di RSJ Bali.
Aku masih duduk di kursi tera IGD RSUD
Tabanan, sambil mengisi energi hape dicolokan yang terpasang di kolom atap
teras, di samping kursi yang aku duduki. Aku masih ber-istigfar dan membaca
mantra-mantra Cinta, sambil bicara pada Allah, Tuhan YME… “Ya, Allah, tolonglah
aku untuk berefleksi, merenung dengan benar, agar dapat memahami secara jelas,
maksud dan hikmah dari peristiwa ini… Cukuplah Engkau sebagai penolongku,
cukuplah Engkau sebagai pelindungku, cukuplah Engkau sebagai tempatku
bergantung, cukuplah Engkau sebagai saksi dan penilai diriku.”
Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku sangat
beruntung. Walaupun tubuhku fisikku diserang oleh Manusia yang aku lahirkan
secara brutal, dan mengakibatkan 10 luka terbuka dan perdarahan, serta beberapa
luka goresan halus dan memar, tapi tidak ada yang menimpa bagian-bagian vital
yang dapat menyebabkan cacat fisik. Selain itu, serangan ini merupakan
konfirmasi bahwa ritual thawaf sebelum tidur cukup ampuh melindungi diriku, dan
mungkin juga secara fisiologi okultisme, tubuhku secara materi sudah mengalami
transformasi alkimia, yang menyebabkan pisau itu tidak bisa menyentuh tulang
dan tengkorakku. Yang terjadi justru mata pisau itu bengkok dan patah di
sambungan gagangnya.
Aku bersyukur, bahwa aku dikarunia manusia
yang lahir dari Rahim ini, darah-daging-ku, yang mampu memainkan peran sebagai
penempa diriku untuk memurnikan jiwaku dan cintaku. Aku menyebutnya Lucifer,
bukan dalam pemahaman orang awam dunia esoteris. Aku menyebutnya Lucifer dengan
rasa respek dan syukur. Tanpa Lucifer, transformasi Adam, dari dimensi
Materi~Nabati ke dimensi Materi~Nabati~Hewani tidak mungkin terjadi. Tanpa
Lucifer, Manusia tidak punya kemampuan be-refleksi. Tanpa Lucifer, Ruh Manusia
tidak dapat melalui kegelapan lapisan langit tergelap dan mencapai Cahaya di
atas Cahaya. Lucifer adalah jelmaan Ruh Agung yang tidak terjangkau oleh ‘Baik’
dan ‘Buruk’, dengan perkataan lain, Lucifer adalah melampaui segala dualitas.
Baru saja perenungan dan pemahaman ini
menari-nari di benakku, eh, adikku Aco mengirim pesan, “I’ve been thinking.
Ket. Mungkin janganki sebut ki Lucifer. Takut jadi doa. Just a thought.
Beberapa belas menit, baru aku jawab, “Oh, gitu ya, Andun… Iyad eh.” Aku
memaklumi perasaan dan pikiran adikku yang yang cukup galau karena nasibku yang
mungkin dianggapnya sial. Aku respek pada perhatian dan kepeduliannya. Aku
ambil jalan tengahnya, aku tidak lagi menyebut-nyebut Lucifer sebagai
personifikasi Aisya di catatan-catatanku yang akan datang, aku akan menyebutnya
Dewi Venus. Bagaimanapun, aku harus melampaui dimensi biologis mamak~anak dalam
hubunganku dengan dua manusia yang lahir dari Rahim ini. Aku perlu
bertransformasi ke tingkatan spiritualis, jadi Aisya adalah Dewi Venus, Ancha
adalah Dewa Matahari, dan Sayangku adalah Dewa Bulan. Aku sendiri adalah Dewi
Bumi. Tapi, secara individual, mereka semua adalah bagian dari Diri-ku sebagai
suatu Semesta yang lengkap dan sempurna.
Hihihi… aku senyum-senyum sendiri,
membayangkan, seandainya pikiranku ini dapat divisualisasi dan muncul di layer monitor dokter
Ari, petugas IGD yang sedang jaga, mungkin aku juga dirujuk ke RSJ, karena
dianggap gila. Jonathan Black sudah mengingatkan di bab 1, jangan teruskan
membaca buku ini jika Anda tidak berani menghadapi kenyataan bahwa orang2 akan
menganggap Anda dungu, sesat, dan gila! Karena pemikiran esoteris ini terbalik
dan jungkir balik dari pemikiran normal.
Pkl. 6 pagi, Aisya muncul dari pintu teras
IGD. Rupanya dia membuka paksa jarum infus dari pergelangan tangannya, yang
sekarang tampak berdarah. Dia melihatku yang sedang duduk di kursi teras. Dia
menghampiriku dan duduk di sebelahku agak menghadap tubuhku. Aku memeluknya.
Setelah pelukan kami agak renggang, dia melihat ke wajahku, bukan ke mataku,
tapi ke bibirku. Aku kira diam au menciumku, ternyata Gerakan kepalanya hendak
menempatkan mulutnya ke leherku, sepersekian detik, aku sempat merasakan
giginya di leherku sebelah kananm dan aku refleks mendorong tubuhnya, tepat
saat itu suster Lana yang ditugasi mengawasi Aisya muncul.
Setelah menunggu ber-jam-jam, akhirnya pada
pkl. 10, ada informasi dari suster Lana, bahwa ambulans dan sopirnya sedang
disiapkan, beliau juga akan menemani ke RSJ, untuk mengurus administrasinya.
Syukurlah. Ternyata memang cukup ribet urusannya, karena melibatkan 4 pihak
manajemen, yaitu kepolisian (PolSek Selemadeg Timur), Dinas Sosial, RSUD
kabupaten Tabanan, dan RSJ Provinsi Bali.
Hanya semenit setelah Bu Lana
menginformasikan kabar gembira ini, ada tekpon dari Pak Agung (polisi junior),
katanya dia juga akan menemani kami ke Bangli. Beliau muncul disusul oleh Pak
Nyoman (KaPolSek). Ternyata mereka hanya mau memastikan bahwa kami bisa diantar
ke RSJ di kabupaten Bangli oleh pihak RSUD. Aku jadi terharu oleh kebaikan
bapak-bapak polisi ini dan juga paramedis, terutama Bu Lana yang gue rasa
bekerja dengan hati.
Kami bertolak dari RSUD pada pkl. 10:15,
dengan ambulans yang disopiri Pak Ngurah. Aku duduk di samping Pak Ngurah,
Aisya berbaring, diapit Suster Lana dan seorang perawat lelaki yang duduk. Jarak
dari RSUD Tabanan ke RSJ Bali di Bangli adalah 42 km, butuh waktu kira-kira
satu setengah jam dengan kendaraan mobil. Kami singgah di RS swasta yang
dilalui, karena Aisya ingin pipis. Bu Lana yang menemaninya. Memasuki wilayah
Kabupaten Gianyar, jalan-jalannya agak sedikit sempit dan lebih ramai
kendaraan, maka Pak Ngurah membunyikan sirine. Kami melaju mulus, aku sadari
bahwa Pak Ngurah sangat mengenali rute yang kami lalui, dan kualifikasinya
sebagai sopir ambulans bisa aku acungkan dua jempol.
Kami tiba pkl. 11:45. Bu Lana memegang
berkas-berkas Aisya sambil menggandeng Aisya. Lagi-lagi, Aisya mau pipis. Bu
Lana menemani Aisya ke toilet setelah menyerahkan berkas-berkas ke IGD RSJ
Bali. Setelah dari toilet, Aisya dibaringkan di ranjang IGD. Bu Lana, Pak
Ngurah, dan personil satpam RSUD kembali setelah urusan adminstrasi antara
kedua Lembaga itu beres.
Seperti sebelum-sebelumnya, kali ini,
sebelum Aisya dipindahkan dari IGD ke UPI (Unit Perawatan Psikiatri Intensif),
aku, sebagai walinya (caregiver)-nya diwawancarai oleh dokter muda dan dokter
jaga. Aku juga harus menandatangani beberapa berkas. Aku harus menunggu hingga
Aisya sudah ditempatkan di UPPI, baru aku boleh meninggalkan RSJ.
Aku
coba periksa akun bank-ku, ternyata ada transferan dari adikku dan seorang
sahabat-SMA-ku. Aku putuskan untuk menggunakan transportasi digital, yaitu
go-car. Cukup lama aku menunggu, yang pertama gagal, coba lagi, dan hanya bisa
sampai di Ubud. Dalam perjalanan ke Ubud, aku tanya ke sopir, bisakah anta raku
sampai Ubung, nanti bayaran dari Ubud ke Ubung di luar aplikasi. Katanya bisa,
bayar dobel saja. Oke, aku menyetujui. Dari Ubung, aku naik bus konvensional
yang tujuannya ke Gilimanuk. Saking ngantuknya diriku, nyaris kebablasan. Aku
turun depan Indomaret Megati. Berjalankaki terhuyung-huyung menahan rasa
kantuk, lapar, Lelah, dan nyeri yang berdenyut-denyut.
Tiba
di rumah sudah pukul 20:45. Aku nggak bisa langsung istirahat dalam kondisi
rumah yang masih diceceri darah di mana-mana. Aku bebersih, mengumpulkan semua
kain yang terkena darah, mengepel semua lantai yang diceceri darah…
(bersambung)